Kamis, Oktober 3, 2024

Seharusnya Perempuan Merdeka Sejak Usia Dini

Gender memberikan dampak yang berarti sepanjang jalan kehidupan seorang manusia. Tetapi karena diskriminasi atas dasar jenis kelamin dalam awal kehidupan, konsep kesetaraan bahkan pengetahuannya hampir terkesan samar. Lah bagaimana tidak, dunia terlihat berbeda untuk anak perempuan daripada untuk anak laki-laki.

Peran gender yang dibangun secara sosial hanya memberikan sedikit kesempatan kepada anak perempuan untuk berbicara tentang aspirasi dan harapan mereka sendiri, dan membatasi mereka hanya untuk menjadi istri atau ibu. Seperti norma dan praktikal berbasis gender yang negatif sama sekali tidak mempromosikan kesetaraan anak perempuan dan laki-laki. Yang terberikan hanya perbedaan yang semakin dalam dan bukan bentuk dari kerjasama saling melengkapi.

Perempuan siapapun tentu pernah mengalami atau menyaksikan perempuan dihujat secara verbal apabila menggunakan gaya hidup di luar gender yang di akui oleh sekitarnya yang memiliki kehidupan pemikiran yang seragam atau dogmatis. Misalnya, anak perempuan berusia 10 tahun itu tidak perlu berkomentar apalagi berpendapat dan lebih baik sigap menuruti saja apa yang diinginkan orang tuanya.

Sampai hari ini, terkadang ingin sekali menanyakan kepada diri sendiri atau anak perempuan di usia tersebut, kenapa tidak mengeluarkan pendapat dulu? Padahal masih ada negoisasi sebagai alternatif. Apakah seorang anak perempuan benar-benar hanya seorang anak-anak ?.

Mereka yang memperlakukan anak perempuan sesuai keinginannya itu barangkali tidak menyadari betapa pentingnya perempuan dalam ritus kehidupan. Anak perempuan juga berhak memilih dan menentukan apa yang baginya ia inginkan, terlepas dari adanya neraca dalam alur hidupnya nanti seperti wali.

Selama 75 tahun ini, kita telah merayakan kemerdekaan negara. Tetapi belum tentu kita semua menyadari atau berdaulat untuk kemerdekaan diri sendiri. Apalagi menjadi perempuan, mudah kami mengklaim merasa sudah merdeka tetapi masih ada praktik yang tidak berjalan lurus dengan klaim tersebut. Apalagi menjadi anak-anak, mudah kami mengingat hari kemerdekaan jatuh pada tanggal 17 Agustus. Tetapi mendalami maknanya, merasa tidak perlu repot melakukannya. Anak-anak masih susah payah mengusung kemerdekaan diri sendiri. Apalagi anak perempuan.

Kemudian, Hari Anak Nasional yang jatuh setiap tanggal 23 Juli selalu diperingati dengan ajakan dan suruhan kepada anak-anak itu sendiri, dan yang membuatnya ya para orang tua atau manusia yang ukurannya lebih besar dan tinggi. Pada hari itu juga mungkin ada yang ingin kembali ke masa anak-anaknya untuk memutarbalikan gender yang melekat dalam dirinya. Hal tersebut bisa jadi bentuk sesal atas gender yang melekat atau traumatis sejak masa anak-anak.

Bagi mereka yang merasa sudah dewasa mungkin jarang membayangkan diri menjadi anak-anak lagi karena kesibukan tertentu, pekerjaan misalnya. Tetapi anak-anak ingin segera menjadi orang dewasa, dan sebaliknya orang dewasa juga mungkin ada yang ingin kembali menjadi anak-anak, bahkan beberapa memang memiliki sifat kekanak-kanakan tanpa ukuran usia atau ukuran tubuh.

Dan menjadi anak perempuan, lalu feminim. Menjadi anak laki-laki, lalu terkesan harus lebih tangguh. Sebentar, apakah benar kita merasa begitu ketika menjadi anak-anak. Apakah anak-anak saat ini merasa dituntut begitu? Mungkin iya, mungkin juga tidak, atau mungkin tidak ada yang peduli.

Saat kita menjadi anak-anak yang dilakukan hanya bermain dan menuruti saja apa kata orang tua. Sedangkan ketika sudah merasa dewasa selalu merasa ada banyak hal yang harus dipikirkan, dan sebanyak itu pula keputusan yang harus diambil. Mereka yang menjadi anak-anak apakah merasa begitu juga? Mungkin iya, mungkin tidak sama sekali, atau mungkin tidak peduli.

***

Suatu hari, saya menyadari, sayangnya bukan pada saat menjadi anak-anak. Tetapi nyaris di usia seperempat abad ketika menonton animasi yang ditonton bersama anak sekolah dasar kelas 5, adik sepupu perempuan saya. 

Sebuah anime Jepang berjudul Youkoso Jitsuryoko Shijou Shugi No Shugi Kyou shitsu atau Classroom of the Elite, yang mana pada episode pertamanya memiliki epilog pembuka begini : Kalau boleh, aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan. Apa manusia itu benar-benar setara? Saat ini, masyarakat tiada henti-hentinya menuntut kesetaraan. Seorang bijak pernah berkata “Surga menciptakan seluruh manusia dengan setara”. Tapi masih ada maksud lain di balik itu. Yaitu, kita semua memang setara saat lahir, namun perlahan terbentuklah pembeda. Intinya, manusia adalah makhluk yang diberi kemampuan untuk menggunakan akal budinya. “Kesetaraan” mungkin hanya sebuah konsep palsu, tapi “ketidaksetaraan” juga masih terlalu sulit untuk dapat kita terima.

Saya menjeda anime ini karena diborong pertanyaan adik sepupu perempuan saya yang mana ia juga memiliki adik laki-laki. Tentu saja pertanyaannya tentang “kesetaraan” yang ia dapat dari episode pertama anime itu yang juga ia kaitkan dengan kehidupannya sendiri. Merasa dirinya anak perempuan sedangkan adiknya laki-laki saja sudah seperti pembeda baginya. Apalagi kehidupan gender selanjutnya yang akan ia lalui dengan melihat saya juga sebagai cerminnya dengan resep gender dari kedua orang tuanya yang dibagi dalam dua pilihan saja, perempuan begini / laki-laki begitu.

Di hadapan seorang perempuan yang belum genap 10 tahun ini, saya merasa segan sekaligus mencoba menanggapi hal-hal yang dikeluhkannya dengan lumayan berhati-hati. Antara perlu atau tidaknya kehidupan masa anak-anak saya atau orang lain untuknya juga sedikit dimodifikasi tanpa perlu berbohong. Mengapa?

Seharusnya perempuan mendapatkan hak dan pengetahuan juga teknik pemetaan persoalan terkait gender dan kehidupannya sedini mungkin tanpa membohongi atau menyembunyikan fakta dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa suatu hari nanti ia mampu pertimbangkan sendiri, terutama terkait otoritas gendernya.

Kita dapat belajar dari anak-anak atau membagi apa yang kita ketahui, entah itu untuk anak perempuan atau laki-laki atau yang tidak peduli dengan itu. Beberapa diantaranya yaitu dengan memberikan pembelajaran yang belum terberikan atau suka dilarang sebenarnya.

Misalnya menonton anime atau film berbagai genre kemudian melakukan diskusi ringan dan review, atau bermain game dengan cara dan trik berperang tanpa memusnahkan musuh dan membuatnya menjadi sekutu, atau mungkin mengajukan pertanyaan erotis dengan catatan bertanya berlandaskan pada komunikatif yang efisien. Sejenis mengeksplorsi sejauh mana pemahaman akan hal-hal yang barangkali belum terberikan itu. Maka hal tersebut perlu diolah sedemikian rupa agar diterima sebagai bentuk ketahuan positif bagi anak-anak.

Marilah membentuk inisiatif untuk menciptkanan lingkungan kondusif menjaga anak perempuan dalam menelusur aspek kehidupannya seperti pendidikan dan pilihannya, tanpa membatasi apa yang ingin diketahuinya, serta memastikan kebutuhan kesehatan dan pengetahuan reproduksinya sejak usia dini, dan memobilisasi dukungan serta kontribusi akan pengambil keputusan di semua tingkatan untuk mendukung program-program untuk melibatkan kesejahteraan anak-anak.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.