Jumat, April 19, 2024

Rutinitas Mencekikmu, Filsafat Menolongmu

Muhammad Teguh Saputro
Muhammad Teguh Saputro
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pegiat diskusi di Komunitas Lorong Ciputat.

Hanya ada satu masalah filosofis yang sungguh-sungguh serius, dan itu adalah bunuh diri. Begitulah kira-kira kalimat yang dilontarkan Albert Camus dalam membuka deretan panjang konseptual filsafatnya di karyanya yang paling ternama – Mitos Sisifus.

Perkara bunuh diri tidak main-main, WHO mencatat satu dekade yang lalu angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1,8 dari 100.000 jiwa atau sekitar 5.000 orang per tahun, dan dua tahun berikutnya mencapai peningkatan sampai 4,3 per 100.000 jiwa – angka yang sangat tinggi. Salah satu faktor penyebab utamanya adalah depresi.

Rice PL (1992) menafisrkan, depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan  yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan, dan berperilaku) seseorang – yang pada umumnya mood yang yang secara dominan muncul adalah perasaan tak berdaya dan kehilangan harapan. Ditambah dengan kondisi kehidupan yang dihasilkan oleh sistem hari ini – kapitalisme – yang menuntut manusia sebagai objek dari sistem untuk terus bersaing tanpa henti, depresi adalah salah satu buah kehidupan yang tak bisa ditolak – dihindari.

Terlebih, persoalan semacam ini terlihat mewarnai kebanyakan persoalan kehidupan manusia-manusia urban – perkotaan. Sebagai objek dari sebuah sistem besar yang kompleks, manusia-manusia urban seringkali terjebak dalam rutinitas yang tidak masuk akal – tak manusiawi. Di sisi lain, ambisi mengenai harapan kondisi hidup yang lebih baik, dengan posisi dan hasil pekerjaan yang cukup, ditambah daya sikut persaingan yang tinggi mengantarkan manusia-manusia urban pada kontradiksi-kontradiksi kehidupan.

Realitas yang Mencekik

Ambisi – yang masih abstrak – yang menjadi impuls untuk manusia-manusia urban terus mengguliti rutinitas tersebut, seringkali bertabrakan (kontradiksi) dengan realitas yang dialami. Semisal, bekerja seharian penuh dalam lima hari kerja, ditambah jam lembur, waktu perjalanan dari rumah ke kantor yang menyita, macetnya perkotaan yang tak bisa dihindari, serta taraf hidup yang makin tinggi dan tak bisa dikendalikan, alih-alih mengejewantahkan harapan dalam ambisi, realitas dari rutinitas seperti mencekik kehidupan itu sendiri. Belum lagi persoalan diluar konteks, seperti ekosistem lingkungan sekitar, ketidakjelasan jaminan pekerjaan, jodoh, dsb, turut menambah beban ketakutan dalam menjalani kehidupan.

Kontradiksi-kontradiksi kehidupan yang dirasakan, membawa pada titik di mana manusia-manusia urban terisolasi secara eksistensial. Artinya, proses penghayatan pengalaman – rutinitas – sebagai bagian dari kehidupan yang bermakna adalah seuatu kemustahilan. Eksistensi yang terisolasi ini adalah pemicu dari keputusasaan yang sering terjadi. Keputusasaan-keputusaaan yang bertubi, mengantarkan pada ketidakpercayaan pada makna kehidupan – depresi bahkan bunuh diri.

Sampai titik ini, kesadaran akan rutinitas yang menjebak menjadi sangat penting. Kesadaaran akan eksistensial dalam keberadaan di kehidupan menjadi perlu untuk dipikirkan oleh manusia-manusia urban khususnya, sebagai antipasi diri menuju jurang kehidupan akibat jebakan kontrakdiksi tersebut. Lalu dengan apa kita mampu memantik kesadaran atau lari dari jebakan tersebut? Kepada internet yang semakin tidak menyehatkan? Kepada hobi yang semakin sulit dijangkau? Atau kepada minuman keras dan obat-obatan terlarang yang berbahaya?

Filsafat, Salah Satu Jalan Keluar

Barangkali jalan keluar paling murah dan mudah untuk ditemui ada pada filsafat. Filsafat di sini bukan diartikan sebagai sebuah ilmu yang ketat – berat – yang harus dihapal atau dipahami dengan mekanisme metodologis terterntu. Seperti tujuan filsafat sendiri – The Wisdom, filsafat mengantarkan kita pada penalaran akan kehidupan yang bijak.

Melalui filsafat, kita diajak kembali pada kesadaran untuk menalar tentang keberadaan kita di tengah kondisi yang serba kontradiksi. Kesadaran akan memaknai keberadaan diri akan membawa kita untuk kembali mengenali diri sendiri yang sudah terlanjur terisolasi secara eksistensi. Kesadaran ini adalah impuls eksistensi untuk tindakan yang membawa kita keluar dari jebakan realitas.

Filsafat mengantarkan kita kembali ke posisi sebagai subjek kehidupan, bukan objek yang bergantung pada realitas, sistem, dan dunia yang ada. Sebagai sebuah subjek, kita mempunyai kesempatan secaa sadar untuk kembali menggali atau memaknai kehidupan yang kita jalani. Dan di tengah kontradiksi rutinitas yang mencekik, kita mempunyai kesadaran mutlak untuk memilih jalan baru kehidupan atau setidaknya menata ulang penalaran kita akan proses kehidupan tersebut sehingga hidup kembali mempunyai makna untuk dipercaya.

Kesadaran akan keberadaan makna kehidupan sangat dibutuhkan sebagai titik tujuan atau barangkali koridor untuk menghayati segala proses kehidupan yang dijalani. Penghayatan akan proses melalui pencarian dan penggalian makna di tiap langkah yang dijalani adalah bentuk eksistensi diri. Eksistensi yang menceburkan diri pada pengalaman kehidupan, eksistensi yang menitahkan makna pada kehidupan.

Kesadaran yang dibawa filsafat di tengah kondisi serba kontradiksi ini bagaikan lampu terang yang akan menjauhi goa-goa kesumpekan – depresi, hilangnya harapan, bahkan bunuh diri. Dan menghadirkan kembali filsafat di tengah rutinitas yang mencekik sama artinya menghadirkan kesadaran diri bahwa proses kehidupan adalah penting untuk dijalani dengan sebaik-baiknya, sebermakna-maknanya.

Muhammad Teguh Saputro
Muhammad Teguh Saputro
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pegiat diskusi di Komunitas Lorong Ciputat.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.