Sabtu, Agustus 9, 2025

Saat Orang Tua Lupa Bahwa Anak Juga Manusia

Ferika Sandra Salfia
Ferika Sandra Salfia
Belajar Menulis untuk Menertibkan Pikiran.
- Advertisement -

“Pasal satu: Orang tua selalu benar. Pasal dua: Jika orang tua salah, kembali ke pasal satu.”

Kita semua pasti pernah dengar kalimat ini, baik sebagai lelucon, wejangan, atau bahkan dogma. Tapi, pernahkah kita berpikir bahwa kalimat tersebut bukan hanya tidak adil, melainkan juga menyakitkan? Pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya, apa iya orang tua selalu benar? Dan kalau tidak, apa masih bisa disebut anak durhaka hanya karena berani bilang, “Aku nggak setuju”?

Pada tulisan ini, banyak hal yang ingin saya limpahkan dan ceritakan perihal peran orang tua dalam mendidik, bertanggung jawab, dan mampu menerapkan sikap saling menghargai terhadap anak. Anak bukan hanya dididik dan diberikan haknya dari adanya ikatan darah semata. Dalam Islam pun dituliskan bahwa anak memiliki beberapa hak, beberapa di antaranya kasih sayang, perhatian, dan perlakuan adil.

Dalam tradisi kita, kata “durhaka” sudah kadung melekat pada anak. Malin Kundang, Si Tanggang, dan sekian cerita rakyat lain seolah jadi pengingat bahwa anak harus selalu menunduk, manut, nggak boleh melawan. Orang tua, katanya, harus dihormati, apapun keadaannya. Tapi kenapa nggak pernah ada cerita tentang orang tua yang durhaka pada anak?

Padahal, di kehidupan nyata, anak nggak bisa memilih dilahirkan oleh siapa. Ia berhak memilih untuk tumbuh dalam hubungan yang sehat. Tapi ketika mereka datang ke dunia, kadang disambut penuh kasih, kadang malah cuma dianggap beban. Di titik ini, kita harus berani bicara jujur, hubungan orang tua dan anak juga bisa toksik. Tak semua luka anak disebabkan lingkungan luar, ada yang berasal dari rumah, yang katanya tempat paling aman.

Urgensi Durhaka Orang Tua Pada Anak

Kita jarang membahas hal ini. Bahkan ketika saya coba iseng mengetik “contoh orang tua durhaka kepada anak” di Google, yang muncul justru sebaliknya. Seolah-olah dalam dunia digital yang katanya serba inklusif ini, narasi tentang orang tua durhaka masih dianggap tabu. Tapi bukan berarti tidak nyata. Durhaka orang tua terhadap anak adalah fenomena tragis yang dapat menyisakan luka emosional mendalam dan berkepanjangan.

Saya pernah tanya ke teman saya, sebut saja Cak Z, yang notabene anak kiai dan santri tulen. “Cak, orang tua bisa durhaka ke anak nggak sih?” Dia ketawa dan jawab santai, “Ya bisa to, Nduk. Kalau nggak ngasih nafkah, nggak tanggung jawab, nyuruh manut tapi nggak pernah mau dengerin anak, itu juga bentuk durhaka. Atau lebih pas-nya, dzalim.”

Dan saya cuma bisa bengong. Bukan karena jawabannya mengejutkan, tapi karena terasa akrab. Rasanya, semua definisi itu pernah saya rasakan. Tapi seperti biasa, yang dikutuk tetap anak. Anak harus sabar, anak harus pemaaf, anak harus maklum. Kalau nggak, ya siap-siap dicap durhaka dan “nggak bakal sukses dunia akhirat”.

Anak Nggak Cuma Butuh Nafkah, Tapi Juga Didengar

Menjadi orang tua itu tanggung jawab seumur hidup, bukan cuma fase. Sayangnya, banyak yang merasa cukup jadi orang tua hanya karena berhasil membawa anak ke dunia. Setelah itu, urusannya selesai. Padahal, anak butuh lebih dari sekadar uang jajan atau sekolah mahal.

Anak butuh validasi, ruang untuk bersuara, bahkan hak untuk berbeda pendapat. Tapi ketika anak punya pendapat lain, malah dibilang kurang ajar. Ketika anak nggak nurut, dicap “nggak tahu balas budi”.  Padahal, ketika anak tak berani jujur di depan orang tuanya, itu bukan tanda patuh, melainkan tanda takut. Semua hal yang dilakukan orang tua kepada anak selalu dibungkus dalam dalih, “Ini demi kamu.” Tapi benarkah?

- Advertisement -

Jangan salah. Anak-anak yang dibesarkan dalam pola asuh seperti ini sering tumbuh dengan luka. Dan ketika tumbuh dengan luka emosional dari rumah, seringkali mereka menjadi dewasa yang tak pernah merasa cukup, bahkan di depan dirinya sendiri. Kadang nggak kelihatan. Tapi terasa. Dan itu ngendap sampai dewasa. Mereka jadi sulit percaya orang lain, susah membuka diri, bahkan bingung dengan perasaan sendiri.

Kalau kata Andina Dwifatma dalam bukunya Si Kecil yang Terluka dalam Tubuh Orang Dewasa, banyak dari kita adalah anak-anak kecil yang belum sembuh, terjebak dalam tubuh orang dewasa, yang dipaksa dewasa terlalu cepat oleh lingkungan dan keadaan.

Tumbuh dalam Bayang-Bayang “Selalu Salah”

Durhaka orang tua bukan hanya soal kekerasan fisik atau kekurangan materi. Ia bisa berbentuk manipulasi emosional, pengabaian, hingga pengerdilan mimpi anak. Misalnya, orang tua yang memaksakan anaknya masuk jurusan tertentu karena “biar gampang cari kerja,” tanpa mau tahu minat si anak. Atau orang tua yang membandingkan anaknya dengan anak tetangga tiap hari, hingga anak tumbuh dengan mental insecure dan sulit percaya diri.

Kalau pola ini diteruskan, dampaknya serius. Anak bisa tumbuh dengan masalah kecemasan, depresi, bahkan trauma. Mereka merasa tidak pernah cukup, tidak pernah layak, dan terus-menerus mempertanyakan diri sendiri. Dan ironisnya, ketika mereka butuh bantuan, entah ke psikolog atau psikiater, mereka justru dianggap lemah. Dianggap “kurang iman”, tak pernah berdialog dengan Tuhan.

Saatnya Membalik Cermin

Bukan berarti kita ingin membenarkan anak yang semena-mena terhadap orang tua. Tapi hubungan sehat itu harus dua arah. Sama seperti respek, ia harus dibangun, bukan dipaksa. Sudah waktunya kita bicara bahwa orang tua juga bisa salah. Dan itu bukan aib. Yang aib justru kalau kesalahan itu terus diulang atas nama “aku ini orang tuamu”. Karena kalau anak terus-menerus disalahkan tanpa diberi ruang untuk menjadi diri sendiri, bukankah itu bentuk kekerasan yang dibungkus cinta?

Kita semua pernah jadi anak. Dan beberapa dari kita akan (atau sudah) jadi orang tua. Mari belajar untuk tidak mengulang siklus luka. Anak bukan fotokopi. Bukan proyek ambisi. Bukan objek pelampiasan luka orang tuanya. Anak adalah manusia utuh, yang juga butuh dihargai dan dipahami, memiliki kehendaknya sendiri. Selama tidak merugikan dan membahayakan dirinya atau orang lain, kenapa terus dipaksa tunduk di bawah kendali orang tua?

Pembicaraan perihal orang tua yang durhaka bukan bentuk pemberontakan. Itu cara anak-anak yang diam selama ini untuk bersuara. Karena mencintai bukan soal siapa yang lebih tua, tapi siapa yang lebih mampu mendengar dan mengakui, “Maaf, aku salah.”

Ferika Sandra Salfia
Ferika Sandra Salfia
Belajar Menulis untuk Menertibkan Pikiran.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.