Selasa, Desember 3, 2024

RKUHP Mengancam Korban Perkosaan?

mahendrawisa
mahendrawisa
Nama lengkap Mahendra Wirasakti. Kebetulan alumni Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Memiliki ketertarikan pada hukum pidana, hukum ketenagakerjaan dan hukum tata negara.
- Advertisement -

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah berencana untuk mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) sebelum masa kerja DPR berakhir pada akhir September ini.

Akan tetapi, wacana tersebut mendapat penolakan dari berbagai pihak. Penolakan tersebut didasari alasan bahwa banyak pasal yang dianggap kontroversial. Salah satu pasal yang paling sering menjadi alasan adalah mengenai pasal aborsi di RKUHP, yang dianggap abai terhadap korban perkosaan.

Di lain sisi, pasal mengenai aborsi tersebut dipandang diskriminatif karena dokter yang melakukan aborsi karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan tidak dipidana. Benarkah demikian?

Setidaknya ada dua argumen untuk menjawab dua hal tersebut. Pertama, mengenai korban perkosaan yang terancam dapat dipidana oleh pasal aborsi RKUHP. Apabila merujuk Pasal 470 ayat (1) RKUHP versi 15 September 2019 (perkembangan RKUHP bisa diikuti dan diunduh di sini), kekhawatiran mengenai korban perkosaan atau yang terindikasi adanya kedaruratan medis dapat dipidana apabila melakukan aborsi, sayangnya, memang dapat terjadi.

Hal ini disebabkan karena baik dalam Pasal 470 sampai Pasal 472 memang tidak ada pengecualian untuk aborsi terhadap korban perkosaan atau terhadap indikasi kedaruratan medis.

Subjek yang dapat dipidana berdasar Pasal 470 sampai Pasal 472 adalah “setiap perempuan”, “setiap orang”, dan “dokter, bidan, paramedis atau apoteker”. Tidak ada keterangan “pengecualian terhadap korban perkosaan atau perempuan yang memiliki indikasi kedaruratan medis” dalam Pasal 470 sampai Pasal 472.

Akan tetapi, terdapat pengecualian sebagaimana diatur pada Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) dan diatur lebih lanjut pada PP Nomor 61 Tahun 2014.

Kedua peraturan tersebut mensyaratkan adanya bukti berupa keterangan. Di sini berlaku lex specialis derogat legi generali, hukum yang lebih khusus mengesampingkan hukum yang lebih umum. Dalam hal aborsi, RKUHP, apabila jadi disahkan, tentunya berkedudukan sebegai hukum yang umum, sedangkan UU Kesehatan dan PP Nomor 61 Tahun 2014 berkedudukan sebagai hukum khusus. Sehingga ketentuan RKUHP dapat dikesampingkan.

Lalu berdasar kedua peraturan tersebut, perempuan yang kehamilannya terdapat indikasi kedaruratan medis harus memperoleh keterangan layak aborsi, sedangkan korban perkosaan harus memperoleh keterangan adanya dugaan perkosaan. Apa artinya? Artinya aborsi tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang.

Ada prosedur yang harus dilalui karena apabila seseorang mengaku dirinya menjadi korban perkosaan, ada orang lain yang terancam dipidana dengan pasal perkosaan dan harus dihukum.

- Advertisement -

Begitu juga apabila mengaku terdapat indikasi kedaruratan medis, harus melalui kajian ilmiah terlebih dahulu sebelum dapat dipastikan bahwa secara medis memang indikasi kedaruratan medis benar terjadi. Hanya saja, terdapat kelemahan dalam kedua peraturan tersebut, yakni aborsi hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari.

Seharusnya ketentuan ini dihapus karena jangka waktu tersebut sangat singkat, terutama untuk korban perkosaan yang rentan mengalami trauma psikologis pasca mengalami perkosaan.

Kedua, pasal mengenai aborsi tersebut dipandang diskriminatif karena dokter yang melakukan aborsi karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan tidak dipidana. Berdasar Pasal 472 ayat (3), memang dokter yang melakukan aborsi karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan tidak dapat dipidana. Akan tetapi, terdapat penegasan dalam pasal tersebut bahwa aborsi harus dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Artinya, dalam melakukan aborsi, dokter harus mengacu pada ketentuan UU Kesehatan juncto PP Nomor 61 Tahun 2014. Hal ini sesuai dengan Pasal 31 RKUHP yang mengatur bahwa seseorang tidak dapat dipidana apabila menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Apabila tidak mengacu pada dua peraturan tersebut, maka dokter justru dapat diancam pidana dengan pemberatan seberat 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana yang diatur di Pasal 470 dan Pasal 471 RKUHP. Selesai? Belum. Dokter tersebut juga dapat dijatuhi sanksi pencabutan hak memegang jabatan publik atau jabatan tertentu dan pencabutan hak menjalankan profesi. Lengkap sudah. Harus menjalani sanksi pidana, masih bisa dijatuhi sanksi pencabutan hak. Lalu, dari mana sisi diskriminatifnya?

Dari pembahasan di atas, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa pertama, tidak hanya perempuan yang menjadi korban perkosaan atau terdapat indikasi kedaruratan medis yang dapat dipidana, tetapi semua perempuan yang melakukan aborsi dapat dipidana, bahkan termasuk orang lain atau dokter, bidan, paramedis atau apoteker juga dapat dipidana.

Akan tetapi, terdapat pengecualian melalui prosedur berdasar UU Kesehatan dan PP Nomor 61 Tahun 2014. Hanya saja, ketentuan 40 hari tersebut sebaiknya dihapus karena terlalu singkat, terutama bagi korban perkosaan. Memang hal-hal yang bersifat prosedural itu menyebalkan, tetapi dalam hal aborsi memang prosedur tersebut harus dipenuhi agar tidak dipidana.

Kedua, mengenai anggapan bahwa pasal aborsi di RKUHP diskriminatif. Menurut hemat saya, pasal aborsi tersebut tidaklah diskriminatif, karena justru dokter diancam dengan pidana yang lebih berat apabila melakukan perbuatan aborsi tanpa mengacu ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebaliknya, Pasal 31 RKUHP juga dapat diterapkan terhadap perempuan yang memiliki indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan, dengan syarat harus mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehingga jelas anggapan bahwa pasal aborsi dalam RKUHP diskriminatif tentu tidak beralasan.

mahendrawisa
mahendrawisa
Nama lengkap Mahendra Wirasakti. Kebetulan alumni Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Memiliki ketertarikan pada hukum pidana, hukum ketenagakerjaan dan hukum tata negara.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.