Saya tak tahu harus berbuat apa. Di depan saya seorang bocah berusia 10 tahun tertunduk sedih dan juga malu. Butuh pendekatan berhari-hari sampai akhirnya ia membuka suara, bahwa gadis tersebut telah dipaksa melayani kebejatan seksual tetangganya.
Pengakuan tersebut bermula ketika saya sedang mengajari anak-anak mengaji. Kebetulan rumah orang tua saya yang terletak di sebuah kampung di Madura terdapat musholla kecil yang berfungsi sebagai TPA (Taman Pendidikan Al Quran). Sekitar 50 anak belajar mengaji tanpa dipungut biaya sepeserpun. Sebagai tuan rumah, setiap habis manghrib hingga menjelang isya saya selalu menyempatkan diri untuk mengajari mereka.
Saat itu saya sengaja tidak menyuruh anak-anak mengaji seperti biasanya. Saya membagi mereka ke dalam 3 kelompok yang masing-masing dipimpin oleh seorang pengajar. Saya ajak mereka saling bercerita pengalaman yang paling berkesan, entah itu jalan-jalan atau kegiatan lainnya. Ketika giliran seorang anak bernamu Ayu bercerita, temannya tiba-tiba nyeletuk, ” Ustadzah, Ayu (bukan nama asli) gini-gini loh sama Agus (bukan nama asli)”.
Sambil menautkan kedua tangannya, tanda mereka berciuman.
“Ah, masih kecil jangan ngomong begitu” seruku kemudian.
“Iya, beneran Ustadzah” anak yang lain menimpali.
Deg. Saya menelan ludah. Masa anak sekecil ini paham tentang ciuman dan sebagainya, karena tak yakin, saya bertanya lagi. “Gitu-gituan gimana? Pegangan tangan?”
“Bukan Ustadzah, ciuman”.
Saya melirik Ayu. Ia tertunduk meski sambil tersenyum. Agar ia tak dibuat malu di depan teman-temannya saya tak melanjutkan olok-olokan tersebut. Saya pun mengalihkan pembicaraan dengan bercerita kisah-kisah Nabi.
Keesokan harinya saya memanggil Ayu. Saya suruh ia masuk ke dalam kamar, agar tidak ada seorangpun yang tahu pembicaraan saya dengannya. Agar ia mau berterus terang, saya memberinya coklat dan permen. Hari pertama dan kedua ia bungkam. Malah ketika ditanya jawabannya tidak nyambung. Baru hari ketiga ia mau bercerita.
“Ayu, coba cerita, benar kamu ciuman?”
Ia tak langsung menjawab. Hanya tertunduk. “Agus yang ngajak, Ustadzah”.
“Ngajak, gimana?”
“Ngajak begituan” serunya pelan.
“Begituan, maksudnya?”
“Iya, waktu itu aku pulang sekolah. Lewat sawah di sana”, tangannya sambil menunjuk-nunjuk. Rumah Agus kan dekat sawah”.
Saya mencoba mendengarkan penjelasannya yang patah-patah. “Kamu diapain sama Agus?”
“Agus ngajak aku ke bale (saung). Tangannya dimasukkan ke ininya aku, terus itunya dimasukkan”
Ya Rabbi, remuk hati saya mendengar penuturannya. Ternyata mereka tak hanya ciuman, tapi sudah melakukan sesuatu yang hanya boleh dilakukan sepasang suami-istri. Lihatlah, ia hanya bocah kelas 4 SD yang masih lugu dan ingusan. Ia mungkin tak tahu bahwa apa diperbuat padanya kelak bisa membuatnya trauma bahkan merusak masa depannya.
Saya berusaha menahan amarah dan tetap bersabar, agar Ayu tetap mau melanjutkan ceritanya.
“Terus kok kamu mau?” Yang ditanya diam saja.
Saya mengelus rambutnya. “Sakit nggak?”
“Sakit, Ustadzah, tapi enak” serunya tanpa merasa sedikitpun berdosa.
“Berapa kali Agus melakukan itu?”
“Sering Ustdzah, eh dua kali. Pernah juga di rumah, waktu emak sama bapak kerja”.
Air mata saya tak terbendung lagi. Rasa sakit, kecewa, kasihan, menjadi satu. Saya sudah gagal menjadi guru ngajinya.
“Orang tua kamu emang kerja apa, Yu?
“Bapak jual layangan, emak jual kripik gadung”.
Saya tahu anak sekecil Ayu tak mungkin berbohong. Tapi melaporkan kejadian ini pada orang tuanya sangat berisiko, apalagi pada pihak yang berwajib. Baik dari kalangan Ayu ataupun Agus sama-sama orang Madura dari keluarga tidak mampu. Orang tua Agus buruh bangunan. Setelah lulus SD Aguspun mengikuti jejak orang tuanya menjadi buruh. Sudah mafhum dikalangan orang Madura yang berpendidikan rendah, segala persoalan akan diselesaikan dengan ‘carok’ (duel nyawa menggunakan clurit). Bagi mereka tak masalah jika harus mati bersimbah darah, asal itu untuk mempertahankan harga diri.
Sungguh saya tak memiliki keberanian untuk melakukan itu semua. Sempat terpikir mau melaporkan hal ini pada sekolahnya. Tapi saya khawatir malah Ayu yang dikeluarkan, karena Agus sendiri sudah lama putus sekolah. Juga saat itu tidak ada tempat pengaduan yang benar-benar bisa menjamin korban pelecehan seksual. Maka jadilah saya sebagai pecundang yang hanya menutup rapat-rapat pengakuan Ayu. Dan saya tahu bocah tersebut tak berani berterus terang pada orang tuanya.
Sejak saat itu, saya tak henti-hentinya mengingatkan pada Ayu agar tidak lagi bergaul dengan Agus. Pada anak-anak lainnya, saya mengingatkan bahwa tidak boleh memperlihatkan aurat pada orang lain, juga meminta mereka berterus terang pada orang tua jika ada yang berbuat kurang ajar. Sangat menyedihkan, ketika saya harus tinggal di luar kota untuk kuliah dan akhirnya berumah tangga, saya tak tahu lagi kabar Ayu. Apakah ia trauma atau baik-baik saja, saya tak tahu.
Jika kasus pelecehan seksual biasanya menimpa anak dari keluaga menengah ke bawah, maka tidak demikian dengan korban pedofil. Para korban bisa dari kalangan mana saja, bawah, menengah, bahkan orang kaya sekalipun. Masih ingat kan kasus pedofil yang menimpa beberapa siswa SD elit Jakarta International School (JIS) pada tahun 2014 silam? Sang pemangsa (yang tak lain sang guru) lebih tertarik pada anak yang berpenampilan bersih dan menarik, dan bukan anak-anak yang berbaju kumal, daki, dan ingusan, bukan?
Hanya tiga tahun dari kasus JIS, praktik pedofil kembali menghantui negeri ini. Kelompok bernama Loly Candy terungkap menjalankan aksinya melalui media sosial. Mereka mengoleksi ratusan film dan video porno. Korbannya mencapai 13 anak, dari usia 5 hingga 9 tahun, dan yang paling kecil umur 3 tahun. Sungguh saya tidak bisa membayangkan bagaimana tangis balita mungil tak berdosa tersebut saat si pemangsa melakukan aksi bejatnya?! Bagaimana mugkin orang-orang tak berkemanusiaan tersebut tega mencabuli anak yang bahkan jalan dan bicaranya saja masih terbata?! Semoga Tuhan melaknat mereka!!!
Meski hukuman kebiri akan diterapkan, nyatanya tidak membuat pelaku takut. Baru-baru ini bahkan kita kembali digegerkan oleh kasus pedofil lagi. Modusnya mereka membuat akun-akun di media sosial dengan nama yang seolah mendidik, seperti grup “Anak Indonesia”. Tak tangggung-tanggung sekitar 750 ribu gambar dan video porno anak diperjual belikan dengan harga sepuluh hingga lima puluh ribu rupiah atau lebih.
Yang paling dikhawatirkan adalah dampak dari pelecehan seksual tersebut. Tidak seperti trauma pada orang dewasa, trauma pada anak bisa berakibat fatal. Anak-anak yang menjadi korban akan mengalami gangguan kejiwaan seperti depresi, kecemasan, dan trauma yang luar bisa. Jika tidak ditangani dengan serius bisa berakibat sangat buruk bagi kehidupan sosial dan intelektualnya padahal masa depan mereka masih panjang.
Pemerintah memang telah berupaya menghukum seberat-beratnya pelaku pedofil, tapi itu pun dilakukan setelah jatuh korban. Untuk mencegah agar tak ada lagi anak yang jadi mangsa, tindakan preventif harus cepat dilakukan, baik oleh sekolah dan orang tua.
Sejak dini harusnya orang tua sudah mengajari anak tentang pendidikan seksual. Anak tidak boleh memperlihatkan bagian tubuh tertentu pada orang lain. Saat umur 5 hingga 6 tahun harusnya sudah diberi kamar khusus. atau jika rumah sempit dan hanya memiliki satu kamar bisa dipisah dengan tirai atau kain sebagai pembatas. Jika ingin memasuki kamar orang tua harus minta izin dulu, dan sebagainya.
Karena pada kasus Ayu, ia mau diajak melakukan tindakan seksual karena pernah terjaga saat malam hari dan melihat Ayah dan ibunya berbuat serupa. Miris, setiap terjaga ia pura-pura tidur dan tidak pernah memberi tahu mereka berdua. Ia mengatakan sampai SD masih tidur dengan kedua orang tua sebab rumahnya sempit, hanya memiliki satu kamar saja.
Ironisnya, tidak semua keluarga mengerti pentingnya eduksi semacam ini. Bagi keluarga menengah ke atas atau golongan mapan, warning terhadap anak-anaknya bukan hal yang sulit. Mereka tahu cara berdialog dengan baik kepada anak, paham bagaimana membentengi anak agar tidak ikut-ikutan pergaulan yang tidak sehat, dan semacamnya. Tapi bagaimana dengan golongan bawah, yang dibatasi sekat kemiskinan dan pengetahuan? Harus diakui mereka cenderung abai terhadap persoalan ini.
Oleh sebab itu cara yang paling efektif untuk mencegahnya harus dimulai dari sekolah. Ada beberapa hal yang menurut saya harus dilakukan oleh sekolah dalam hal ini, yaitu:
Pertama: Memaksimalkan Fungsi Komite
Sekolah Sesuai dengan peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia nomor 8 tahun 2014 bahwa untuk melindungi dan menjamin hak anak, maka ditetapkanlah kebijakan ‘Sekolah Ramah Anak’. Maksudnya ketika mereka di sekolah, baik orang tua dan anak sama-sama merasa tenang dan aman dari segala bentuk kejahatan, baik pelecehan seksual, dan lainnya.
Untuk mewujudkan program tersebut tentu harus ada kerjasama antara pemerintah daerah, orang tua, guru, dan komite sekolah. Fungsi komite sekolah tak hanya sebatas memonitor aliran bantuan dana sekolah, tapi harus mampu membuat program dan kegiatan yang bisa megedukasi anak dan orang tua, sehingga kasus pelecehan seksual pada anak bisa diminimalisir bahkan dihentikan.
Program yang bisa dilakukan misalnya: pendidikan seksual pada anak, pemahaman cara mendidik anak pada orang tua, kegiatan dialog mingguan antara guru, orang tua, serta komite sekolah, dan sebagainya. Dengan adanya edukasi dan dialog semacam ini diharapkan anak yang menjadi korban bisa terbuka dan dicarikan solusinya, sehingga kasus seperti yang dialami Ayu tidak terjadi lagi.
Kedua : Semua Guru Bertanggung Jawab Memberi Pemahaman yang Baik
Memberi penjelasan tentang pendidikan seksual tak hanya menjadi tugas guru agama dan konselor, tapi semua guru apapun mata pelajarannya harus terlibat. Berikan anak penjelasan tentang menstruasi dan mimpi basah. Bantu anak memahami bahwa meski secara fisik ia sudah baligh (besar), namun emosionalnya belum dewasa untuk berhubungan intim. Beritahu anak akibat fatal jika mereka berani berhubungan intim, bisa berakibat hamil di luar nikah dan merusak masa depannya.
Banyak guru yang memberi nasihat seolah menceramahi atau malah menggunakan bahasa yang susah dipahami oleh anak. Misalnya pernyataan, “Awas, jangan berbuat zina, jangankan berbuat, mendekatinya saja haram”. Kata zina, dan lain lain belum dipahami secara baik oleh anak. Nah dari pada mereka tidak paham, lebih baik langsung menggunakan kata yang biasa dipakai sehari-hari. Kalau bisa gunakan bahasa gaul, agar mereka tidak sungkan menanggapi pembicaraan.
Juga jangan menakut-nakuti anak dengan hukuman berdasar dalil-dalil agama. Misalnya: “Bagi pelaku zina hukumannya rajam (cambuk), dalilnya bla-bla-bla”. Pengajaran seperti ini kurang tepat diajarkan pada siswa SD, sebab bukannya mengedukasi, malah secara tidak langsung menyisipkan pemahaman radikal. Pemaparan dalil semacam ini bisa diberikan saat anak sudah duduk di kelas menengah atau ketika ia sudah paham dasar-dasar ajaran agama. Jangan sampai ketika anak baru belajar tentang keimanan, malah dijejejalkan pemahaman seperti di atas.
Hal yang paling penting dari itu semua, seorang guru harus bisa menjadi teman curhat yang nyaman bagi murid-muridnya. Seringkali kenakalan anak disebabkan tidak adanya sosok yang bisa diajak curhat dan berkeluh kesah. Mereka menyimpan sendiri permasalahannya. Jika guru bisa akrab dengan murid niscaya segala problematika akan teratasi. Wibawanya tak akan turun, malah sebaliknya, guru yang dekat dengan murid akan terus dikenang sampai mereka dewasa bahkan tua.
Ketiga : Sekolah Tak Boleh Hanya Fokus Pada Prestasi, Tapi Juga Iman dan Akhlak
Sekolah elite belum tentu aman dari tindakan asusila. Seperti kasus di JIS (Jakarta International School) misalnya, biaya untuk bisa masuk ke sana bisa mencapai 30 juta per bulan, ironis pelaku pedofil malah berasal dari gurunya. Oleh sebab itu yang harus dilakukan sekolah adalah bagimana menanamkan iman dan akhlak pada segenap stakeholder, tidak hanya siswa tapi juga segenap guru, kepala sekolah, bahkan pekerjanya. Kegiatan seperti ibadah bersama bisa menjadi langkah tepat untuk mendorong terciptanya lingkungan agamis, sehingga bisa meningkatkan iman dan akhlak yang baik.
Semoga tulisan ini bermanfaat.