Sabtu, April 20, 2024

Ruang Dialog dalam Pembelajaran Agama di Sekolah, Mungkinkah?

Murdianto An Nawie
Murdianto An Nawie
Dosen Program Pascasarjana IAI Sunan Giri (INSURI) Ponorogo

Pembelajaran agama diharapkan memberikan kontribusi penting dalam penanaman budi pekerti pada individu. Pembelajaran agama yang di dalamnya terdapat proses peningkatan pengetahuan, penanaman sikap serta seperangkat keyakinan, nilai-nilai serta ajaran tentang perilaku yang baik dalam berhubungan dengan Tuhan, berhubungan dengan sesamanya dan makhluk lainnya.

Oleh karena itu, pembelajaran agama menjadi salah satu mata pelajaran yang menjadi bagian dari kurikulum pendidikan khususnya, termasuk di dalamnya institusi sekolah. Dan khusus pada institusi pendidikan formal berbasis agama, misalnya, madrasah dalam agama Islam, mata pelajaran pengetahuan agama dibagi lagi menjadi beberapa mata pelajaran khusus.

Lebih dari itu, ada institusi pendidikan lain yang lebih mendalam lagi pembelajaran agama yakni seperti pesantren, seminar dan sejenisnya. Tulisan ini mencoba memberi saran dan masukan terhadap praktik pendidikan, khususnya di sekolah dan madrasah formal di Indonesia.

Beberapa pakar memberikan masukan pembelajaran agama. Beberapa kritik yang dialamatkan terhadap model pembelajaran agama antara lain adalah: pertama, masih banyak berkisar pada pengaturan hukum-hukum, aturan-aturan, larangan-larangan. Bukan pada nilai-nilai yang membangun hukum-hukum itu, misalnya, keadilan, perdamaian, moderasitoleransi dan nilai kebaikan lainnya.

Kedua, tekanan pengajaran agama masih berpusat pada bagaimana individu ‘memiliki agama’ (to have religion, bukan untuk ‘beragama’ (to be religion). Akhirnya yang muncul adalah penekanan ‘kesalehan dan moralitas individual’ semata, bukan ‘kesalehan dan moralitas sosial’. Hal ini tentu memiliki implikasi lebih luas pada corak beragama individu.

Akibat dua hal ini, pengajaran agama kita pada akhirnya mendorong siswanya sebagai seorang yang saleh secara individual, bahkan arogan dan cenderung picik melihat fakta keragaman.

Arogan dan picik ini dijelaskan dengan sangat menyentuh oleh KH. A Mustofa Bisri dalam sebuah kolomnya di harian Duta Masyarakat (30/12/2014) berjudul Ietsaar: “…Ketika memberi sedekah, yang teringat olehku pertama kali dan paling utama bukan hajat orang yang aku sedekahi, tapi balasan yang akan aku terima. Kadang-kadang malah, balasan itu aku harapkan secepatnya di dunia ini. Ketika aku berpuasa, aku hanya memikirkan lapar dan hausku sendiri, seraya membayangkan dan mengharapkan surga Rayyan. Sengatan haus dan lapar yang sangat sementara, tidak membuatku teringat kepada saudara-saudaraku yang haus dan laparnya nyaris permanen…”. 

Sikap mementingkan diri sendiri ini, dapat diduga merupakan hasil dari proses pembelajaran agama yang berat sebelah pada aspek-aspek pengaturan hukum dan moralitas serta ritus yang berpusat pada individu, dan mengabaikan aspek penanaman nilai yang mengirinya.

Dalam konteks inilah, perlu kita meletakkan pembelajaran agama pada asumsi mendasar tentang peserta didik sebagai manusia dan tentang pembelajaran agama. Pertama,peserta didik adalah subyek yang hidup pada satu ruang dan waktu sosial maupun kebudayaan. Dia tidak lah berada di ruang hampa nilai.

Dalam konteks ini, semua pengetahuan dan nilai yang akan disajikan tentu harus dalam dimensi fakta itu, bukan sekedar dogma-doktrin yang lepas ruang dan waktu. Kedua, peserta didik, adalah subyek yang menghadapi ruang dan waktu akan menemukan berbagai kontradiksi dan masalah dalam ruang dan waktu sosial tersebut. Oleh karena itu pengetahuan agama harus lebih di orientasikan dalam memberi kemampuan menghadapi problem itu.

Upaya menempatkan pembelajaran agama dalam konteks kehidupan sosial dan berkebudayaan, merupakan sesuatu yang tak bisa ditolak. Apalagi bila kita menginginkan membangun suasana damai penuh persaudaraan dalam arti penghargaan kemanusiaan, kebangsaan dalam fakta keragaman keagamaan yang dimiliki bangsa ini.

Pendekatan sosio-kultural dalam mencerap pemahaman ini akan mampu membangun pribadi yang mampu bersinergi dan berdialog dalam perbedaan-perbedaan. Dalam fakta, bila kita sekedar menginternalisasi peserta didik pada teks-teks normatif ajaran agama, tanpa melihat konteks sosio-kultural masyarakat, kita akan menghasilkan pribadi-pribadi yang hidup dalam idea-idea normatif yang tak kunjung mendarat di bumi kenyataan.

Kita menemukan fakta bahwa banyak orang-orang yang merasa gigih dan tanpa henti memperjuangkan (simbol-simbol) agama, justru mereka makin terasing, dan mengasingkan diri karena tidak ada kelonggaran berdialog dengan fakta keragaman yang ada. Pribadi-pribadi ini akan mengalami masalah besar, dan tumbuh menjadi pribadi asing dalam keragaman.

Model pembelajaran agama ditengah fakta kebhinekaan

Bangunan model pembelajaran agama dalam menghadapi fakta keragaman seharusnya bertumpu pada asumsi dasar: Pertama, pengalaman keberagamaan peserta didik. Seorang manusia pasti mengalami situasi religius yang berawal dari pertanyaan-pertanyaan sehari-harinya. Misalnya, “dari mana aku berasal dan mengapa kakek mati, pergi tak kembali. Kemana?” pertanyaan-pertanyaan ini bisa menjadi dasar seperti apa materi yang akan disampaikan, bagaimana metode, media dan lain sebagainya.

Kedua, guru harus memiliki kemampuan sebagai ‘komunikator’ berbagai pengalaman keberagamaan peserta didik.  Guru adalah fasilitator, dan dalam pembelajaran agama, guru lebih dari sekedar fasilitator. Ia adalah jembatan komunikasi antar pengaman keberagamaan peserta didik, dan juga teks-teks normatif agama yang dimiliki.

Dalam konteks ini guru harus memiliki skill sebagai pendamping (fasilitator), pemahaman ajaran keagamaan, kemampuan dialog, serta kecerdasan membangun imajinasi abstrak terkait peran sosial yang telah dan akan dimilikinya.

Ketiga, tersedianya bahan-bahan baik pustaka, visual dan atau audio-visual yang memungkinkan guru dan peserta didik mencerap  realitas sosio-kultural keberagamaan masyarakat. Berbagai fakta yang di dapatkan ini, nantinya akan memperkaya ruang refleksi, dan mendalami berbagai peran yang akan dilakukan oleh perserta didik.

Dari proses ini diharapkan terjadi proses dialog yang nyaman tentang masalah-masalah keberbedaan agama yang biasanya sangat sensitif untuk disentuh. Dalam kondisi ini peserta didik diajak memahami agama dari sudut pandang yang berbeda. Memahamai agama tidak dapat sekedar diukur dari cara individu secara subyektif menilai orang lain yang berbeda.

Diharapkan dari sana muncul kesadaran dan ketulusan dalam memandang kebhinekaan. Di mana pemahaman dan sikap keagamaan, tetap menempatkan keragaman dan pluralitas sebagai kenyataan tak terbantahkan dalam kehidupan sosial bangsa kita. Keberbedaan ras, etnis, bahasa dan agama diletakkan sebagai kenyataan yang mesti dihadapi individu dalam keseharian hidupnya.

Murdianto An Nawie
Murdianto An Nawie
Dosen Program Pascasarjana IAI Sunan Giri (INSURI) Ponorogo
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.