Minggu, Oktober 13, 2024

Nelayan dan Kehidupan Tanpa Kepemilikan

Karnain Mamonto
Karnain Mamonto
Pemerhati Sosial Tinggal di daerah pesisir Buol-Sulawesi Tengah

Tetiba saya teringat pada peristiwa yang saya temui belasan tahun lalu. Saat itu saya berada di suatu pulau untuk tugas tertentu. Pada malam hari saya diajak oleh seorang nelayan untuk sama-sama melaut. Karena didorong oleh keinginan kuat untuk mengetahui situasi di laut pada malam hari, maka sayapun tidak menyia-nyiakan ajakan tersebut.

Berangkatlah kami dengan perahu kecil menggunakan mesin yang orang lokal menyebutnya mesin Katinting. Dari jauh terlihat kerlap kelip lampu nelayan. Teman saya yang sudah biasa melaut itu menyebut, “itu si A sudah ada”.

Saya tertegun dan berpikir, bagaimana mungkin teman saya ini tahu siapa itu padahal model perahu apalagi wajah nelayan tersebut tak terlihat kecuali bayangan bahwa di sana sudah ada orang. Selidik punya selidik teman saya mengatakan bahwa itu memang tempatnya kalau ia turun mancing.

Perahu yang kami gunakan sudah meluncur agak jauh dari tepian pantai. Bagi orang yang tak biasa melaut seperti saya tentu saja hal ini akan mengundang kengerian. Saya merasa bahwa itu sudah sangat jauh.

Padahal di depan kami, yang tentu saja posisinya sudah lebih jauh dari pantai sudah ada si A yang disebutkan teman di awal. Sontak saya bertanya, mengapa tak di sini saja, bukankah ini juga sudah dalam. Teman saya menggeleng. Jika kita di sini, waktu kita akan habis sia-sia.

“Dulunya sih, nelayan hanya berada di sekitaran sini. Akan tetapi, sejak ada tempat itu” sambil menunjuk tempat budi daya karang mutiara, ikan-ikan sudah menjauh. Maka untuk mendapatkan hasil lebih, terpaksa para nelayan yang hendak memancing harus bergeser lagi.

Dari kejadian itu saja sudah tampak bahwa daerah daerah nelayan itu seolah sudah dikapling-kapling sehingga ruang geraknya sangat sempit. Orang mengira nelayan itu bebas di laut. Semuanya bebas kemana-mana seolah paling merdeka. Akan tetap, ternyata area jelajahnya sudah dikapling-kapling. Tentu saja yang kita maksud di sini bukanlah nelayan penggerak kapal investor, melainkan nelayan tradisional yang bergerak dengan perahu kecil.

Bayangkan sekarang, sudah dikapling-kapling itu dipersempit lagi karena ada Cantrang. Loh, kok Cantrang. Bukankah soal cantrang sudah berlalu sejak kementrian yang ngurus soal laut dan ikan ini masih dinahkodai oleh perempuan? Nah, justru itulah yang membuat saya prihatin, karena beberapa waktu lalu ada isu diperbolehkannnya kembali penggunaan Cantrang dengan alasan mendorong iklim investasi.

Tak hanya soal Cantrang. Baru-baru ini kita mendengar berita bahwa Manre (55), nelayan asal Pulau Kodingareng Makassar terpaksa harus berurusan dengan pihak kepolisian karena dakwaan atas aksinya merobek Amplop pemberian perusahaan yang ternyata berisi beberapa lembar uang.

Aksi tersebut ternyata bertalian dengan aksi penolakan nelayan Kodingaren Makassar atas aktivitas penambangan pasir laut oleh salah satu perusahaan yang dianggap beroperasi di wilayah tangkap ikan nelayan.

Soal-soal seperti ini tentu saja begitu mengganggu pikiran. Betapa tidak, masyarakat nelayan dalam hal ini nelayan tradisional sebagai suatu entitas bangsa hingga 75 tahun pasca kemerdekaan diproklamirkan ternyata tak seberuntung petani. Apakah karena mereka tidak terkategori Marhaen?

Jika petani, meskipun dalam banyak kasus mereka kadang ditendang oleh pemodal yang atas nama investasi datang untuk menggusur dan menggeser, tetapi setidaknya saat ini mereka mulai diperhatikan. Lihat saja, sebagaimana kita saksikan, pak Presiden terkadang turun  langsung untuk bagi-bagi sertifikat demi kejelasan penguasaan hak atas tanah mereka. Akan tetapi tidak bagi nelayan.

Para nelayan tradisional yang tak punya akses ke modal gendut tentu saja hanya mengandalkan perahu kecil untuk mengais rejeki di tepian. Sebuah pola perjudian kehidupan yang hanya mengandalkan alam ini tampaknya lolos dari perhatian banyak pihak. Padahal, nelayan dalam hal ini nelayan tradisional sebagai suatu profesi entitas bangsa yang tak sedikit.

Bagaimana jika negara melalui simbol kelembagaannya tak memperhatikan mereka? Belum lagi jika ada depakan dari darat. Soal pencemaran lingkungan misalnya, soal berdirinya pabrik-pabrik atau industri-industri tertentu yang berdiri ditepian pantai nakal dan membuang limbahnya ke laut atau reklamasi atas nama pembangunan kota.

Petani atau para pengais rejeki di darat mungkin saja bisa memanfaatkan sertifikat untuk penambahan modal jika tertarik untuk menaikkan usaha dengan menjadikan anggunan. Terus bagaimana dengan nelayan. Apa yang mereka andalkan?

Tentu saja mereka tak bisa mengkapling lautan untuk dapat diterbitkan sertifikat. Berbeda halnya dengan pengembang, mereka bisa mengantongi izin untuk menimbun lautan beberapa mil dari bibir pantai sebisa yang mereka mampu. Mereka punya tenaga yang dahsyat untuk melakukan semua itu.

Satu-satunya hak nelayan, dalam hal ini nelayan tradisional adalah wilayah tempat menjelajah mereka yang tak diganggu. Mereka tak butuh sertikat laut, dan mungkin saja tak butuh izin operasional.

Sudah kehidupan penuh resiko dengan bahaya yang bisa mengintai kapan saja, tak juga mendapatkan perhatian serius. Sungguh sebuah entitas kehidupan yang tragis. Lantas, apa fungsi negara bagi mereka? Sekadar memberikan KTP? Atau cukup melakukan sensus. Entahlah. Kita tunggu saja keputusan jitu pak Mentri Perikanan dan Kelautan. Itupun jika entitas masyarakat satu ini ada dalam kamus pertimbangan pak Mentri. Emang ada?

Karnain Mamonto
Karnain Mamonto
Pemerhati Sosial Tinggal di daerah pesisir Buol-Sulawesi Tengah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.