Kamis, April 18, 2024

Rohingya, Menguji Kemanusiaan Manusia

Andrian Habibi
Andrian Habibi
Divisi Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia
A Rohingya Muslim woman and her son cry after being caught by Border Guard Bangladesh (BGB) while illegally crossing at a border check point in Cox’s Bazar , Bangladesh, November 21, 2016. REUTERS/Mohammad Ponir Hossain TPX IMAGES OF THE DAY

Rohingya, kata yang sedang mesra di telinga kita. Rohingya oh Rohingya, kembali menjadi headline news. Kita mendengar dan menonton berita tentang suatu kondisi yang memprihatinkan. Berita sedih ini semakin menyeruak ke ruang media sosial dengan pelbagai tanggapan serta ocehan. Apakah yang sebenarnya terjadi di Rohingya?

Saya menuliskan tulisan ini dengan ketidaktahuan sebagaimana banyak orang berpendapat di media sosial. Saya menulis dengan pelbagai alasan, kemarin adek satu kost dengan semangat menyampaikan “Bang, tuliskan saja tentang Rohingya ini, biarkan semua orang membaca”. Adek ini bernama Togar Pasaribu, dia sedih melihat media sosial yang mempertontonkan foto-foto “mengerikan” terkait orang-orang Rohingya meninggal atas bentrok militer dan berita-berita susahnya para pengungsi Rohingya.

Dalam hatiku, kenapa si Togar Pasaribu ini geram hanya dengan melihat foto, video atau berita. Apakah dia tahu dan bisa menjelaskan dengan pasti maksud pernyataannya tentang Rohingya? Pertanyaan ini patut ditanyakan, karena suatu waktu, saya pernah dinasehati oleh seorang senior. Sembari meneguk segelas kopi di salah satu hotel sekitaran Jalan Cikini Raya, sang Senior mempertanyakan hal serupa.

“Andrian Habibi, kenapa kamu begitu heboh dengan kata-kata ham saat ada berita konflik Mesjid Al-Aqsa? Apakah kamu tahu apa yang kamu ucapkan? dan Buku apa yang kamu baca sehingga kata HAM ini muncul seakan-akan sangat luar biasa. Sampai-sampai saya tidak berani mengomentari statusmu itu”.

Karena Kita Manusia

Apabila Togar saya tanyakan sesuai dengan pertanyaan senior itu, potensi jawabannya dengan jawabanku bisa saja sama. Saat itu saya hanya mengatakan, “Bang, saya hanya merasa ada yang tidak benar terjadi, saya merasakan diskriminasi (pengucilan) sedari kecil, jadi saya tidak terima apabila ada orang-orang yang dikucilkan bahkan sampai disiksa atau dibunuh dengan alasan apapun“. Senior waktu itu menjawab, “Wah hebat benar, tanpa dalil apapun kamu merasa menjadi manusia dan menganggap berhak menggunakan kata pegiat HAM dengan jawaban sesederhana itu?“.

Tidak lama, senior menjelaskan beberapa masalah HAM yang juga jarang terdengar ditelingaku. Dia hanya mengatakan, “Jawabanmu tidak salah, pernyataanmu baik, tetapi – jika ingin menyatakan sesuatu hal, maka perkuat dasarmu karena tidak mungkin kamu membela rasa kemanusiaanmu hanya dengan kata sama-sama manusia“. Disinilah permasalahan itu, apakah kemanusiaan itu hanya bisa diartikan sesuai teori seperti yang dimuat oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, bahwa kemusiaan adalah nilai-nilai atau rasa yang bersifat manusia. Kurang lebih begitu, kalau salah, bisa saja ada yang berkenan menjelaskannya bukan hanya padaku tetapi untuk semua orang dimuka bumi ini.

Lalu, tanpa sadar gelas kopiku sudah kosong, melihat gelas itu sang senior pun melanjutkan celotehnya “Sudah kamu pesan saja, jarang-jarang orang seperti kamu ini minum kopi ditempat seperti ini, jangan khawatir, aku masih sanggup membayar tagihan apabila kamu mau menghabiskan 10 (sepuluh) segelas selama kita disini“. Bagiku, kata itu sindiran dan pengingat agar apa yang kusampaikan tidak hanya sekedar muntahan dari dalam tubuh, tetapi benar-benar sesuai perkataan dan perbuatan.

Senior itu melanjutkan nasehatnya, “Kamu tidak akan membantu apa-apa sebelum kamu mengetahui bahwa dirimu sanggup kamu perjuangkan. Untuk menjadi manusia dan memiliki rasa kemanusiaan itu penting. Tetapi lebih penting lagi kalau kamu tahu bahwa kamu itu manusia dan memperjuangkan kemanusiaanmu, sampai tidak ada lagi orang yang menindasmu sebagai manusia atau mengusik kemanusiaanmu. Barulah kamu bisa memperjuangkan manusia dan kemanusiaan lainnya”.

Seketika akupun heran, iya apakah kita semua benar-benar manusia dan memiliki rasa kemanusiaan yang benar-benar bisa kita perjuangkan dan dari itu kita bisa memperjuangkan manusia dan kemanusiaan lain. Tiada terasa tatapanku hampa, tampa bisa menjawab sesuai keinginan sang senior, percakapan itu pun berujung kepada tugas atau pekerjaan rumah bagiku.

“Cubit tanganmu sebelum menyubit orang lain, jika terasa sakit, jangan lakukan kepada diri sendiri dan orang lain”

Sampai tulisan ini ditulis, saya masih sulit menjawab sebenarnya apakah perjuangan yang paling tepat untuk manusia dan kemanusiaannya? akan tetapi, jika mendengar semangat Togar, bisa saja kita tidak paham, mungkin saja kita tidak mampu menjelaskan, akan tetapi ingatlah nasehat orang tua dahulu “cubit tanganmu sebelum menyubit orang lain, jika terasa sakit, jangan lakukan kepada diri sendiri dan orang lain“. Nasehat ini tumbuh dan berkembang di bumi nusantara sebagai ajaran baik yang tidak tertulis atau hukum sosial tanpa sanksi pidana.

Jika mendasari dari nasehat tersebut, kita patut menguji kemanusiaan kita terkait semua kejadian pembunuhan dan pengusiran manusia dari tempat tinggalnya. Apakah kita bisa menerima keluarga kita dibunuh? Apakah kita menerima jika kita diusir dari kampung halaman dengan paksa? Apakah kita sanggup menerima kenyataan, untuk lari dan menumpang demi mengharapkan belas kasihan negara, tetapi kita tidak diterima dan malah mendapatkan kesusahan?

Sebagai contoh, saat jiwamu sedang terancam, apakah kamu akan berkata kepada si pengancam kehidupanmu dengan kalimat “Jangan kamu siksa aku, jangan kamu bunuh aku, jangan kamu usir diriku, karena itu melanggar hukum juga melanggar hak asasi manusia. Tindakanmu tidak benar menurut buku si A, si B, atau si C. kamu itu melakukan pelanggaran ham besar dan seterusnya”. Pertanyaannya, apakah itu akan menghentikan kejadian seperti di Rohingnya berhenti. Atau dengan contoh sederhana, apakah saat kejadian seperti di Rohingnya menimpamu, bisa kita kalimat itu menyelamatkanmu?

Menguji Kemanusiaan

Teori memang dibutuhkan, landasan yang tegas dan bisa dipertanggungjawabkan sungguh suatu kebaikan. Berkata sesuai dalil, data dan informasi yang mendalam menjadi nilai tersendiri. Tetapi, saat manusia kehilangan hak-hak yang melekat sebagai manusia, apakah kita masih berdebat siapa yang berhak untuk berbicara dan siapa yang tidak berhak? Memang benar, gaya senior itu hanya bertujuan agar aku kembali membaca buku dan terus mennggali informasi. Akan tetapi, sebelum kuputuskan untuk menulis tulisan ini, saya ingin mengatakan, hanya lewat doa dan tulisan lah aku berjuang.

Rohingnya bagiku adalah ujian, bukan hanya ujian bagi dunia tetapi ujian bagi kita sesama manusia, apakah kita sanggup menerima kejadian yang sama? Maka, Rohingnya pun hadir untuk menguji manusia-manusia di dunia akan kemanusiaannya. Apabila kita melihat status facebook atau twitter para aktivis, maka akan muncul pelbagai status dengan kalimat yang hampir sama yakni “Kamu tidak perlu menjadi orang Rohingnya untuk membantu Rohingnya, Kamu tidak perlu menjadi muslim untuk membantu Rohingnya, cukuplah kamu menjadi manusia untuk melihat sedihnya manusia (Rohingnya)”. Kalau tidak percaya, silahkan cek status facebook atau twitter selama seminggu terakhir dengan kata kunco ‘Rohingya’.

Rohingnya bagiku adalah ujian kemanusian bagi seluruh manusia dimuka bumi. Jika semua manusia diam tanpa melakukan apapun, maka tidak perlu khawatir bila kejadian Rohingya terjadi dilingkungan sekitar kita. Siapkah kita?

Andrian Habibi
Andrian Habibi
Divisi Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.