Kamis, April 25, 2024

Sayap Kecil di Kaki Anak-anak

Rizka Nur Laily Muallifa
Rizka Nur Laily Muallifa
Reporter media daring dan penulis lepas. Mengelola Podcast Jangan Nyasar

Konon, di kota, anak acapkali terbaca sebagai sosok yang lekas melampaui kodratnya sebagai sosok anak-anak. Anak-anak di kota memang lebih banyak tumbuh bersama gadget, tuntutan belajar dan berprestasi secara akademis, dan hal-hal serba artifisial lain. Anak-anak di kota absen dari romantisme sosial mengenal banyak orang di sekitar, juga mengagumi alam sekeliling. Meski ini tak bisa digeneralisasi.

Sementara gambaran kita tentang masa ideal anak-anak tentu yang serba menyenangkan betapapun banyak pula air mata turut dalam permainan di hari-hari mereka. Di haribaan layar perak di Kota Solo, anak-anak mengakrabi gambaran ideal yang berseteru dengan kenyataan diri mereka melalui film garapan Riri Riza dan Mira Lesmana, Kulari Ke Pantai (2018).

Deretan kursi bioskop bagian atas sudah padat terisi ketika saya masuk. Baik oleh anak-anak maupun orang tua. Ketika hampir dimulai, seorang anak lelaki –kira-kira usianya 4 tahun— merengek sembari menghentakkan kakinya secara bergantian di depan orang tuanya. Ternyata ia minta dibelikan popcorn.

Si ayah lekas menanggapi ekspresi marah anaknya, sementara ibunya memberi wejangan halus “iya habis ini beli sama ayah, tapi nggak usah marah ya. Nggak usah marah”. Berkat romantisme keluarga kecil di depanku serta prolog film yang sinematografik dan humoris, Kulari Ke Pantai lekas menjadi hadiah baik bagi kerinduan akan masa anak-anak yang indah.

Kegagapan Sosial

Happy (Lilli Latisha) ialah gambaran hampir paripurna tentang anak kota yang lekat dengan segala yang artifisial. Hidupnya terangkum dalam sapuan layar gadget. Hari-hari sibuk untuk melakukan telepon atawa panggilan video dengan Glam Girls. Kelompok pertemanan belasan tahun berbalut glamor tanggung.

Saya tak bisa lupa pengakuan Happy kepada Sam menyoal pola pertemanan yang dijalaninya, kira-kira begini: “Tak penting itu konser siapa. Yang penting kami ada di situ, kami harus ada di situ. Posting di instagram. Kamu nggak akan ngerti. Mom and Dad aja nggak ngerti, mereka nggak ngerti. Kalau mau jadi bagian dari Glam Girls ya harus begitu. Kamu nggak akan ngerti”.

Di usianya yang ke duabelas, Happy sudah kecanduan pertemanan hedonis yang sejatinya tak ia mengerti. Yang jelas ia harus berlaku demikian jika enggan tersingkir dari kelompok mainnya.

Happy turut dalam perjalanan  Uki (Marsha Timothy), Sam (Maisha Kanna) dari Jakarta bermaksud berakhir di G-Land Banyuwangi untuk menemui shurfer idola Sam: Kailani Johnson. Di antara Uki dan Sam yang bergairah menikmati perjalanan itu, sosok Happy nampak kontras. Duduk di kursi mobil belakang ia sibuk dengan gadgetnya. Menghubungi Glam Girls, juga perlu mengambil foto untuk diunggah ke akun instagram. Bingar pencitraan butuh pengakuan rupanya sudah diimani anak-anak kota seusia Happy.

Sebagai sepupu yang pernah demikian karib semasa kecil, Happy dan Sam kemudian tumbuh agak jauh berlainan. Happy tumbuh menjadi pengikut jaman mutakhir dengan simbol kemajuan teknologi dan pergaulan sosial khas kota yang hedonis. Sementara Sam tumbuh menjadi bocah petualang yang jauh dari candu akan gadget dan lebih dekat dengan alam tempatnya tinggal di Rote, Nusa Tenggara Timur. Happy dan Sam kecil biasa tidur berdua di Jakarta. Hal ini berlainan ketika usia mereka bertambah dan perbedaan yang nampak kian saling bertentangan.

Konflik terjadi ketika Happy dan Sam beradu saling ejek untuk berusaha menang sebagai yang paling benar. Sam mempermasalahkan pola pertemanan Happy dengan Glam Girls berikut cita-cita besar menonton konser bersama. Happy menimpalinya dengan keinginan Sam bertemu Kailani Johnson. Perseteruan itu membuat Happy muntab dan bermaksud pulang sendiri ke Jakarta. Pertikaian khas anak-anak yang sejatinya juga tak alpa dari kehidupan orang dewasa. Berdebat dan saling tuding.

Menangkis yang Tak Nyata

Seorang kawan menolak ajakan saya menonton Kulari Ke Pantai sebab alasan yang perlu kubuktikan. Alih-alih tergoda beringsut, niatku kian bulat musti menontonnya di hari pertama tayang.  Berbekal menonton teaser, kawanku menuduh anak-anak dalam Kulari Ke Pantai bukanlah anak-anak sebenarnya. Penggambaran sosok anak-anak dalam film terkesan artifisial.

Temanku ragu, masih ada anak-anak seperti tokoh Sam di kenyataan terkini. Ia meyakini sosok Sam yang lincah bercerita dan tahu persis menikmati hari-hari membahagiakan mengenal alam sekitar hanya berjejak dalam dongeng. Nampaknya kawanku telanjur pesimis memandang kehidupan anak-anak mutakhir.

Sementara bagiku, tokoh Sam tak janggal. Orang tua Sam ialah sepasang manusia yang enggan menyerahkan diri kepada hiruk pikuk Jakarta. Uki dan Irfan memilih tinggal di Rote untuk mengelola kebun, meninggalkan rutinitas tak menyehatkan raga dan jiwa kala melakoni hidup di ibukota.

Anak yang ceria, dekat dengan orang-orang serta alam sekitar, yang berhasil abai pada rayuan gadget sangat mungkin lahir dari keputusan sehat yang dibikin orang tuanya. Dalam film ini, ialah keputusan Irfan memboyong keluarga kecilnya pergi jauh dari Jakarta untuk menetap di alam Rote yang menentramkan. Kedekatan hubungan emosional antara orang tua dan anak melebur jadi amunisi baik dalam tumbuh kembang anak: terutama secara psikologis. Riri Riza dan Mira Lesmana berhasil menyampaikan narasi yang begitu itu. Tsah!

 

Rizka Nur Laily Muallifa
Rizka Nur Laily Muallifa
Reporter media daring dan penulis lepas. Mengelola Podcast Jangan Nyasar
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.