Kebebasan berekspresi merupakan sebuah produk dari reformasi yang terus kita jaga sampai sekarang. Kebebasan yang pada saat itu kita perjuangan sangat berarti untuk kemajuan kita bersama sebagai bangsa. Ucapan terima kasih selalu kita aturkan kepada tokoh reformasi, karena dengan perjuangannya kita bisa dengan tenang untuk berpendapat dan berekspresi.
Pengaruh reformasi itu sangat besar sehingga kita dengan menitih, keluar dari alam otoriter menuju demokrasi dengan semua karakterisitiknya. Baik pemerintah maupun masyarakat perlu bersama-sama memperjuangkan hal tersebut guna mencapai keadaan yang ideal di negara yang mengakui kebebasan. Pemerintah melakukan tugasnnya memberikan hak kebebasan dan memfasilitasinya dengan memberikan ruang berekspresi tersebut sedangkan masyarakat menghormati orang lain ketika menggunakan hak itu.
Tanggapan masyarakat terhadap fenomena fashion show SCBD yang dilakukan oleh remaja di Jakarta belakangan ini merupakan bentuk tidak dilakukannya peran masyarakat, yaitu menghormati kebebasan remaja. Media menyebut ini sebagai CITAYAM fashion week. Sebutan itu datang dari plesetan acara fashion show besar seperti yang ada di Paris, London maupun New York.
Bedanya, yang melakukan ini adalah para remaja biasa, bukan model profesional dan dilakukan di tempat umum. Mereka berkumpul di area SCBD, mengenakan pakaian-pakaian merek ternama sambil berjalan ala runwalk acara fashion ataupun sekedar memamerkan pakaianya.
Remaja sebenarnya ingin mencari perhatian dengan mengekspresikan dirinya melalui kegiatan fashion show tersebut. Apalagi di era media sosial, remaja butuh pengakuan dan eksistensi dari lingkungannya bahwa mereka adalah remaja kelas “elit” yang juga tahu akan trend pakaian terkini.
Maka dari itu, mereka mengekpresikan keinginannya tersebut dengan kegiatan Citayam fashion show. Sebagai masyarakat negara demokrasi yang menghormati kebebasan orang lain, kita seharusnya lebih bisa menerima dan mentolerir hal itu.
Masyarakat sering lupa bahwa ruang berekspresi terkadang sulit ditemukan oleh remaja, terutama di kota Jakarta dengan ketimpangan sosial yang tinggi. Para remaja melihat sosok pekerja SCBD yang berpakaian “elit” dan berkelas, sebagai remaja mereka tentu juga ingin berada di “kelas” yang sama.
Alhasil, mereka mengespresikan diri mereka lewat pakaian-pakaian merek ternama, waluapun sangat diragukan keasilannya tapi cukup fashionable untuk dipakai. Menimbulkan masalah ketika para remaja tersebut bukanlah anak konglomerat kaya perusahaan di jakarta ataupun anak komisaris BUMN yang mempunyai kekuasaan dan harta melimpah. Mereka hanya remaja pinggiran biasa yang ingin menunjukan identitas mereka dan tidak tertinggal dengan gemerlap pegaulan remaja di kota Jakarta.
Melihat dari keinginan para remaja ini untuk mengekspresikan dirinya, kita menjadi sadar bahwa mereka merupakan korban dari ketidakmerataannya pembangunan di kota Jakarta. Ruang berekspresi murah dan dapat diakses oleh semua kalangan masih sangat minim ada.
Adanya fenomena Citayam fashion show mengingatkan kita tentang gambaran Jakarta sebagi kota metropolitan yang warganya modern tidak sepenuhnya benar. Banyak remaja-remaja khsusunya bukan merupakan warga yang modern tetapi karena label itu mereka menjadi ingin diakui bahwa mereka juga bagian dari warga modern. Salah satu caranya adalah dengan pertunjukan fashion show tersebut dan menunjukan pakaian modis khas warga modern.
Tidak ada salahnya remaja biasa ingin mengekspresikan dirinya melalui hal tersebut.Fenomena ini pada dasarnya fenomena yang biasa dilakukan di belahan dunia lain, sebut saja street fashion yang ada di gangnam ataupun sibuya jepang. Cara berpakaian para remaja ini saja yanng terkesan norak dan menjadi “garing” untuk dilihat.
Meski sulit agar kita untuk tidak berkomentar, ruang kebebasan berekspresi remaja harus selalu kita anggap serius. Banyak contoh dimana karena ruang kebebasan berekspresi remaja kurang atau bahkan tidak ada, remaja melampiaskan hal itu dengan bentuk/kegiatan lain yang negatif. Kenakalan remaja klitih, Vandalism, tawuran ataupunn bentuk kenakalan remaja lain yang sering kita dengar merupakann alternatif lain bagi remaja jika ruang berekspresi tidak ada.
Selaku gubernur DKI Jakarta, reaksi Anies Baswedan terhadap fenomena ini sebenarnya sudah bagus. Anies mengatakan bahwa fenomena itu sebagai bentuk demokrasi jalanan dimana para remaja bisa dengan bebas memanfaatkan ruang bersama sebagai tempat menyetarakan dan mempersatukan. Dia juga mempersilahkan jalanan SCBD untuk dimanfaatkan fasilitas yang ada tapi dengan syarat tetap menjaga kebersihan. Akan tetapi, respon lain yang penting sama sekali tidak ia singgung. Anies tidak menyinggung soal kurangnya ruang berekspresi yang egaliter maupun pembangunan yang tidak merata. Padahal, dapat ditarik jelas benang merahnya dari kedua masalah tersebut.
Citayam fashion show bisa jadi hanyalah rasa frustrasi para remaja pinggiran kota Jakarta yang menginginkan citra dan gaya warga modern Jakarta akibat dari labeling yang ada. Namun, juga bisa jadi bentuk protes mereka terhadap pembangunan sosial yang tidak merata. Undang-undang dasar Tahun 1945 pasal 28E ayat (3) sebagai bentuk dasar pengakuann adanya kebebasan berekspresi di Indonesia harus selalu kita amalkan bersama. Pemerintah seharusnya bisa lebih memeprhatikan dan juga memberikan ruang publik yang egaliter, bisa dinikmati bersama dan tidak hanya berfokus pada pembangunan wahana hiburan elit yang sulit untuk digapai golongan bawah. Semua itu guna membawa kebahagiaan terhadap seluruh warga Jakarta.