Sulamadaha mulanya adalah sebuah kampung/desa kecil pesisir dibagian utara Pulau Ternate, dalam perkembangannya Sulamadaha bertransformasi menjadi sebuah Kelurahan dengan memiliki jumlah penduduk terbesar di wilayah administrasi Kecamatan Ternate Barat Pemerintah Kota Ternate Provinsi Maluku Utara saat ini.
Masyarakat di kelurahan Sulamadaha secara turun-temurung setia mengabdikan diri mereka dalam berbagai hal serta tunduk dan patuh terhadap titah/perintah yang disampaikan oleh Sultan Ternate sampai pada hari ini.
Dikisahkan pada jaman dahulu, mulanya kampung Sulamadaha dikenal dengan nama “Bubane Ito” (Bahasa Indonesia: dapur besar yang ada di pantai) yang dihuni oleh 3 (tiga) “Soa” (klan) yaitu; Soa Tabanga; Soa Afo, dan Soa Alafai.
Dalam perjalanannya datanglah 1 rombongan dari Kerajaan Sula yang terdiri 1 orang “Ngofa Kolano” (Pangeran), 1 orang Kapita (Pimpinan/pejabat tinggi dalam kerajaan Sula), dan 10 orang sebagai pengawal yakni para Fanyira (Kepala Soa/Klan dari Kerajaan Sula). Rombongan dari kerajaan Sula ini datang ke “Kie Gapi’ (sebutan Pulau Ternate saat itu) dengan tujuan membayar pajak/upeti kepada Kesultanan Ternate.
Setelah melakukan kewajiban membayar upeti terebut, rombongan dari Kerajaan Sula yang terdiri dari 12 orang ini lantas belum langsung kembali ke Kerajaan Sula, namun mereka lanjut berlayar disekitar pesisir Pulau Ternate dan lanjut berlayar menyisir di wilayah pesisir pantai bagian utara Pulau Ternate.
Pada akhirnya mereka tiba dan berlabuh di Pantai Tabanga. Wilayah Pantai Tabanga saat itu berada dibawah kekuasaan “Momole Tabanga” (momole merupakan tetua atau kepala kampung). Singkatnya, rombongan atau utusan dari Kerajaan Sula itu akhirnya meminta izin kepada Momole Tabanga untuk menempati wilayah pesisir pantai yang berada dibawah kekuasaan Momole Tabanga.
Momole Tabanga menerima dengan senang hati dan menyampaikan ke rombongan itu: “Wilayah dalam kekuasaan saya ini cukup luas, jadi baiknya kalian lanjut terus berlayar ke arah utara ke kawasan “Bubane Ito” (Kawasan Pantai Sulamadaha saat ini)”.
Sesuai cerita lisan dari para sepuh dan tokoh adat masyarakat Kelurahan Sulamadaha bahwa Bubane Ito pada saat itu ditempati oleh warga dari Soa/klan Afo. Tentunya, Soa/Klan Afo ini masih dibawah kepimimpinan Momole Tabanga, sehingga mereka (Soa Afo) tetap menerima orang-orang dari Kepulauan Sula tersebut. Namun, terdapat syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh pimpinan Soa Afo saat itu, yakni Para Fanyira dan Kapita dari Kepulauan Sula diberikan salah satu syarat berikut:
“Kalian para utusan dari Kerajaan Sula yang terhormat, Bila kalian mampu melemparkan sebuah Batu dengan posisi berada dilepas pantai Bubane Ito dan melemparnya dari atas Perahu. Apabila batu tersebut jatuh/mendarat ditempat/diwilayah tertentu, maka disitulah tanda sebagai tempat dimana kalian para para utusan dari Kerajaan Sula bisa menguasai dan menempatinya.”
Atas syarat dan ketentuan tersebut, segera sang “Ngofa Kolano” (Pangeran) dari Kerajaan Kepulauan Sula yang dijaga/dikawal oleh Kapita dan para Fanyira Kerajaan Sula tersebut, segera mengambil tindakan dengan melemparkan sebuah Batu, akan tetapi ketika sang “Ngofa Kolano” setelah melempar Batu itu nyaris atau sebelum jatuh/mendarat ke tanah, dengan serentak saat itu Sang Kapita Sula dengan kesaktian yang dimilikinya terbang menyusul dan menendang Batu itu dengan kejauhan sekitar kurang lebih 2 Km jauhnya (dikenal tapal mari dopo–dopo saat ini, tepatnya Tempat Pembuangan Akhir Pemerintah Kota Ternate). Adanya kejadian tersebut, serentak para Kapita dan Fanyira dari Soa Afo mengatakan; “Sula toma daha raim” (artinya: orang Sula telah berada didalam).
Akhirnya, para Fanyira dan Kapita serta seluruh warga Soa Afo memberikan kepercayaan kepada Soa Sula untuk menjaga wilayah pesisir terutama yang berada dikawasan “Bubane Ito” (Pantai Sulamadaha saat ini), dan kepada para Fanyira dan Kapita serta seluruh warga Soa Afo berpindah tempat/kawasan yang bermukim di samping kawasan Jikomalamo (tempat wisata bahari Jikomalamo saat ini).
kesaktian ilmu yang dimiliki oleh rombongan utusan dari Kerajaan Sula tersebut, maka pada saat mereka tiba/mendarat di kawasan Pantai Tabanga, mereka mengambil pasir kemudian dibawa dan dibuang/ditaburkan ke laut diantara Kawasan Pesisir Pantai Sulamadaha dan Pulau Hiri, sehingga terjadinya laut dangkal di antara diantara kedua kawasan tersebut. Tempat kejadian laut dangkal tersebut kemudian diberi nama dengan “Pasi Janga-Janga”.
Ranguman dari sinopsis ini adalah sejarah masuknya orang-orang dari Kepulauan Sula tentunya melalui proses legal dan memiliki izin secara sah yang diberikan oleh Momole Tabanga dan disetujui oleh Para Fanyira dan Kapita dari Soa Afo. Perjanjian ini bersifat mengikat, memiliki hak penuh penguasaan wilayah yang telah ditetapkan sesuai pemenuhan syarat dan ketentuan yang telah disanggupi oleh orang-orang Sula serta berlaku selamanya dan sampai detik ini.
Berdasarkan sejarah tersebut, awal mula kawasan tersebut bernama “Bubane Ito” kemudian diubah menjadi “Gam Sulamadaha” (kampung Sulamadaha) yang berumber dari konotasi makna “Mari Sula toma daha” yang secara arti pemaknaan “Batu dari Kerajaan Sula telah berada didalam” atau secara harfiah bahasa diplomasinya dapat diartikan bahwa “Orang Sula telah mampu memenuhi syarat diberikan dan meraka layak untuk menguasai kawasan dalam/daratan“.
Demikianlah cerita singkat mengenai asal usul nama kampung Sulamadaha, dan sampai saat ini kampung Sulamadaha atau Kelurahan Sulamadaha adalah salah satu kampung yang memiliki klan terbanyak dibawah kekuasaan Kesultanan Ternate, terdapat 4 “Soa” (klan) diantaranya; Soa Tabanga, Soa Afo, Soa Alafai, dan Soa Sula, hidup berdampingan dalam satu aturan adat yang ditetapkan oleh Kesultanan Ternate meskipun terdapat perbedaan dalam keyakinan (agama), dan bahkan mereka mampu mentaati aturan-aturan modern yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Ternate sampai hari ini. Adapun sebagai pemimpin tertinggi dari 4 “Soa” (Klan) tersebut adalah “Momole Tabanga” yang berasal dari Soa Tabanga sebagai penduduk asli (tuan tanah). “Sulamadaha sema jarita“