Sepanjang jalan sudah mulai berjajar tampang tokoh-tokoh politik. Sesekali menumpang tenar melalui poster ucapan selamat atlet berprestasi di Olimpiade Tokyo. Budaya politisi yang gemar dipuji dengan segala bentuk kenarsisannya. Semua dilakukan demi ambisi sebuah jabatan dan kekuasaan. Kok ya masih sempat-sempatnya berpolitik di tengah krisis pandemi?
Tidak ada yang terlalu dini bagi dunia politik. Selama ada kesempatan, semua akan berkampanye. Mengabaikan sisi empati terhadap masyarakat yang pontang-panting bertahan hidup akibat kebijakan pemerintah yang tidak konsisten. Ketika pemerintah menghimbau seluruh lapisan masyarakat bersatu melawan pandemi, para politisi haus popularitas malah sibuk merancang strategi kemenangan di tahun 2024.
Saat kasus vandalisme reklame Puan Maharani (Ketua DPR RI) muncul ke ruang publik, bukan malah kapok, kader partai banteng putih malah masif memajang reklame Puan Maharani di berbagai sudut kota. Setelah itu mulai bermunculan di media sosial reklame dengan motif lain dari Airlangga Hartarto (Ketua Umum Partai Golkar), Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB), hingga Agus Harimurti Yudhoyono (Ketua Umum Partai Demokrat).
Padahal masih 3 tahun lagi. Padahal masih krisis pandemi. politisi malah menghamburkan uang (pasang dan pajak reklame) untuk eksistensi diri daripada menyumbangkan kepada jutaan masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19. Masyarakat lebih butuh bantuan sosial dari para politisi. Pamer foto akbar di pinggir jalan raya tidak begitu efektif. Apalagi sudah jarang orang keluar rumah karena pandemi. Boro-boro menyimak pesan-pesan di reklame, beli makan tidak digrebek satgas Covid-19 saja sudah bersyukur.
Pemasangan reklame dan pamflet di pohon-pohon pinggir jalan adalah ritual kuno politisi. Era digital harusnya dimanfaatkan dengan membentuk tim yang lebih kreaktif dan inovatif. Ketika gadget sudah dijadikan kebutuhan mayoritas masyarakat Indonesia, seharusnya sudah disadari bahwa kampanye metode pasang reklame tidak lagi signifikan menarik suara di masyarakat.
Mbok ayo fokus dulu bagaimana cara mangatasi pandemi. Percuma jadi presiden kalau rakyatnya sudah mati semua karena Covid-19.
Membuang Uang
Persepsi publik tentang budaya politik nasional masih buruk. Bahkan ritual sogokan (serangan fajar) masih dijadikan media efektif mendulang suara. Kemudian ada yang rutin menyelenggarakan pentas dangdut di lapangan kampung. Menjanjikan proyek pembanguan desa jika mayoritas penduduknya mau diarahkan untuk memilih salah satu calon pejabat. Belum lagi ritual bagi-bagi kaos, pin, jam dinding, mug, dan stiker kepada semua masyarakat.
Sedangkan banyak masyarakat berpendidikan mulai berpikir. “Dari banyak modal yang sudah dikeluarkan politisi, bagaimana ia bisa balik modal.” Apakah gaji pejabat negara cukup menutup hutang ratusan juta hingga miliar dana kampanye? Apakah para politisi merelakan saja uang yang sudah dihabiskan semasa kampanye? Benarkah politisi ikhlas mengabdi kepada masyarakat atau masih memikirkan cara sebelum habis masa jabatan bisa mendapat untung dari uang yang sudah dikeluarkan untuk kampanye. Caranya? KORUPSI!
Reklame papan/ billboard/ videotron/ megatron dan sejenisnya yang saat ini viral di media sosial sebagai sarana kampanye membuat politisi harus mengeluarkan biaya objek pajak reklame. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame, tarif pajak yang dikenakan di Jakarta untuk pengadaan reklame sebesar 25%. Kemudian standar ini banyak diaplikasikan di berbagai daerah di Indonesia.
Dalam setahun, satu reklame politisi bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta. Apalagi jika pasang ratusan rekalame di seluruh Indonesia. Itu baru pengeluaran dari pajak. Belum pengeluaran cetak reklame, biaya pasang, transport, dan lain sebagainya. Setahun sudah berapa ratus juta yang dikeluarkan untuk media yang tidak begitu efektif menarik suara? Apalagi kalau sampai 3 tahun (2021-2024).
Pandemi ternyata tidak berdampak bagi politisi. Mereka tetap istikamah digaji dan mendapatkan tunjuangan. Belum lagi proyek-proyek miliaran dari pemerintah yang bisa saja berpotensi untuk dikorupsi. Sedangkan masyarakat teriak-teriak meminta bantuan sosial yang kerap salah sasaran. Andai saja sekian persen dana reklame politisi digunakan untuk aksi sosial, betapa bersyukurnya masyarakat yang tinggal di Indonesia.
Tapi memang watak politisi sudah banyak yang kehilangan empati. Lebih mementingkan sensasi untuk mendapat panggung sorotan media. Menjadi popoler, syukur elektabilitasnya terangkat untuk bermimpi menjadi RI 1. Alih-alih membantu sesama yang membutuhkan, politisi malah memanjakan diri dengan isolasi mandiri (isoman) di hotel yang semua fasilitasnya ditanggung negara. Biayanya mencapai 4,5 hingga 30 juta per orang.
Berbanding terbalik dengan masyarakat bawah yang terpaksa isoman di rumah karena rumah sakit tidak mampu menampung lonjakan kasus positif Covid-19 dan beberapa di antaranya mati karena kehabisan oksigen. Harus dimaklumi bahwa di Indonesia politisi adalah tuan dan rakyat adalah hamba sahaya. Terserah politisi membuang uang untuk apapun, karena bawahan tidak punya kuasa untuk menasehati. Daripada di penjara karena somasi yang dibuat-buat, lebih baik diam dengan tetap menatap berjam-jam reklame politisi di pinggir jalan raya.