Dalam tulisan ini akan mendiskusikan mengenai rivalitas yang terjadi antara Tiongkok dan Jepang dalam memperebutkan dominasi di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Rivalitas ini berakar sejak masa lampau dan terus menjalar hingga saat ini di berbagai sektor, mulai dari politik, ekonomi, hingga keamanan. Dengan perkembangan Tiongkok yang semakin kuat dan berpengaruh secara global, membuat Jepang berusaha keras agar tidak kehilangan pengaruhnya di kawasan Asia.
Dalam persaingan ini Tiongkok semakin menunjukkan keunggulannya atas Jepang, terutama pada sektor ekonomi dan geopolitiknya, meskipun Jepang masih mempunyai daya saing dalam hal teknologi dengan standar global dan soft power (anime, film, dan musik). Untuk itu, pada esai ini saya akan berfokus pada tiga argument utama. Pertama, kekuatan ekonomi Tiongkok yang semakin besar sehingga sulit disaingi oleh Jepang. Kedua, persaingan geopolitik di Asia Tenggara dan Asia Timur yang saat ini lebih berpihak ke Tiongkok. Ketiga, keterbatasan Jepang dalam menghadapi diplomasi Tiongkok dan ekspansi militer Tiongkok.
Dalam kurun waktu dua dekade terakhir, Tiongkok dapat dikatakan berhasil dalam menggeser Jepang sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terkuat di Asia. Sejak 2009, negara-negara di ASEAN lebih memilih menjalin perdagangan dnegan Tiongkok dibandingkan dengan Jepang yang sebelumnya menduduki posisi dominasi. Tiongkok melalui program Belt and Road Intiative (BRI), menawarkan pinjaman lunak dan investasi infrastruktur yang menarik bagi negara-negara di Asia Tenggara.
Di sisi lain, Jepang terus berusaha mempertahankan posisinya di beberapa negara sebagai investor utama, meskipun terus mengalami kemunduran jika dibandingkan dnegan Tiongkok. Disamping itu, perekonomian Jepang juga berada dalam kondisi yang stagnan sejak tahun 1990-an, sedangkan Tiongkok terus tumbuh dengan pesat. Bahkan pada 2010, pendapatan PDB dari Tiongkok berhasil melampaui Jepang, dan menjadikannya sebagai negara dengan ekonomi terbesar ke dua di dunia.
Data membuktikan bahwa sejak terjadinya krisis finansial yang dialami Asia pada tahun 1997 membuat Jepan mengalami penurunan drastis dalam kontribusi GDP regional, dari yang 63,3 % turun menjadi 36% pada tahun 2015, sedangkan Tiongkok menghadapi pertumbuhan hingga mencapai 42,7%.
Tiongkok dalam aspek persaingan investasi infrastruktur di kawasan Asia Tenggara juga lebih unggul dengan kecepatan dan fleksibiltas yang ditawarkan. Meskipun Jepang menawarkan proyek yang berkualitas, tetapi tidak bisa dibandingkan dengan strategi praktis, cepat, dan ekonomis yang ditawarkan oleh Tiongkok. Konsep hubungan ekonomi keduanya adalah “Cold Politics, Warm Economics”, yaitu meskipun mereka berselisih secara politik tetapi secara ekonomi keduanya saling bergantung. Namun, dominasi produk Tiongkok di pasar Asia Tenggara terus meningkat, menggantikan posisi Jepang sebelumnya.
Asia Tenggara sebagai medan persaingan utama bagi Tiongkok dan Jepang, yang mana Jepang sudah lebih dulu membangun hubungan dengan negara-negara di Asia Tenggara melalui investasi ekonomi dan bantuan pembangunan. Namun, Tiongkok juga semakin aktif dalam memperluas pengaruhnya di Asia Tenggara dengan berbagai strategi.
Sebagai respon, Jepang semakin gencar untuk memperdalam kerja sama strategisnya di bidang pertahanan dan keamanan karena adanya ekspansi militer Tiongkok di wilayah Laut China Selatan, di mana Jepang yang bekerja sama dengan Vietnam dan Filipina membentuk latihan militer bersama dan adanya bantuan penguatan kapasitas pertahanan.
Selain itu, Jepang masih terus berusaha memperkuat posisi diplomatiknya dengan memperbanyak bantuan ekonomi dengan regulasi yang lebih transparan, yang jika dibandingkan dengan model investasi dari Tiongkok yang cenderung terkenal dengan jebakan utang bagi negara penerima.
Tetapi faktanya pendekatan dari Jepang dianggap lebih lamban jika dibandingkan dengan Tiongkok, sehingga membuat Jepang sulit bersaing untuk menarik perhatian dari Asia Tenggara. Pada 2015 Tiongkok dapat dikatakan mampu menggantikan posisi Jepang dnegan menduduki posisi sebagai mitra dagang utama bagi sebagian besar negara di kawasan Asia Timur dengan pangsa ekspor sebesar 32,6% sedangkan Jepang hanya 15,7%.
Sementara di Asia Timur, Jepang kesulitan dalam memperkuat pengaruhnya. Adanya sentiment negatif yang masih berakar kepada Jepang sebagai akibat masa pasca Perang Dunia II, yang sampai kini masih menimbulkan keraguan dari negara-neagara Asia lain yang merasa Jepang belum tulus sepenuhnya dalam menjalin hubungan baru dengan negara kawasan Asia. Hal ini turut melemahkan daya tarik diplomatik Jepang dibandingkan Tiongkok.
Keterbatasan Jepang dalam menghadapi ekspansi militer dan diplomasi Tiongkok dapat terlihat pada sengketa Kepulauan Senkaku/Diaoyu yang memanas karena adanya perbedaaan pemahaman mengenai garis perbatasan antara Jepang dan Tiongkok, dimana Jepang mengklaim secara resmi bahwa kepualuan ini adalah termasuk dalam bagian dari wilayahnya, sedangkan Tiongkok terus melakukan patroli militer di sekitar kepulauan tersebut. Selain itu, ketegangan yang muncul karena adanya ekspansi militer Tiongkok di Laut China Selatan antara Jepang dan Tiongkok, juga secara tidak langsung akan menyeret keamanan negara-negara kawasan Asia Tenggara.
Lalu dalam bidang Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi asing, Tiongkok terus berupaya keras memperkuat posisinya sebagai pemodal utama bagi kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur, jika sebelumnya Jepang lah yang mendominasi perinvestasian di kawasan, maka data terbaru menunjukkan bahwa sekarang Tiongkok lah yang menjadi investor yang agresif dnegan pergerakan ekspansinya ke berbagai sector, seperti energi, teknologi, dan infrastruktur.
Namun dari apa yang terjadi perlu digarisbawahi pula bahwa Jepang juga masih terbatas dalam urusan kebijakan luar negerinya yang masih dibawah bayang-bayang Amerika Serikat, yang mana meskipun aliansi antar Jepang dan AS memberikan perlindungan bagi Jepang, tetapi seringkali Jepang dituduh tidak mempunyai kemandirian karena kebijakan luar negerinya yang menyesuaikan diri dengan AS. Dan ini mempersempit kebebasan Jepang dalam mengahadapi Tiongkok, berbanding terbalik dnegan Tiongkok yang pergerakan geopolitiknya dilakukan secara mandiri.
Ketiga argumen di atas, yaitu keunggulan ekonomi Tiongkok yang semakin sulit disaingi oleh Jepang, dominasi geopolitik oleh Tiongkok di Asia Tenggara, dan keterbatasan Jepang dalam menghadapi ekspansi milter dan diplomatik dari Tiongkok, telah menggambarkan bahwa Jepang semakin kehilangan posisi dominasinya di kawasan Asia.
Dengan demikian, maka saya menilai bahwa rivalitas yang terjadi antara Tiongkok dan Jepang dalam perebutan dominasi di Asia semakin berketimpangan, yang mana Tiongkok menduduki posisi lebih unggul dalam berbagai aspek. Meskipun Jepang masih mempunya keunggulang dalam hal teknologi dan soft power, tetapi faktor ekonomi dan ekspansi besar-besaran Tiongkok telah membuat Jepang berada di posisi yang sulit untuk mempertahankan dominasinya. Oleh karenanya, rivalitas ini bukan lagi kompetisi yang seimbang, melainkan menjadi ajang perlombaan di mana Jepang berusaha mengejar ketertinggalannya dari Tiongkok.