Rabu, Mei 8, 2024

Sejarah Ditulis Para Pemenang?

Hadyan Nandana
Hadyan Nandana
Mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Malang, sembari berteater di Teater Hampa Indonesia.

Belakangan ini mulai banyak bermunculan pernyataan tentang kredo “sejarah ditulis oleh para pemenang”. Pernyataan itu banyak bermunculan pada saat berlangsungnya diskusi sejarah. Pernyataan itu dikemas sebagaimana slogan yang dinyatakan secara tegas dengan tujuan ngeles. Bahkan apabila dikumandangkan, pernyataan ini memunculkan keganjilan tersendiri.

Terlebih, masih belum ada kejelasan secara pasti mengenai siapa yang pertama mencetuskan kredo tentang “sejarah ditulis oleh para pemenang”. Masih menjadi banyak perdebatan yang merentang. Diantaranya ada yang mengatakan bahwa kredo tersebut pertama kali dicetuskan oleh Napoleon Bonaparte, Niccolo Machiavelli sampai ke Winston Churchill.

Masih belum jelas secara pasti. Akan tetapi kredo tersebut telah berada pada titik kepopuleran hingga menjadi fenomena yang seringkali tampil di permukaan.

Tulisan ini tidak akan membahas mengenai hal asal-usul kredo itu. Melainkan membahas mengenai  problematika mendasar yang terdapat dalam perkembangan penulisan sejarah, karena seringkali menghadapi kebuntuan dengan adanya kredo “sejarah ditulis oleh para pemenang”.

Ontran-ontran yang terdapat didalamnya menggaung diantara perdebatan-perdebatan ilmu pengetahuan. Bahkan, sejarah yang dipahami sebagai ujung dari kebenaran karena melibatkan data kebenaran di masa lalu, seringkali berperan menjadi penguasaan tirani. Misalnya seperti jika melirik rentetan peristiwa sejarah genosida pada masa tahun 1965.

Pemaksaan pemahaman sepihak yang terjadi pada pengetahuan sejarah tentang peristiwa Gestapu 65 oleh versi orde baru dalam kurikulum sekolah, terasa begitu sangat jelas. Tentu saja kesepihakan itu berada pada tendensi yang lekat dengan kepentingan kekuasaan.

Meskipun memang hingga hari ini telah banyak beredar perspektif-perspektif baru mengenai peristiwa tersebut. Namun pola-pola relasi kuasa itu hingga saat ini masih menyisakan jejaknya. Dan tentu hal ini dapat terjadi karena adanya pola relasi dan kuasa. Sehingga pengetahuan yang diproduksi memegang peranan besar membentuk kontrol pengetahuan melalui otoritas-otoritas tertentu.

Akan tetapi tidak selamanya pengetahuan sejarah itu diterima dengan bertopang dagu secara pasrah. Tidak selamanya disikapi hanya dengan sikap berserah diri sehingga membenarkan kepasrahan melalui kredo tersebut. Tidak. Jika pembenaran itu terus dilakukan, maka pengetahuan-pengetahuan tentang sejarah tidak akan berkembang. Pengetahuan sejarah menjadi dekaden. Lama-kelamaan kredo tersebut menjadi jubah ternyaman bagi persembunyian rasa malas untuk mendokumentasi maupun menuliskan peristiwa-peristiwa sejarah yang akan datang.

Sementara, untuk melihat suatu peristiwa diperlukan sudut pandang yang luas dalam melihat realitas. Perluasan itu memerlukan sumber-sumber sejarah yang beragam dan bervariasi. Tidak hanya satu arah pandang. Melainkan terdapat berbagai arah pandang.

Tentunya hal tersebut menjadi suatu hal yang penting. Terlebih, interpretasi melalui sumber-sumber sejarah juga semakin mengalami pengayaan. Karena terdapat kekayaan sumber maka interpretasi yang dilakukan juga seakan mendekati realitas dimasa lalu (rekonstruksi masa lalu). Sehingga, dalam hal ini permasalahan tersebut akan diselesaikan dengan penawaran solusi. Solusi yang ditawarkan dikaji menggunakan teori-teori Michel Foucault tentang episteme foucault.

Pemecahan Masalah dan Penawaran Solusi

Permasalahan yang meliputi bagi sebagian sejarah ialah problematika tentang adanya kredo “sejarah ditulis oleh para pemenang”. Jika pernyataan terlontar maka pertanyaan yang tepat digunakan untuk membunuhnya ialah sesingkat “mengapa dirimu tidak menulis sejarah agar kamu dapat menjadi pemenang?”. Tentu pertanyaan tersebut merupakan bagian dari antitesis. Sehingga apa yang terkandung dalam pertanyaan itu menunjukkan suatu penuntutan berdasarkan premis “jika bukan pemenang, maka harus dilawan agar tidak kalah”.

Dalam hal ini sejarah memerlukan pembaharuan. Pengetahuan-pengetahuan harus sebanyak mungkin diperbaharui dengan banyaknya riset sejarah. Setidak-tidaknya jika mentransformasikan gagasan Foucault tentang relasi kuasa dalam pengetahuan maka, tidak adanya pembaharuan pengetahuan sejarah disebabkan karena terdapat hambatan yang terbentuk atas adanya relasi kuasa.

Sehingga seperti dalam kasus wacana peristiwa tentang Gestapu 65 yang hanya terdapat satu wacana yang dimenangkan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hambatan otoritas yang dipegang oleh hierarkis tertinggi kekuasaan mengenai produksi pengetahuan. Penawarannya cukup jelas, yaitu dengan cara perbaharui pengetahuan sejarah.

Setidak-tidaknya dimulai sedini-dini mungkin dengan cara disiplin untuk menulis dan mendokumentasikan peristiwa-peristiwa dimasa sekarang untuk aset sejarah dimasa yang akan datang. Seperti dalam paragraf sebelumnya, penawaran keperluan rekonstruksi peristiwa masa lalu dipecahkan dengan cara melakukan riset sebanyak-banyaknya. Kemudian memperbanyak historiografi sebanyak mungkin dengan sudut pandang yang beragam.

Agar terlihat tidak mengawang, seiring dengan adanya jurusan sejarah dalam lingkup universitas, maka yang dapat dipraktikan di ranah pendidikan adalah dengan memperbanyak para pengajar (dosen) mendampingi, menemani sekaligus membimbing para mahasiswa sejarah untuk memperluas pengetahuan sejarah. Dipadukan dengan sinergi ketekunan, keuletan serta rasa penasaran yang tinggi (curiosity) yang diterapkan mahasiswa sejarah dalam proses produksi-reproduksi pengetahuan sejarah. Sehingga proses belajar-mengajar benar-benar berjalan secara efektif dalam mewujudkan perkembangan pengetahuan sejarah.

Seharusnya juga tidak hanya dalam lingkup kampus. Melainkan juga diterapkan bagi sejarawan yang berangkat berdasarkan latar belakang apapun untuk turut menerapkan gairah pemikiran yang dinamis seperti yang telah tertuang dalam episteme foucault. Baik dari sejarawan profesional, amatir maupun setidak-tidaknya yang sedang belajar dan memahami sejarah, juga memiliki peran yang sama dalam mengaplikasikan gagasan tersebut.

Semuanya memiliki kedudukan yang sama dalam hal produksi-reproduksi sejarah. Sembari menebalkan tanggung jawab sekaligus kedewasaan bersikap, apabila pemahaman pengetahuan dalam sejarah dirobohkan oleh pengetahuan yang baru.

Sejalan dengan pernyataan Foucault bahwa ilmu pengetahuan secara ideal tidak seharusnya terjebak dalam relasi kuasa. Dengan demikian historiografi tidak lagi terjebak pada kemalasan berpikir yang dirujuk melalui “sejarah ditulis oleh para pemenang”.

Semua pihak sama-sama ulet dan tekun untuk membangun wacana sejarah yang lebih beragam. Harapannya, Perdebatan-perdebatan wacana yang tertuang melalui konstruksi-dekonstruksi semakin memperkaya pengetahuan. Terlebih pengetahuan tidak serta-merta berada pada kondisi yang nyaman terus-menerus. Melainkan turut mengalami perkembangan sebagaimana dengan asas yang diusung dalam ranah akademik.

Hadyan Nandana
Hadyan Nandana
Mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Malang, sembari berteater di Teater Hampa Indonesia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.