Kamis, Maret 28, 2024

Satumin Petani Hutan yang Dikriminalisasi

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.

 

Kamis 27 September 2018, Satumin salah seorang petani hutan di Banyuwangi yang dikriminalisasi oleh Perhutani, dituntut oleh jaksa penuntut umum dengan hukuman penjara 3 tahun serta denda 1,5 miliar rupiah. Tentu ini merupakan tuntutan yang cukup mengada-ada dan dipaksakan. Mengingat delik tuduhan Pasal 92 ayat 1 dan 2 UU RI No. 18 Thn 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), tidak terbukti kebenarannya.

UU P3H ini termasuk salah satu aturan yang kerap menyasar para petani hutan. Tanpa ampun beberapa petani lahan hutan telah menjadi korban. Mereka yang hidup di sekitar hutan kerap terintimidasi oleh aturan ini, apalagi seringkali digunakan Perhutani untuk merepresi serta mengintimidasi petani hutan. Satumin merupakan satu dari sekian petani hutan, yang telah dijerat dengan peraturan ini. Jika melihat fakta dilapangan, jelas berbeda antara tuduhan dengan realitas yang tersaji.

Perlu diketahui, satumin merupakan salah satu mitra Perhutani melalui payung LMDH, beliau di hutan menanam pohon kopi dan Jahe. Namun karena dianggap tidak sesuai aturan, Perhutani tak memperbolehkan Satumin melanjutkan kegiatannya. Berselang dua tahun pasca pelarangan, Satumin beserta istri ingin mengambil tanaman jahe yang telah mereka tanam.

Pada saat selesai mengambil tanaman jahe yang ia tanam, tiba-tiba Satumin didatangi oleh Polhut dengan membawa 20 batang pohon kopi. Satumin dituduh melakukan perusakan pohon kopi, padahal ia tidak melakukan pencabutan pohon kopi. Pasca kejadian tersebut, Satumin dilaporkan ke pihak kepolisian dengan tuduhan merusak kawasan hutan kelola Perhutani. Hingga detik ini Satumin masih duduk di kursi persidangan, guna menghadapi tuduhan yang dialamatkan kepadanya.

Tinjauan Satumin tidak Bersalah

Dari fakta ini tidak ada unsur dlarar (kerusakan) yang dilakukan oleh Satumin, sehingga tidak termasuk dalam konteks jinayat (kriminal). Karena faktanya Satumin hanya mengambil jahe yang seharusnya menjadi haknya, karena ia tanam dengan bibitnya sendiri. Bahkan sebelumnya sudah masuk dalam skema kerja sama, namun di lain waktu ternyata Satumin harus diusir, karena dianggap menanam di hutan lindung.

Tidak ada kerusakan yang ditimbulkan oleh Satumin, atau bentuk kerusakan masif sehingga mengancam keberadaan hutan yang berimplikasi pada keselamatan banyak orang. Maka secara dasar tidak ada unsur dlarar dan jinayat. Secara konteks kasus, jika melihat dalam fakta yang terjadi malah ada tendensi fitnah. Di mana Satumin dituduh, namun sarat dengan rekayasa, mengingat beliau tidak pernah menebang pohon kopi seperti yang dituduhkan.

Dalam melihat kasus ini, perlu proses tabayun yang artinya mencari tahu sebuah persoalan secara mendalam, tidak terburu-buru memutuskan atau memvonis dengan hukuman berat. Karena sejak awal tidak ada proses klarifikasi dan musyawarah, mengingat persoalan Satumin ialah kasus mengenai persoalan akses kelola. Sudah seharusnya ada proses-proses di luar jalur hukum pidana. Karena kasus ini rawan dengan bias perspektif, sehingga akan merugikan pihak yang tidak bersalah.

Secara kontekstual kasus Satumin ini, akan menjadi preseden buruk bagi penegakkan hukum yang adil dan berorientasi pada keadilan sosial. Ini juga cukup paradoks dengan agenda-agenda mengenai pemberian akses kelola, demi terwujudnya kesejahteraan menyeluruh. Karena faktanya masyarakat masih disalahkan atas kerusakan yang tidak mereka lakukan, sementara mereka yang merusak dalam skala luas tidak pernah dilihat.

Jika berpatokan dengan halaqoh Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (GNKL PBNU) Pada Tanggal 20-23 Juli 2007 di Jakarta. Yang salah satu mandatnya ialah merespons ikhtiar warga Nahdliyin dalam semangat menyelamatkan lingkungan, pelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Maka ada poin yaitu jihad bi’ah dan iqtishodiyah yang artinya selain menyelamatkan lingkungan, harus melihat faktor kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

Dalam hal ini dapat dimaknai jika masyarakat harus dilibatkan dalam penyelamatan hutan serta pelestariannya. Dalam konteks Satumin apakah memang beliau benar-benar merusak lingkungan dalam hal ini hutan, lalu apakah Satumin sudah sejahtera dan mendapatkan akses dalam memanfaatkan hutan. Tentu hal ini penting dilihat, mengingat Satumin merupakan kaum mustadh’afin yang terekslusi dari wilayah hutan.

Secara gamblang Satumin tidak bersalah atas apa yang dituduhkan. Dan, cukup bertentangan dengan upaya jihad bi’ah dan iqtishodiyah, karena tidak melihat realitas siapa perusak hutan sesungguhnya dan bentuk upaya sistemik untuk meminggirkan petani hutan seperti Satumin.meminggirkan petani hutan seperti Satumin.

Bahkan tindakan represif pada Satumin, dilakukan secara sistemik untuk meminggirkan kaum mustadh’afin yang menggantungkan hidupnya dari hutan. Tentu dalam konteks Satumin, sangat paradoks dengan usaha mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan yang masif.

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.