Orientalisme adalah satu diskursus ketimuran, yang bercokol pada kajian-kajian Barat dalam menginterpretasikan khazanah Timur—khususnya Islam. Pada kajian ini Islam dipandangan dalam objektifikasi Barat, namun alih-alih menemui titik objektif, yang ada justru klaim-klaim subjektif yang mengarah pada argumen apologis.
Robert Morey adalah seorang orientalisme yang mengkritisi otentitas Alquran dan Hadits sebagai sumber ajaran Islam. Dalam argumennya yang apologis, Morey menempatkan perdebatan yang terjadi antara Alquran dan Alkitab kerap kali berurusan dengan tensi dan ketegangan emosional massa.
Morey menyebut, bahwa debat yang berlangsung diantara perseturuan Biblika dan Quran berlangsung tidak sepadan. Bagaimanapun kritik yang dilayangkan pada Alquran selalu menuai timbal balik berupa cercaan. Dalam bukunya Islamic Invasion (1992), menyebutkan:
“Sangat mengherankan bahwa banyak umat Muslim moderen merasa bahwa mereka mempunyai hak dan kebebasan penuh untuk mengkritik Alkitab itu korup (dicatut dan dikotori) dan isinya saling bertentangan, tetapi ketika seorang berani mengkritik Alquran seperti halnya mereka mengkritik Alkitab, mereka akan menyebutnya sebagai orang yang biadab, offensif dan rasial.” (h. 155)
Melalu sikap pembelaannya ini, Morey mengklaim bahwa Alquran dan Hadits memiliki banyak kecacatan didalamnya. Morey berpendapat bahwa Alquran dan Hadits begitu problematis.
Morey berasumsi bahwa hal itu seturut dengan argumen bahwa segala sesuatu yang datang lebih dahulu tidak mungkin menyalahi sesuatu yang datang kemudian, tetapi tidak dengan sebaliknya. Dia beranggapan bahwa jikalau yang datang kemudian tidak sesuai dengan yang datang lebih dahulu, maka itu menandakan ketidakkonsistenan Tuhan dalam menetapkan ajarannya, dan itu tidak mungkin.
Argumen ini pun dia layangkan pada banyaknya ketidaksesuaian ajaran yang terdapat dalam Alquran—kitab yang datang kemudian—dengan Alkitab—sebagai kitab yang datang lebih dahulu.
Argumen ini jelas-jelas terjebak pada circullar reasoning. Bila mana demikian, sudah barang tentu Alkitab pun harus diuji dan dikomparasikan dengan kitab-kitab dan ajaran sebelumnya, sebelum kemudian dikomparasikan dengan Alquran.
Bahkan, Morey tidak terang-terangan dan cenderung menutupi hal tersebut, dengan perbendapat:
“Tidak ada serangkaian bukti yang menunjukan bahwa teks tertentu dalam Alkitab telah mengalami penaskahan yang salah”
Padahal bagaiamana pun, konsili-konsili yang pernah terjadi dalam perdebatan Geraja sangatlah mempengaruhi pula konten Alkitab itu sendiri. Artinya perubahan selama dipenuhi dalam syarat-syarat yang disepakati, tidaklah menyalahi otentitas Alkitab. Padahal perubahan sendiri, merupakan hal yang amat problematik dalam wilayah pewahyuan.
Begitupun dengan hadits, dengan gagah berani Morey mendasarkan kritiknya pada hadits-hadits yang gharib secara matan. Atau terjebaknya pada pemaaknaan-pemaknaan lliteralis. Hadits-hadits yang diangkat dan dipersoalkan Morey banyak menyitir personalia dari pada Nabi Muhammad sendiri. Ketimbang argumen logis, nampaknya Morey justru menampilkan sikap antipati terhadap banyak hadits yang disebabkan oleh penolakannya, atau bahkan lebih-lebih ialah menaruh sikap kebencian terhadap Nabi Muhammad.
Orientalisme lama amat kentara pada usaha penguasaan atau pereduksian nilai ajaran Alquran. Lebih-lebih itu berbentuk argumen ad hominie pada sosok Nabi Muhammad. Tidak jarang bahwa apa yang disangkakan mereka—para orientalis—sebagai argumen yang tidak logis, justru sangat sarat dengan argumen apologis, yang non-logis.
Sebagaimana yang ditunjukan Morey, ketika mempertanyakan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam Injil dan Alquran. Tak pelak, alasan Morey hanya mengangkat keunggulan—berrdasar pada bterlebih dahulunya suatu kitab ajaran (Injil), dari pada Alquran—padahal membandingkan Alquran dengan Injil adalah wilayah perbandingan yang tidak terdapat padanya standar kebenaran. Sebab wilayah iman (kepercayaan) adalah Objektif pada dirinya dan tidak memiliki tolak ukur yang universal.
Itulah sebabnya kajian perbandingan agama, tidak lagi bernuansa pada pembuktian atau usaha melawan argumen agama lainnya, melainkan bernuansa penciptaan harmoni. Menghubungkan satu keyakinan dengan keyakinan yang lainnya agar tercipta kesepahaman dalam menuai kerja-kerja keagamaan yang sesuai dengan prinsip kemanusiaan yang universal.
Orientalisme Baru
Dewasa ini, peradaban barat yang diwakili oleh Eropa dan Amerika, telah membuka diri pada kajian ketimuran—Islam. Kajian ketimuran, atau peradaban Islam khususnya telah banyak berkembang di kampus-kampus daratan biru tersebut. Bukan tanpa alasan, fakultas Islamic Studies, terus berkembang di universitas-universitas Barat.
Tak bisa dipungkiri bahwa kajian-kajian keislaman yang berkembang di barat justru menjadi medium yang mendorong kelahiran dari renaissan Islam sekarang. Terbukanya pengembangan-pengembangan metodologi dan instrumen berfikir menjadi salah satu hal yang dapat dirasakan. Kelahiran kembali Islam sangatlah berperan pada bangkitnya semangat pembaharu, kembalinya usaha-usaha intrudusir pasa pemahaman agama, re-ijtihad.
Sehingga penemuan-penemuan mutakhir dalam pemikiran Islam, mulai banyak bermunculan, dianalisis serta disempurnakan. Semangat kritisisme barat telah melengkapi hikmah yang hilang di tubuh Islam. Sebagaimana diucapkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi:
“Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang yang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah”
Maka sudah barang tentu bahwa kebijaksanaan Barat pun merupakan hikmah yang patut dipelajari setiap muslim yang beriman. Sehingga bukan lagi hal tabu, bahwa mempelajari Islam ke Barat adalah pencarian Hikmah Islam yang telah hilang.