Kamis, Maret 28, 2024

Segelap Apa Masa Depan Freshgraduate Jadi Guru Honorer?

Rizki Feby Wulandari
Rizki Feby Wulandari
Mahasiswi konsentrasi pendidikan

Seperti biasa layaknya mahasiswa pada umumnya yang baru saja lulus. Sebutan freshgraduate memandang masa depan masih abu-abu, takut melangkah karena takut ini itu dengan segala pertimbangan. Begitu juga yang dirasakan mahasiswa jurusan pendidikan. Ingin lanjut studi, tapi malu membebani orang tua, lagi dan lagi. Ingin lanjut S2 kejar beasiswa, hanya bisa bergelut lewat doa.

Teringat sambatan seorang kawan, yang khawatir akan nasibnya ke depan jika saat ini tetap menjadi guru Wiyata Bakti atau Honorer. Memandang guru honorer, niat awal sebagai batu loncatan. Akan tetapi, mau sampai kapan dan seberapa tinggi loncatan tersebut? Apalagi adanya marketplace tentang guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik.

Menjadi guru honorer, yang memiliki honor tidak seberapa dibanding dengan  perjuangan  yang kita keluarkan. Dikurung seharian dipenjara kegabutan, belum lagi tidak ada teman sefrekuensi alhasil menjalani hari dengan begitu lama. Menariknya, kawan saya sampai memikirkan apakah nasib keilmuan dan daya kritisnya cuma bisa sampai di sini saja.

Awal pikiran serupa juga menjumpai penulis, sambat ke kawan untuk mencari solusi jalan keluar. Pilihannya hanya dua, lanjut atau pindah saja. Akan tetapi tersadar bahwa, yang mampu mengeluarkan kita dari belenggu ini adalah diri kita sendiri.

Ada perkataan unik dan penulis rasa related dalam kehidupan kita dari Raim, musisi yang melahirkan lagu yang berjudul “Komang”. Pesannya seperti ini, “Jika ingin hidup enak, kita harus ambil pilihan-pilihan sulit. Jika ingin hidup sulit, ambil saja pilihan mudah yang tidak berisiko”. Sama halnya, jika ingin hasil yang besar kita tidak mungkin meninggalkan risiko besar yang mengikuti pula.

Okee, mari kita bedah satu per satu. Mulai dari honor yang tidak seberapa yang diberi sekolah untuk guru honorer atau biasa disebut guru wiyata bakti (WB). Mungkin kalau mengajar di swasta masih besar dibandingkan sekolah afiliasi negeri. Akan tetapi, selisihnya juga tidak seberapa. Masih jauh dari kata UMR (bagi freshgraduate)

Jika ingin berguru mengenai ketulusan, silakan menemui guru honorer tulen. Yang tetap tersenyum dan antusias meskipun bayaran sangat nahas. Jika berbicara realitas, tidak munafik banyak yang meninggalkan profesi ini karena memang jauh dari kata pantas.

Akan tetapi, satu yang perlu kita ingat jika ingin mendalami profesi yang terkadang disepelekan, namun berefek besar ini. Supaya kita tidak memandang guru honorer sebelah mata. Jika di awal kita sudah tidak ada greget dan niat yang kuat untuk membangun Pendidikan lebih baik lagi, bagaimana dengan masa mendatang?

Guru-guru senior di tempat saya mengajar, selalu mengingatkan untuk berjuang meskipun saya pikir ini cuma alibi yang hanya ingin membesarkan hati. “Saya WB 16 tahun mba. Tapi, gapapa ini proses menuju kesuksesan. Kalau sukses instan, nanti jatuhnya juga cepat.

Di sini bukan ingin mengajari atau menggurui, karena penulis sadar setiap pilihan yang kita putuskan untuk diri sendiri ke depan ada pertimbangan masing-masing dalam diri seseorang. Dan yang hanya bisa memahami ialah diri sendiri.

Ini hanya sebatas pandangan penulis. Menjadi guru honorer pada umumnya bahasa kasar ialah mereka titip nama dulu, sebelum menghabiskan masa pengabdiannya sehingga bisa mendaftar untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Jika pandangannya sebatas ini, kemungkinan kerja akan seadanya mengeluh akan segala keterbatasan yang dipunya. Berangkat kerja dari rumah sudah lemes, karena semangat yang seharusnya membara hangus karena pikiran terfokus pada keterbatasan.

Tidak menafikan, segala keterbatasan itu pasti adanya. Sekalipun di tempat ternama. Wajar saja, kita sebagai mahasiswa yang baru lulus, culture-shock dengan dunia kerja. Saya hanya ingin mengingatkan, supaya jangan terfokus akan hal-hal yang memang di luar kendali kita.

Ada pesan bijak, saya lupa dari siapa yang mengatakan, ”Jika ada permasalahan yang tidak bisa kita ubah atau selesaikan. Ialah mengubah cara pandang kita mengenai permasalahan itu.” Karena pada dasarnya memang ada permasalahan yang memang tidak bisa diselesaikan sekarang juga, akan tetapi saat kita mulai tenang dan menerimanya. Kita mampu melihat peluang lain di balik permasalahan tersebut.

Seperti halnya, memandang keterbatasan sebagai guru honorer adalah proses pembelajaran besar yang menguji keilmuan pendidikan kita selama di bangku kuliah, untuk diaplikasikan dalam dunia nyata. Begitu pula, tekanan atau ketidaknyamanan yang mengelilingi, hanya bagian dari proses pembelajaran yang nantinya kita akan syukuri.

Semoga, idealisme kita sebagai mahasiswa masih membara untuk senantiasa memberi yang terbaik untuk negeri dan sekelilingnya. Tidak perlu risau, duduklah dengan tenang sekali lagi. Merajut mimpimu tinggi-tinggi tidak mengapa, sembari membangun itu semua, jangan lupakan dan abaikan anak-anak yang ada di depan mata kita.

Jika ingin melanjutkan studi silakan saja, jika ingin berpindah profesi juga tidak mengapa. Akan tetapi, sejauh ini dengan tulus engkau mengurus murid dengan senyuman hangat meski sedang penat itu merupakan sesuatu yang hebat. Sekali lagi, penulis ingin menjabat tangan para guru honorer dan mengucap, kalian hebat.

Teriring do’a pula, semoga segala letih-perih yang tak tergantikan dengan jerih-honor digantikan dengan segala kemudahan di masa mendatang

Rizki Feby Wulandari
Rizki Feby Wulandari
Mahasiswi konsentrasi pendidikan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.