Kamis, Oktober 3, 2024

Politik Inklusif Jepang dalam Pemenuhan Hak Kelompok Burakumin

Fauzan Dewanda
Fauzan Dewanda
Mahasiswa Kriminologi UI 2019

Jepang seringkali dianggap memiliki negara yang homogen dengan ras, bahasa, dan budaya yang sama. Gagasan Jepang sebagai bangsa yang homogen diwujudkan dengan penciptaan “kazoku kokka” atau, “negara keluarga”.

Penerapan dari nilai kazoku Kokka mengakibatkan adanya dikotomi antara mereka yang seorang murni keturunan Jepang dan campuran. Seringkali kelompok yang dianggap bukan murni keturunan Jepang seperti Burakumin mendapatkan perlakuan diskriminatif dari masyarakat.

Kelompok minoritas Burakumin menjadi salah satu kelompok yang paling sering mengalami marginalisasi oleh pemerintah Jepang. Diskriminasi terhadap kelompok Burakumin memiliki akar sejarah yang panjang. Penamaan Burakumin yang berarti ‘orang desa’ atau ‘orang buangan’ merupakan bentuk awal perlakuan diskriminatif masyarakat Jepang terhadap kelompok minoritas ini.

Data sensus mengenai jumlah kelompok Burakumin di Jepang terakhir kali dilakukan pada tahun 1993. Hasil sensus tersebut menunjukan terdapat 3 juta kelompok Burakumin di Jepang dengan mendiami 6.000 distrik.  Kelompok Burakumin saat ini kebanyakan tinggal di daerah kota Osaka dan Kyoto. Lokasi tempat tinggal mereka saat ini dapat dikaitkan dengan konsekuensi dari perkembangan ekonomi dan politik di akhir era Tokugawa.

Terlepas dari kondisi sosial politik Jepang yang mengarah pada liberalisme sosial, para aktivis HAM menganggap beberapa kelompok minoritas seperti Burakumin  masih mengalami praktik diskriminasi. Misalnya Di Osaka, surat-surat yang berisikan ujaran kebencian seringkali diterima oleh keluarga yang merupakan keturunan Burakumin. Surat-surat ujaran kebencian tersebut juga sering diterima oleh warga yang berprofesi sebagai penyembelih hewan dan pekerja pabrik kulit karena pekerjaan tersebut seringkali dikaitkan dengan aktivitas kelompok Burakumin.

Sejarah praktik marginalisasi terhadap kelompok Burakumin dapat ditelusuri pada periode Tokugawa (1603-1868). Kondisi masyarakat pada periode Tokugawa ditandai dengan  adanya stratifikasi sosial yang kaku.

Kelompok Burakumin diprofesikan sebagai pekerja tidak terampil seperti menyembelih dan menguliti hewan atau membuang kotoran. Pekerjaan yang berhubungan dengan hewan pada periode Tokugawa dipandang rendah. Hal ini juga tidak terlepas dari doktrin agama Buddha dan Shinto yang menganggap pekerjaan berhubungan dengan kotoran dianggap “tercemar” secara spiritual.

Memasuki masa restorasi Meiji, pengaruh paham liberalisme telah mempengaruhi munculnya gerakan protes dari kelompok Burakumin atas praktik diskriminasi seperti segregasi pemukiman yang dialami oleh mereka.

Aksi protes memuncak setelah pembentukan Suiheisha, Asosiasi Levellers, pada tahun 1922 sebagai organisasi Burakumin tingkat nasional pertama. Akan tetapi, Berkembangnya organisasi pembela HAM belum menyurutkan praktik diskriminasi terhadap kelompok Burakumin.

Adanya pengukuran status otentisitas keturunan Jepang atau biasa disebut Koseki dalam bentuk catatan riwayat seseorang dimanfaatkan untuk memarjinalisasi para keturunan Burakumin di Jepang. Catatan ini mencantumkan identitas kelahiran, pernikahan, dan kematian setiap leluhur masyarakat Jepang. Seringkali para agen rahasia disewa oleh perusahaan dan keluarga untuk memastikan status keturunan Burakumin seseorang melalui daftar hitam di dalam Koseki.

Banyak perusahaan memanfaatkan koseki pada pertengahan 1970-an, untuk mencari tahu nama dan lokasi tempat tinggal anggota kelompok Burakumin. Hal itu dilakukan untuk menyaring para pelamar kerja. Isu profiling ini juga pernah terjadi pada tahun 2009, dimana Google Earth memasukkan peta sejarah Tokyo dan Osaka untuk menunjukkan lokasi desa kelompok Burakumin bermukim di zaman feodal.

Meskipun saat ini pemerintah telah melarang praktik profiling terhadap kelompok burokunin, Toshikazu Kondo, dari The Burakumin Liberation League (BLL) menganggap penggunaan daftar hitam masih sering digunakan namun untuk tujuan yang berbeda.

Saat ini praktik membeli data informasi identitas kelompok burakumin dilakukan oleh orang tua untuk memeriksa calon mertua sebelum dinikahkan dengan anaknya.

Dampak penggunaan catatan hitam seperti Koseki membuat para keturunan Burakumin dihantui rasa takut jika identitasnya diketahui. Hal ini dapat menimbulkan kecurigaan di masyarakat Jepang bahwa keengganan untuk menunjukan asal-usul keluarganya menandakan bahwa ia merupakan keturunan Burakumin.

Dalam menghadapi praktik diskriminasi yang dialami oleh kelompok Burakumin, muncul LSM dan lembaga penelitian yang berfokus melawan praktik diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Jepang. Misalnya pada tahun 1968 didirikan sebuah lembaga penelitian bernama Buraku Liberation League (BLL) yang bertujuan menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas termasuk Burakumin. Lembaga advokasi seperti BLL memiliki kontribusi dalam melahirkan kovenan penting dan konsep ‘human rights’ di Jepang.

Kemunculan konsep ‘human rights’ atau jinken yang dihasilkan dari para aktivis Burakumin mempromosikan perlawanan terhadap seluruh praktik diskriminasi. Akan tetapi pencapaian ini masih bersifat eksklusif dan tidak memperhatikan kondisi kelompok minoritas lainnya. Dalam mengatasi sifat eksklusif dari pergerakan aktivis Burakumin, BLL membentuk jaringan HAM internasional.

Usaha dari BLL menghasilkan The International Movement Against All Forms of Discrimination and Racism (IMADR) pada tahun 1988. Keberhasilan ini kemudian memunculkan berbagai program pendidikan HAM dan multikulturalisme oleh pemerintah Jepang yang diprakarsai oleh politisi keturunan Burakumin. Pergerakan aktivis Burakumin saat ini juga telah bersifat inklusif dengan memberikan perhatian ke kelompok minoritas dan rentan lain seperti Ainu, keturnan Korea, difabel, dan pasien HIV.

Peluang bagi para aktivis HAM cukup terbuka dalam membela kelompok minoritas mengingat nilai kebebasan berekspresi di Jepang menurut freedomhouse.org pada tahun 2016 cukup baik 78/100. Hal ini kemudian didukung dengan pengesahan undang-undang the Act on the Promotion of the Elimination of Buraku Discrimination pada tahun 2016. Saat ini IMADR mendorong pemerintah Jepang agar mengimplementasikan undang-undang tersebut.

Beberapa langkah yang sudah dilakukan IMADR seperti meningkatkan kesadaran penghapusan diskriminasi Burakumin melalui Universal Declaration of Human Rights dan instrumen hak asasi manusia lainnya.

Dalam melawan praktik diskriminasi ini, perlu adanya gerakan pembaharuan  di kebijakan publik Jepang yang lebih memperhatikan hak kelompok minoritas. Dalam perumusan kebijakan pemerintah Jepang perlu melibatkan kelompok Burakumin dalam kehidupan berpolitik agar mereka dapat menyampaikan aspirasi dan menjadi pressure group.

Keterlibatan kelompok Burakumin dalam kehidupan politik seperti organisasi BLL diharapkan dapat merekonstruksi sejarah kehidupan kelompok minoritas di Jepang yang selama ini mengalami diskriminasi. Melalui penghapusan stigma negatif terhadap Burakumin melalui rekonstruksi sejarah dan penanam nilai HAM, harapannya praktik diskriminasi akan lenyap dalam kehidupan masyarakat Jepang.

Fauzan Dewanda
Fauzan Dewanda
Mahasiswa Kriminologi UI 2019
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.