Minggu, Oktober 6, 2024

Sedekah Laut dan Moralitas Adat

M. Rasyid Ridha S.
M. Rasyid Ridha S.
Pengacara Publik YLBHI-LBH Jakarta

Pada Sabtu ((13/10/2018) lalu, sekelompok orang ekstrimis beragama melakukan tindakan vigilantisme dengan membubarkan acara sedekah laut yang diselenggarakan oleh warga di Pantai Baru, Bantul, Yogyakarta.

Pembubaran paksa dilakukan secara beringas pada malam sebelum acara hendak digelar, dimana para pelaku mengobrak-abrik dan merusak properti acara. Berdasarkan penyelidikan Kepolisian Resort Bantul, ada sekitar 9 (sembilan) yang diduga sebagai pelaku.

Dalam perkembangannya pihak Kepolisian Resort Bantul sudah mengantongi nama-nama terduga pelaku dan memeriksanya. Namun hasilnya masih nihil dan belum terang, apalagi Kepolisian sendiri hanya telah menetapkan status wajib lapor kepada para terduga pelaku yang sudah diperiksa tersebut.

Meski dalam konteks penyeldidikan Kepolisian belum menemukan titik terang, tampak banyak dari tokoh publik yang menaruh perhatian serius terkait masalah ini, dimulai dari Sultan Hamengkubuwono X, Bupati Bantul, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta, dan sebagainya.

Bila mengamati beberapa perkembangan berita yang beredar, penolakan atas ritual Sedekah Laut atau Larungan banyak dinyatakan oleh kelompok ekstrim keagamaan dengan dalih: sesat, syirik, bahkan dituding sebagai penyebab gempa bumi. Di mata kelompok ini, Sedekah Laut dianggap “mengundang bencana dan azab Tuhan”, yang oleh karenanya layak untuk dibubarkan, dan pembubaran tersebut adalah bagian dari perintah Tuhan si kelompok pelaku sendiri.

Satu hal yang tak pernah dibayangkan oleh kelompok ini adalah dialog dan belajar bertukar pikiran. Alih-alih berdialog, mengetahui seluk-beluk prosesi upacara Sedekah Laut, dsb., kelompok ekstrim seperti ini menggunakan jalur kekerasan untuk menghentikan hak dasar warga untuk bebas beragama dan berkeyakinan. Atas dasar masalah minimnya pemahaman tradisi adat seperti Sedekah Laut ini, saya akan mengulas sedikit mengenai seluk beluk “cara pikir” tradisi adat yang banyak diafirmasi oleh hampir sebagian besar kelompok adat nusantara.

Semuanya Adalah Mengenai Keseimbangan Alam

Satu hal yang mesti dipahami dari karakteristik alam pikir masyarakat yang masih memegang teguh nilai dan spritiualisme adat adalah keyakinan yang holistik religio-magis, yang meyakini adanya kesatuan sinergis-spiritual antara manusia, barang, hewan, pohon, ruang hidup, bumi, angkasa, air, dan seterusnya.

Konsepsi alam pikir ini dalam kategorisasi studi agama dan kepercayaan diistilahkan sebagai varian dari “Pantheisme”, yakni pemahaman holistik terhadap entitas absolut (Tuhan) yang menyatu dengan seluruh elemen semesta alam raya. Dzat Tuhan dan makhluknya sudah selalu satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Pemahaman seperti ini membawa konsekuensi logis bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini –baik yang diketahui oleh kesadaran manusia ataupun tidak-, pada dasarnya sudah selalu satu kesatuan entitas absolut. Maka kerusakan dan keberkurangan atas entitas absolut tersebut, adalah satu hal yang dapat merusak kesatuan dan keseimbangan alam. Artinya, kerusakan dan perpecahan pada dasarnya adalah suatu kondisi yang bertentangan dengan state of nature Ketuhanan yang mengandaikan kesatuan dan keseimbangan.

 

Dari pemahaman seperti ini, banyak dari komunitas masyarakat adat yang menempatkan tindakan dan perilaku kebudayaannya bukan hanya sekedar satu bagian dari bentuk interaksi dan aktualisasi tindakan antar manusia an sich, namun ia adalah satu hal entitas mikro-kosmos yang terhubung dengan entitas yang sifatnya makro-kosmos secara absolut-keseluruhan.

Misalnya dalam praktik perkawinan di anggota masyarakat adat, banyak simbolisme adat yang merasuk dalam tiap ritus upacaranya. Simbolisme tersebut umumnya menggunakan perangkat-perangkat alamiah yang diambil dari lingkungan hidup sekitar: tumbuhan, bunga, daun, dsb, yang tiap perangkat simbolis tersebut memiliki pemaknaannya tersendiri. Tidak cukup sampai disana, prosesi-prosesi ritus adatnya pun tidak sekedar “suatu tata acara/rundown” semata, namun dimaknai juga sebagai prosesi-fase secara lebih luas, yang umumnya mencerminkan prosesi-fase kehidupan manusia secara keseluruhan.

Melalui praktik-praktik keseharian-mikro tersebut, kebanyakan masyarakat adat berpegang prinsip dan bertindak laku bahwa segala hal sesuatu (termasuk perbuatan) yang kecil, sudah selalu terikat dan terkait dengan suatu hal yang lebih besar. Entah itu perbuatan baik ataupun perbuatan buruk, sudah selalu berimbas pada persoalan yang lebih besar. Baik dalam tataran lingkungan tempat tinggal, dapur, keluarga, hingga masyarakat, nilai-nilai adat termanifestasikan dalam segala bentuk kesehariannya.

Dalam kasus Upacara Sedekah Laut misalnya, upacara-ritual adat dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki yang didapatkan oleh warga pesisir laut, yang mana dalam keseharian mereka, warga tersebut hidup dengan cara menangkap ikan di laut. Ikan-ikan yang ada di laut, sebagai makhluk hidup, pada dasarnya adalah bagian dari Dzat Tuhan sebagai Khaliq-nya. Dengan ia ditangkapi oleh nelayan, maka ada pengurangan jumlah ikan di laut. Artinya, ada pengurangan entitas absolut semesta alam raya.

Atas dasar hal tersebut, maka upacara Sedekah Laut, selain diadakan untuk mengekspresikan rasa syukur, juga bagian dari upaya “sedekah” kepada makhluk hidup yang ada di laut: dalam hal ini ikan. Ringkasnya: Sedekah Laut selain dimaknai sebagai bentuk simbolisme spiritual, ia juga dimaknai sebagai tindakan kongkrit “memberi makanan” kepada ikan-ikan di laut sebagai bentuk penghormatan sesama makhluk hidup. Menghormati makhluk hidup, tiada lain bentuk dari menghormati Tuhan itu sendiri sebagai Sang Khalik.

Dalam konteks pengelolaan tata-ruang hidup, pola-pola tradisi adat lokal seperti ini pada dasarnya adalah bentuk upaya membangun keberlanjutan lingkungan hidup. Manusia yang banyak mengambil dan mengeruk hasil alam, tanpa melakukan upaya “pemulihan”, “pengembangan”, dsb., maka akan mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan hidup, yang pada kelanjutannya berimbas pada diri manusia itu sendiri yang tak mampu bertahan hidup karena lingkungannya tidak memiliki daya tampung kehidupan.

Tindakan upaya pembangunan keberlanjutan lingkungan hidup seperti ini, tiada lain adalah bentuk upaya membangun keseimbangan alam: baik mikro-kosmos maupun makro-kosmos. Ia adalah bentuk aksi dari moralitas kearifan lokal. Meski begitu, dalam konteks logika internal warga adat, ia tidak hanya sekedar dianggap sebagai tindakan etis dan moril semata, namun ia sudah menjadi keyakinan teologis maupun ideologis.

Vigilantisme terhadap tradisi-tradisi adat seperti ini, tentu akan membuat hilangnya nilai-nilai luhur dibalik simbolisme tradisi adat tersebut. Akibatnya, tindakan masyarakat dan kebudayaannya bergeser menuju nihilisme: tepat di saat tindakan tersebut semakin menjadi banal dan tak bermakna.

Tidak cukup sampai disana, Vigilantisme oleh kelompok identitas tertentu, membuat segregasi dan polarisasi di masyarakat menjadi semakin terbuka lebar. Ia menyebabkan potensi disintegrasi di masyarakat, yang disandarkan pada sentimen-sentimen primordial. Kondisi yang tidak kondusif ini pada akhirnya akan berimbas pada fondasi utama kehidupan masyarakat itu sendiri: yakni kondisi situasi ekonomi-politik warga.

M. Rasyid Ridha S.
M. Rasyid Ridha S.
Pengacara Publik YLBHI-LBH Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.