Indonesia tak sedang mengalami krisis aktivisme, melainkan kita terjebak pada prahara aktivis yang tak lagi berani berteriak lantang menyuarakan perlawanan terhadap ketertindasan. Sebab arus dinamika predatoris yang begitu deras, ikut menyeret keberpihakan dan idealisme aktivis itu.
Tak pelak ini terjadi pada deretan beberapa wajah aktivis 1998, yang kala itu lantang bersuara melawan totalitarianisme Orde Baru. Namun kini? Mereka hanyut tak terlihat dalam arus sistem yang tak mampu mereka lawan.
Meski begitu, secerca harapan itu masih ada. Abdon Nababan, sebut saja Bang Abdon begitu panggilan akrabnya. Pria kelahiran Tano Batak, Sumatera utara ini berhasil memberikan contoh kepada generasi baru agar tak menjadi generasi yang predatoris dan pragmatis.
Ia rangsang semangat patriotisme, konsistensi perjuangan pantang menyerah dan pantang berputus asa pada jiwa-jiwa muda yang hampir kehilangan nalar kritis akibat rasionalitas industri yang semakin menghegemoni.
Tidak hanya sekedar memberi contoh, Abdon menghidupkan kembali pengharapan masyarakat adat yang berdaulat di atas tanah mereka sendiri, yang sebelumnya hampir punah akibat penetrasi orde baru.
Abdon Nababan dan Kebangkitan Masyarakat Adat
Sejak mahasiswa pada tahun 1987 aktif dalam dunia perlawanan, perjuangan dan kerja-kerja advokasi masyarakat khususnya persoalan lingkungan hidup dan masyarakat adat. Ia tergabung di dalam PMKRI dan menggeluti pendidikan lingkungan hidup bersama Yayasan Indonesia Hijau (YIH). Sebab itu memberikan banyak pengalaman bagi Abdon Nababan untuk semakin berkiprah menyuarakan kompleksitas persoalan lingkungan hidup.
Abdon menganggap, prahara keterasingan masyarakat adat semakin menjadi-jadi kala itu. Bayangkan sebanyak 2.332 komunitas adat, yang terdiri dari 17 anggota individu satu per satu kehilangan hak asal-usul mereka. Sebab negara, swasta dan rente-rentenya yang semakin predatoris.
Tak pelak kondisi ini menimbulkan perlawanan dan perjuangan lokal yang tidak terorganisir awalnya. Pun mereka kesulitan untuk mendapatkan akses jaringan guna memenangkan perlawanan, sebab mereka tidak di akui oleh negara kala itu.
Alih-alih runtuhnya orde baru, titik terang mulai muncul. Tahun 1999, dengan didorong oleh kompleksitas masalah masyarakat adat tersebut. Lebih dari 400 pemimpin adat di Nusantara berkumpul untuk membahas dan mencari solusi guna mengatasi ancaman terhadap eksistensi masyarakat adat, khususnya pelanggaran hak asasi, perampasan tanah adat dan mempertegas hubungan dengan negara.
Pertemuan itu juga bermaksud untuk mengkonsolidasikan gerakan masyarakat adat untuk pertama kalinya. Saat itulah AMAN atau aliansi masyarakat adat nusantara terlahir sebagai alat perjuangan masyarakat adat untuk menegakkan dan mempertahankan hak-hak adatnya.
Sejak itu pula Abdon Nababan melalui acara lima tahunan kongres masyarakat adat nusantara menunjuknya sebagai pemimpin perjuangan masyarakat adat melalui AMAN di dua periode berturut-turut, yaitu 2007-2012 dan 2012-2017.
Derap langkah perjuangan, Abdon hembuskan pengharapan bangkit dan berdaulat di tengah kompleksitas hubungan negara dan masyarakat adat.
Di bawah nahkoda Abdon, kerja AMAN telah berkontribusi positif terhadap masyarakat adat. Beberapa di antaranya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi no. 35/PUU-X/2012 tentang hutan adat. Yang kemudian putusan ini berhasil melepaskan wilayah hutan adat dari hutan negara.
Abdon melalui AMAN juga mendorong masyarakat adat untuk memetakan wilayah adatnya agar kemudian tak gampang di klaim oleh oknum-oknum dalam negara. Sampai hari ini sudah ada sekitar 6.896.296,65 Ha atau 74.65% wilayah adat yang statusnya sudah teregistrasi. Kerja-kerja pemetaan sampai hari ini terus berlanjut.
Sudah 20 tahun belakangan Abdon melayani dan mendampingi masyarakat adat memperjuangkan eksistensi dan pengakuan negara. Kondisi itu tak pelak membuatnya jenuh lalu banting stir sebagaimana aktivis-aktivis 1998 yang hari ini bungkam dan hanyut ditelan arus. Abdon tetap gigih dan konsisten berada pada barisan masyarakat adat.
Cerita yang tak terungkap: Abdon Nababan dan Gus Dur
Alih-alih ada cerita yang tak terungkap pada publik soal hubungan Gus Dur dan Abdon Nababan. Cerita ini pun bermula saat saya berkesempatan berdiskusi dengan Bang Abdon kala itu, sebab saya benar-benar penasaran dengan gagasan besar Abdon soal masyarakat adat.
“AMAN ini salah satu gagasan yang muncul dari diskusi saya bersama Alm. Gus Dur, sebab beliau menganggap ada relasi saling terkait antara gagasan kenusantaraan dengan masyarakat adat. Gus Dur itu sosok sederhana yang patut di contoh, satu waktu beliau mampir ke kantor Walhi saat saya aktif di sana, beliau datang hanya untuk menonton pertandingan bola di televisi sebab jika di rumahnya beliau tak di izinkan menonton bola oleh Ibu Sinta, ya dari situ saya banyak belajar dari Alm. Gus Dur” Ungkap Abdon.
Abdon mengaku saat Gus Dur menjabat sebagai Presiden, dan Abdon sebagai sekertaris jendral AMAN ia begitu dekat dengan dengan Gus Dur. Gagasan dan konsep besar itu terbangun dari diskusi-diskusi kecil itu. “Gus Dur itu pernah berucap: jika di Jawa ini gagasan kenusantaraan menyentuh dan merasuk dalam jiwa masyarakat NU, di luar Jawa biarkan gagasan kenusantaraan merasuk dalam jiwa-jiwa masyarakat adat. Begitu kata Gusdur” Ungkap Abdon sambil tersenyum kecil, mengingat masa lalu.
Ada satu ruang di mana Gus Dur turut membentuk pemikiran besar dari Abdon Nababan, dan sosok Abdon benar-benar sangat menghormati Gus Dur. Sebab menurutnya Gus Dur banyak berjasa bagi para pemuda masa itu. Itu juga salah satu alasan kenapa akhirnya Abdon tetap konsisten berjuang untuk masyarakat adat.
Tak heran jika KH. Salahuddin Wahid (adik Gus Dur) saat Abdon bersilahturahmi ke kediamannya mengungkap bahwa Abdon adalah adik ideologis Gus Dur, sebab Abdon berhasil membangun keinginan yang sama dengan Gus Dur masa itu.
Itulah sebab Abdon menerima penghargaan yang sama seperti Gus Dur yakni Ramon Magsaysay Award serta dengan nominasi yang sama.
Konsisten berjuang, Abdon terima Magsaysay
Kamis, 27 Juli 2017, Ramon Magsasay Foundation mengumumkan Abdon Nababan terpilih sebagai penerima penghargaan bergengsi se-Asia untuk kategori Community Leadership.
Ramon Magsaysay Award adalah penghargaan untuk kepemimpinan yang menginspirasi dan membawa perubahan. Beberapa nama yang pernah mendapat penghargaan ini adalah Dalai Lama ke- 14 pada 1959, Abdurrahman Wahid (Gusdur) pada 1993, dan Syafi’i Maarif (PP Muhammadiyah) pada 2008.
Menurut Ramon Magsasay, Abdon merupakan seorang pemimpin yang membawa perubahan. Keberanian dan konsisten dalam berjuang selama 20 tahun menjadi wajah baru bagi masyarakat adat di Indonesia. Deretan perjuangan yang telah dilakukan Abdon, membuat ia layak berada pada barisan penerima Magsasay generasi penerus orang-orang hebat di Indonesia.
Prestasi itu tak pelak membuat Abdon mendongak. Bahkan ia menyatakan tidak tahu siapa pengusul namanya dan bagaimana proses seleksi Ramon Magsaysay. Namun ia mengaku senang dan bangga bisa mewakili puluhan ribu orang yang selama 24 tahun terakhir berjuang bersamanya dalam gerakan masyarakat adat.