Keterasingan bagi mayoritas masyarakat merupakan sebuah kutukan dalam hidup, tetapi bagi pengarang dan seniman adalah sahabat sejati, jika tak mau dilabeli layaknya seorang “kekasih”. Pengarang Rusia bernama Boris Pasternak dengan penolakan hadiah nobelnya dan disusul dengan kutukan-kutukan terhadap dirinya merupakan sebuah contoh konkrit, betapa sepi dan sunyi kedudukannya yang sungguh-sungguh hendak mempertahankan kebebasan seninya.
Seorang yang mempertahankan kebenaran melalui medium seni dalam jiwanya, berarti mempertahankan pula martabat kemanusiaannya. Dalam hal ini, bukan martabat kemanusiaan dalam arti individual, melainkan berimplikasi pada seluruh manusia yang tersebar di penjuru dunia.
Seorang manusia tidak dapat hidup bermartabat sebagai manusia, kecuali manusia lainnya menghargai martabat sesama manusia. Manusia yang memperbudak manusia lain, yang melanggar hak-hak dan martabat manusia, pada hakikatnya telah memperkosa kemanusiaan yang ada pada dirinya. Dan jika perbuatan tersebut terus bergulir tanpa ada interupsi dalam dirinya, maka sejatinya ia telah kehilangan rasa kemanusiaannya sehingga ia tak ada lagi bedanya dengan binatang.
Pada hari pertama,Timbul hasratUntuk bertemu dalam cahaya matahariYang berakhir di tengah malamUntuk berbicara lama, lama sekaliUntuk akhirnya berbicara dengan terus terangTanpa bisik-bisik rahasia:Tak ada yang buruk dapat terjadi!Karena hasrat pada kebenaranDan pikiran yang jujur
Dan sajak ini tidak berhenti memberi peringatan:
Jangan ada pikiran timbul,Yang tidak diperintahkan secara resmiSebuah kebohongan bertopeng sebagai hati, dijual dengan kurang ajarKepada orang ramai, yang menyerah kepada kepalsuan
Sajak karya Kirsano ini diterbitkan sebelum pengawasan atas hasil kesusateraan diperketat kembali, hal itu menunjukkan dengan tegas bahwa seorang pengarang ada yang tidak dapat menutup hati nuraninya sebagai manusia, dan juga merupakan hati nurani bangsa dan negaranya.
Sejalan dengan itu, seorang pemuda melontarkan pernyataan amat berani “Lebih baik terasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan”. Agaknya kalimat tersebut keluar dari jeritan hati nurani yang melihat realitas sosial mengalami banyak ketimpangan. Yah, ia adalah sosok Soe Hok Gie.
Contoh yang terlukis di atas hanyalah sebagian kecil contoh karya dari sekian banyak karya lainnya. Meskipun kata-kata yang dikeluarkan cukup sederhana, tetapi dengan kesederhanaan karyanya yang padat makna mampu merangsang nurani manusia untuk berbuat dan melakukan sesuatu atas nama kemanusiaan. Dan perjalanan sejarah telah membuktikan, bahwa minoritas masyarakat terkhusus pengarang dan seniman dengan keterasingannya mampu memberi daya cipta dan daya gerak demi kebaikan lingkungannya, mulai dari jangkauan skala kecil hingga ke skala yang lebih besar.
Tentu kita mengetahui bahwa nilai kemanusiaan yang hakiki ialah kemerdekaan manusia, dari nilai inilah segalanya dapat dilaksanakan. Dan tidak dapat disangkal bahwa “Seniman adalah salah satu golongan manusia yang paling berkepentingan dengan kemerdekaan manusia, tanpa dasar kemerdekaan, seorang seniman tidak mungkin mencipta atau menghasilkan suatu karya.
Seniman yang tidak mencipta, berarti tidak merasakan kebutuhakan akan kemerdekaan, namun seniman yang mencipta atas dasar ketidakmerdekaan sama sekali bukan seniman”, (Arief Budiman), ia hanya dijadikan alat untuk meluruskan kepentingan-kepentingan tertentu yang menyimpang dari norma-norma kemanusiaan. Sebaliknya, seniman yang mencipta atas dasar kebebasan manusia memiliki risiko yang cukup tinggi dalam hidupnya sehingga terkadang ia diadili dan dipenjarakan sebab tingkah laku “nakalnya” terhadap suatu rezim.
Namun kondisi terasing atau mengasingkan diri bukan berarti ia menjauh atau melepaskan individualitasnya terhadap lingkungan sosial, tetapi kondisi tersebut memberinya peluang kebebasan untuk sejenak berpikir mengevaluasi segala tindak-tanduknya dalam bermasyarakat ataupun masyarakat itu sendiri. Ia menitikberatkan ruang otonomi dalam dirinya diisi dengan perenungan-perenungan mendalam yang kemudian menjelma karya cipta bermutu tinggi. Maka tak heran, jika banyak manusia yang tergugah akan kekuatan magis suatu karya melalui medium bernama keterasingan.
Dengan demikian, keterasingan tidak melulu soal kutukan, tetapi terkadang menimbulkan suatu anugerah dalam kehidupan. Hal ini senada dengan perkataan aktor utama novel epik Eiji Yoshikawa bernama Miyamoto Musashi, dimana setelah menghabiskan hampir tiga tahun membaca buku dalam ruang sunyi yang dititahkan gurunya, ia kemudian pergi mengembara dari satu desa ke desa lain dengan tujuan menjadi manusia sejati, segala godaan, rintangan, tantangan, dan hambatan menyelimuti perjalanannya, tetapi ia tak menyerah dengan keadaan tersebut.
Ia tetap melanjutkan perjalanannya meskipun rasa sakit menerjang dirinya, dan ketika ia memutuskan untuk sejenak beristirahat di bawah pohon rindang secara tiba-tiba alam pikiran Musashi bereaksi menyambut kedatangan bayangan-bayangan masa kecil yang ceria. Spontan ia berkata “Seorang pengembara tanpa cita-cita dan tanpa rasa syukur kebebasan yang dimilikinya tak lebih dari seorang pengemis! Perbedaan besar antara seorang pengemis dan pengembara menurut Saigyo terletak di dalam hati!”
Begitulah, terkadang semesta kehidupan memiliki caranya tersendiri untuk membuat manusia sejenak “tersingkir” dari lika-liku zaman, seperti Boris Pasternak dengan pelbagai karyanya diberi hadiah berupa Nobel Sastra, tetapi ia memilih menolak penghargaan tersebut. Dan mengambil sikap untuk terasing, namun dengan sikap itu ia mampu “mencipta” dan menggerakkan manusia di Rusia juga hampir seluruh dunia.In vain these days of the mighty sovietWhen the high passions lack receive a placeThey leave a seat there vacant for the poetIf it is not empty, then it is dangerous