Jumat, November 14, 2025

Salat Lima Waktu: Resep Ilahi untuk Mindfulness

Fahad Adzriel
Fahad Adzriel
Atau dikenal dengan nama asli Abdullah Hasanudin; Penulis, sekaligus seorang mahasiswa Islamic Studies of Islamic Open University, Gambia Afrika
- Advertisement -

Tulisan opini ini berargumen bahwa praktik salat lima waktu dalam Islam berfungsi sebagai sebuah praktik mindfulness terstruktur yang kritis dan diatur secara ilahiah.Di era di mana kelelahan mental (burnout) dan tekanan psikologis merajalela, sifat salat yang ritualistik, repetitif, dan ritmis berperan sebagai reset kognitif paksa, yang menarik individu dari kekacauan duniawi menuju keadaan kesadaran penuh (present-moment awareness) dan penyejajaran ulang spiritual. Makalah ini akan mengeksplorasi mekanisme bagaimana salat memenuhi peran ini, didukung oleh sumber-sumber primer Islam.

Dalam wacana kontemporer, mindfulness sering dikemas sebagai solusi sekuler untuk penyakit psikologis kehidupan modern stres, kecemasan, dan rasa kelelahan mental yang meluas. Banyak aplikasi, kursus, dan teknik menjanjikan untuk mengikat pikiran yang mengembara pada momen saat ini. Namun, bagi lebih dari 1,8 miliar Muslim, sebuah sistem mindfulness yang komprehensif dan wajib telah ada selama lebih dari empat belas abad: salat lima waktu.

Fungsi utama salat, di luar landasan teologisnya sebagai bentuk ibadah, adalah untuk melayani sebagai mekanisme berulang untuk mindfulness (khusyuk atau kehadiran hati) di tengah tuntutan hidup yang tak henti-hentinya. Ia adalah intervensi yang diwajibkan secara ilahiah terhadap kecenderungan manusia untuk menjadi sepenuhnya dikonsumsi oleh urusan duniawi (dunia).

Al-Qur’an secara eksplisit menyatakan tujuan salat dalam hal ini: “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan salat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya” (Q.S. Al-Baqarah: 45-46). Ayat ini secara langsung menghubungkan salat dengan kesabaran (sabar) sebagai alat untuk meminta pertolongan dan keteguhan, yang secara khusus efektif bagi orang-orang yang khusyuk dan sadar akan realitas di balik tekanan hidupnya.

Desain arsitektural salat menggabungkan setiap komponen inti dari praktik mindfulness modern:

1. Jeda Paksa dan Penjangkalan Waktu: Setiap dari lima waktu salat (Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya) bertindak sebagai pemutus sirkuit wajib. Terlepas dari mendesaknya tenggat pekerjaan atau beratnya masalah pribadi, panggilan azan menuntut pelepasan secara fisik dan mental. Ini menciptakan arsitektur temporal yang sakral dalam sehari, mencegah satu tugas pun menguasai kognisi secara absolut.

2. Pembumian Somatis (Somatic Grounding): Mindfulness menekankan penjangkalan pikiran pada sensasi tubuh. Salat mengoperasionalkan hal ini melalui gerakan fisik yang tepat dan berulang: berdiri (qiyam), rukuk (ruku’), sujud (sujud), dan duduk (jalsah). Ritual kinestetik ini membumikan individu pada tubuh fisik mereka, menarik mereka keluar dari kecemasan abstrak menuju pengalaman yang nyata dan diwujudkan.

3. Pemusatan Perhatian dan Pembingkaian Ulang Kognitif (Cognitive Re-framing): Kewajiban untuk melafalkan ayat-ayat tertentu dari Al-Qur’an dalam bahasa Arab, bahkan untuk penutur non-native, mengarahkan fokus kognitif. Surat pembuka, Surah Al-Fatihah, misalnya, adalah alat re-framing yang kuat, menggeser perspektif orang yang berdoa dari masalah pribadi menuju realitas kosmis tentang rahmat dan kedaulatan Tuhan: “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” (Q.S. Al-Fatihah: 5). Inilah inti dari penilaian ulang kognitif sebuah teknik kunci dalam mengelola stres.

Aspek mindfulness tertinggi dari salat adalah fungsinya sebagai pengingat (dzikr), yang mengorientasikan kembali prioritas utama individu. Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku” (Q.S. Thaha: 14). Dalam keadaan burnout, seseorang merasakan beban tanggung jawab pribadi yang sangat besar dan menghancurkan. Salat, sebagai sebuah tindakan peringatan, secara sistematis membongkar ilusi ini, mengingatkan orang beriman bahwa kendali dan penopang tertinggi berada pada kekuatan yang lebih tinggi. Ia adalah praktik “mengembalikan” beban secara harfiah dan kiasan melalui postur-postur salat, yang paling kuat dalam keadaan sujud (sujud), simbol fisik tertinggi dari penyerahan diri.

Kesimpulan

Sementara dunia modern berusaha mencari solusi yang efektif dan mudah diakses untuk kesejahteraan mental, praktik salat berdiri sebagai sistem yang abadi dan teruji. Ia bukan sekadar kewajiban ritual, tetapi sebuah bentuk higiene psiko-spiritual yang canggih.

- Advertisement -

Implementasinya lima kali sehari menawarkan irama yang berkelanjutan untuk mindfulness, yang sengaja dirancang untuk menginterupsi pusaran tekanan duniawi dan memusatkan kembali jiwa manusia pada tujuannya yang utama. Bagi individu yang mengalami burnout, mengenali salat dalam cahaya ini bukan sebagai tugas lain dalam daftar pekerjaan, tetapi sebagai tempat perlindungan darinya dapat mengubahnya dari sebuah kewajiban menjadi sebuah talinya kehidupan.

Fahad Adzriel
Fahad Adzriel
Atau dikenal dengan nama asli Abdullah Hasanudin; Penulis, sekaligus seorang mahasiswa Islamic Studies of Islamic Open University, Gambia Afrika
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.