Jumat, April 19, 2024

Seharusnya Aku PMII

Zainal Ariefin
Zainal Ariefin
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kader HMI Ciputat dan Pengurus Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam (LKBHMI) Ciputat dan redaktur di zawaya.id

Sebagai Mahasiswa awal saya langsung dihadapkan dengan pilihan berorganisasi. Ada banyak organisasi yang dapat dipilih diantaranya, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyyah (IMM) dan masih banyak lainnya. Tetapi dari  sekian banyak organisasi kampus itu, ketiga organisasi itulah yang paling menonjol. Si hijau, si kuning dan si merah. Tak jarang percekcokan dan kontestasi politik diantara ketiganya terlihat alot terlebih antara plat hijau dan kuning.

Sebagai seorang yang berkultur NU,  tentu saya dihadapkan dengan dilema untuk memilih diantara ketiganya terlebih antara HMI dan PMII. Jaman itu senior-senior yang berlatar Pondok NU hampir seluruhnya adalah kader militan PMII dan secara kultur adalah NU. NU adalah PMII begitu pula sebaliknya. Pikir orang-orang tempo itu. Tetapi ketertarikan saya terhadap HMI jauh lebih kuat.

Waktu itu ada artikel  masuk ke whastap isinya tentang sejarah, perjuangan dan tokoh-tokoh HMI seperti Nurholish Majid, Ahamd Wahib, Dawam Rahardjo, Jusuf Kalla, Yusril Ihaza Mahendra, Mahfudz MD, Hamdan Zulfa, Anies Baswedan dan lainnya. Inilah sebab kenapa saya jauh lebih tertarik terhadap HMI dibanding PMII dan pada akhirnya tepat pada Tahun 2017 saya resmi menjadi kader HMI Ciputat.

Seperti dituturkan oleh Syafiq Hasyim, PMII pada tahun 1990an di Ciputata khusunya, cenderung hanya memiliki semangat  aktivisme saja, sementara HMI memiliki modal sosial yang beragam. Kegiatan anak-anak HMI tidak hanya bersentuhan dengan dunia aktivisme saja tetapi juga dengan dunia intelektual. Dan alumninya banyak yang mentereng. Kenangan syafiq hasyim itu, masih terasa hingga pertama kali saya masuk kampus tahun 2017 di UIN Ciputat.

Saya pernah menulis sebuah artikel berjudul Nurcholish Majid Alasanku Menjadi HMI.  dalam tulisan itu saya juga menjelaskan sosok Cak Nur dan perkenalan saya dengan pemikiran Cak Nur. Bisa dicari di google. Dari sekian banyak tokoh itu, Cak Nur lah yang paling bertanggungjawab menjadikan saya HMI.

Cak Nur adalah rule model cendikiawan Muslim Indonesia. Ia adalah seorang cendikiawan Muslim yang terkenal dengan fikiran-fikirannya yang mampu merubah paradigma islam tahun 70-an sampai sekarang. Itu sebabnya ada yang mengatakan pemikiran islam saat ini tidak lain adalah hanya catatan kaki Nurchoish Majid.

Beberapa hari setelah resmi menjadi kader HMI, seorang senior PMII whatsap saya. Zen, Ingat rumah dan jalan. Saya hanya jawab “saya tahu rumah dan jalan pulang, tak usah khawatir. Ia ingin menegaskan bahwa kita adalah orang NU dan harus PMII. Tanpa disadari sejatinya ia telah mengkerdilkan dan membatasi NU. NU adalah rumah besar, rumah bersama yang mewadahi, merangkul semua kalangan terlepas dari sekat-sekat agama, ras apalgi sebatas baju hijau dan kuning. NU adalah HMI, PMII dan Kita.

Yang terpenting dari Menjadi NU adalah nilai-nilai dan prinsip-prinsip NU. Dengan ini kita memiliki kebebasan untuk memilih dan bergerak dalam dinamika kehidupan yang kompleks sehingga nilai-nilai dan prinsip itu dapat menyebar dan mewarnai berbagai macam ruangan dan kehidupan yang tidak terbatas. NU tidak pernah kemana-mana tetapi ada dimana-mana. (Kiai Ali Maksum, Mantan Rais Syuriah NU)

HMI dan NU memiliki peran penting dalam pencaturan politik dan proses kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat bahwa keduanya sama-sama berjasa dan ikut andil dalam kemerdekaan dan mempertahankan Indonesia.

Dalam sejarahnya pembentukan HMI memiliki tujuan untuk mempertahankan Indonesia dan mempertinggi derajat umat islam. Dengan ini, HMI dan NU memiliki hubungan erat dan peran yang sama meskipun wilayahnya berbeda. Hubungan harmoni diantara keduanya tak terbantahkan pasca terpilihnya Kiai Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum PB-NU yang merupakan kader dan Majelis Korps HMI Rembang hingga saat ini.

Tidak hanya itu, NU memiliki beberapa pemikir tokoh progresif dan liberal yang banyak mewarnai dinamika pemikiran islam tradisional NU yang berguru terhadap Nurcholish Majid. Sebut saja diantaranya Ulil Abshar Abdalla dan Abdul Moqsith Ghazali. Dan tentang Cak Nur Saya banyak membaca dan tahu pemikirannya diantaranya dari Ulil Abshar Abdalla.

Hubungan baik antara NU dan PMII juga dapat dilihat dari dua tokoh penting masing-masing organisasi itu dan pernah menjabat ketua umum dua periode masing-masing organisasinya ia adalah Nurcholish Majid dan Gus Dur. Hubungan tokoh-tokoh NU dan HMI lainnya juga hingga saat ini masih terjalin.

NU sebagai organisasi tradisional yang dianggap kolot, konservatif dalam pemikiran-pemikiran keisalaman mendapat angin segar dan menjadi berbeda ketika dua tokoh liberal dan progresif NU itu dikenal. Kedua murid Cak Nur itu menjadi penyeimbang pemikiran-pemikiran NU yang konservatif. Sehingga  cara berfikir NU tentang keislaman dan isu-isu sosial menjadi lebih lentur, fleksibel dan progresif.

Dengan itu, saya ingin mengatakan bahwa Cak Nur secara tidak langsung berperan penting dan ikut mewarnai dinamika pemikiran NU dari yang konservatif menjadi moderat bahkan progresif. Itu artinya kedua organisasi tersebut memiliki hubungan yang erat dan pemikiran yang timbal balik. Sinergitas bukan rivalitas, tegas Ketum PB-NU K.H Yahya Kholil Staquf

Kesan saya terhadap HMI jauh lebih kompleks dibanding dengan PMII. Misalnya dalam nuansa intelektual dan politik. Sejak awal kader-kader HMI didik secara radikal dan liberal. Dekonstruksi dan rekonstruksi. Dan ini dilakukan sangat serius khusunya dalam forum latihan kader.

Pemahaman dan doktrin agama yang selama ini dianggap mapan dan tidak dapat diganggu gugat justeru dibongkar dan diacak-acak tak karuan. Misalnya mengenai kepercayaan, eksistensi tuhan dan keislaman sehingga para kader HMI memiliki fondasi kegamaan yang kuat, progrsif dan liberal.

Dalam nuansa politik juga tidak jauh berbeda. Cara berpolitik HMI jauh terlihat soft dan tidak grusak-grusuk khsusunya diwilayah kampus. Kecerdikan dan kelihaian para kader dalam politik sangat terlihat menjelang kontestasi dan semuanya dilakukan dengan elegan, sehat tanpa menyudutkan organisasi yang lain. Misalnya, memfitnah, menghina dan cara-cara kotor lainnya. Bahkan yang menarik di HMI adalah fenomena junior demo senior. Atau bahkan senior minta didemo junior dan mahasiswa.

Begitulah HMI. dia bukan NU, bukan Muhammadiyah dan pula buka persis. Ia adalah titk temu (kalimah sawa) semua faksi-faksi islam.

Zainal Ariefin
Zainal Ariefin
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kader HMI Ciputat dan Pengurus Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam (LKBHMI) Ciputat dan redaktur di zawaya.id
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.