Kamis, April 25, 2024

Sebuah Problem Perdesaan : Lahan Pertanian Terbatas, Kemiskinan Meningkat

Yayan Hidayat
Yayan Hidayat
Yayan Hidayat Peneliti di Central Information, Journal and Forum Development Universitas Brawijaya

Keterbatasan akses lahan menjadi problem utama peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Pada tahun 2016, hanya ada 33 persen wilayah Indonesia yang dapat digunakan untuk pertanian, sisanya 67 persen adalah kawasan hutan lindung.

Pemanfaatan lahan pertanian pun terbentur dengan lahan hutan lindung. Karena lahan kategori hutan lindung di Indonesia tidak dapat dikembangkan menjadi lahan pertanian atau perkebunan.

Di Sleman sebagai contoh, luas lahan pertanian menyusut setiap tahun. Situasi itu berdampak terhadap penurunan produksi pertanian, terutama padi.

Tiap tahun di Sleman tercatat rata-rata lahan pertanian berkurang 200 hektare (ha). Hal ini tak pelak menyebabkan kebutuhan petani atas lahan menjadi meningkat, kondisi itu memicu pertumbuhan stratum tuan tanah elit baru dimana kekuasaan mereka terletak pada kepemilikan atas lahan-lahan yang mereka kuasai. Akhirnya peningkatan buruh tani tanpa tanah terjadi di Sleman.

Faktor-faktor lain mengancam pemilik lahan kecil di perdesaan. Ketika lahan menjadi langka dan kepemilikan makin terfragmentasi melalui pemberian warisan, keuntungan yang menciut dengan cepat dari pekerjaan pada lahan yang pasti memaksa pemilik lahan kecil untuk berhutang dan akhirnya kehilangan lahan — dengan demikian menambah jumlah penyewa dan buruh tani di perdesaan.

Jumlah penduduk kian meningkat, sementara luas lahan pertanian makin mengecil. Prahara yang terjadi pada lahan harusnya menjadi perhatian serius oleh pemerintah sebab pertanian selalu membutuhkan lahan yang besar.

Dampak yang paling nyata terjadi adalah kelangkaan komoditi pangan, sementara ledakan penduduk menyebabkan kebutuhan atas pangan meningkat. Pemerintah hanya bisa menargetkan percepatan produksi pangan, namun melupakan satu problem mendasar petani soal keterbatasan akan lahan pertanian.

Itulah kenapa soal dasar menyusutnya lahan pertanian dapat menyebabkan dampak begitu besar terhadap tiap aspek kunci yang mempengaruhi dinamika ekonomi dalam satu negara.

Lahan Terbatas, Kemiskinan Meningkat

Akses lahan yang semakin sempit, produksi pangan terbatas, kenaikan harga pangan yang semakin mahal tentunya menyebabkan tingkat kemiskinan pun kian menjulang pada tahun 2017 ini. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2017 mencapai 27,77 juta orang atau 10,64 persen. Naik 6,90 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2016 yang sebanyak 27,76 juta orang atau 10,70 persen.

Dari data kemiskinan tersebut, sebagian besar di dominasi oleh penduduk miskin yang tinggal di daerah perdesaan. Pada Maret 2017, jumlah kemiskinan di pedesaan mengalami kenaikan sebanyak 61,56 dari seluruh penduduk miskin.

Mengapa kemiskinan di perdesaan naik? Kondisi ini bisa jadi karena pada periode Februari 2015 hingga Februari 2016 jumlah penduduk yang bekerja turun sebanyak 200.000 orang. Penurunan itu terutama terjadi di sektor pertanian, sektor yang dominan di perdesaan. Sebab itu adalah problem mendasar yang menjawab pertanyaan soal kenapa jumlah penduduk miskin di perdesaan mengalami status quo.

Kemiskinan di perkotaan dan perdesaan harus dilihat secara berbeda. Kondisi geografis, demografis, dan struktur ekonomi daerah sedikit banyak mempengauhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Apalagi ukuran kemiskinan selalu dipandang dari faktor ekonomi yang diukur dari tingkat pendapatan (income) atau tingkat pengeluaran konsumsi masyarakat.

Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, ukuran kemiskinan dilihat dari tingkat pemenuhan kebutuhan dasar. Muncul konsep garis kemiskinan yang mengacu pada rata-rata pengeluaran per kapita per bulan.

Padahal indikator kemiskinan tak sesederhana itu, sebab munculnya kemiskinan di perdesaan yang paling utama sebenarnya akibat keterbatasan akses lahan pertanian sebagai unsur dominan mata pencaharian masyarakat perdesaan. Akhirnya hal itu mempengaruhi pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pada titik inilah akhirnya kemiskinan muncul dan melonjak begitu tinggi.

Jika kita bandingkan, struktur ekonomi di wilayah perkotaan dominan oleh sektor non-tradable yaitu sektor ekonomi yang tidak dapat diperdagangkan seperti keuangan dan jasa. Sementara wilayah perdesaan yang memiliki sumber daya alam lebih dominan dalam sektor tradable, yaitu pertanian, pertambangan, dan industri.

Pertumbuhan sektor non-tradable biasanya lebih tinggi ketimbang sektor tradable. Itu sebabnya, pertumbuhan pendapatan masyarakat di wilayah yang dominan sektor non-tradable-nya lebih tinggi ketimbang pendapatan para petani di perdesaan.

Belum lagi soal dominasi sektor tradable yang mayoritas dikuasai oleh struktur pemerintah dan perusahaan di perdesaan. Kondisi itu semakin memperkecil akses masyarakat perdesaan terhadap pertanian, pertambangan dan industri. Sehingga kondisi ini yang menyebabkan kesenjangan antara kota dan desa semakin lebar.Hal ini terlihat dari komoditas yang memberi sumbangan besar terhadap kerentanan kemiskinan yang paling utama adalah beras, ini berlaku di perdesaan.

Pengentasan rakyat dari kemiskinan seharusnya fokus pada masyarakat perdesaan. Selain soal integrasi program pemerintah, harus dipahami adanya perbedaan kebutuhan penanganan terhadap kelompok keluarga miskin, rentan, atau bahkan menengah sekalipun. Dengan pola penanganan spesifik sesuai kelompok masyarakat, ketahanan masyarakat untuk tidak tenggelam atau jatuh ke bawah garis kemiskinan dapat diperkuat.

Lahan Pertanian Terbatas, Deagrarianisasi Perdesaan Terjadi

Persoalan keterbatasan lahan pertanian pun juga menyebabkan pesatnya laju urbanisasi terjadi di perdesaan, hal ini disebabkan oleh rendahnya kepemilikan lahan dan produktifitas yang berujung pada tergerusnya kesejahteraan petani.

Selama periode 2003 sampai 2016 ada lima juta petani yang tercerabut dari lahan taninya. Mereka tidak punya pilihan selain migrasi ke kota-kota besar.

Kondisi ini digambarkan oleh Gerry Van Klinken, peneliti dari Belanda sebagai bentuk deagrarianisasi atau suatu bentuk hilangnya ketergantungan masyarakat perdesaan terhadap pertanian dan memilih bergantung terhadap birokrasi negara di perkotaan, jalan itu terpaksa diambil oleh masyarakat perdesaan guna mengamankan pendapatan ekonomi mereka.

Dari sekitar lima juta petani yang pindah ke perkotaan, awalnya rata-rata mengusahakan lahan 1.000 meter, sementara dari lahan tanam 1.000 meter, petani padi hanya dapat memperoleh maksimal 2,5 ton sekali panen. Itupun masih bisa jadi masalah karena infrastruktur pendukung pengolahan pascapanen masih terbatas.

Alhasil, laju deagrarianisasi penduduk desa di penjuru Indonesia mencapai 4 persen per tahun, salah satu yang tertinggi di dunia. Bahkan diperkirakan pada 2025, 65 persen penduduk desa akan berpindah ke kota. Angka ini diperkirakan akan mencapai 85 persen pada 2050.

Untuk meningkatkan kesejahteraan petani di desa dengan akses lahan yang terbatas dan menghambat laju deagrarianisasi, salah satu upaya yang bisa dilakukan sementara adalah melalui klasterisasi usaha. Artinya, usaha tani dikelompokkan berdasarkan produk tani yang dihasilkan.

Jika kemudian kondisi seperti ini terus diabaikan oleh pemerintah, maka kita tak akan mampu menghindari krisis pangan akan melanda negeri agraris.

Yayan Hidayat
Yayan Hidayat
Yayan Hidayat Peneliti di Central Information, Journal and Forum Development Universitas Brawijaya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.