Globalisasi dalam pandangan Friedman: Studi Analisys Pengolahan Data dalam Memecahkan Masalah Globalisasi
Globalisasi mungkin sudah tidak asing lagi terdengar. Globalisasi sendiri berasal dari kata “global” yang artinya meliputi seluruh dunia atau secara keseluruhan. Globalisasi merombak cara hidup manusia secara besar-besaran. Di mana globalisasi tersebut berasal dari barat, yang membawa jejak kuat kekuasaan serta mempunyai konsekuensi yang sangat tidak seimbang.
Namun, globalisasi bukan sekedar soal dominasi Barat terhadap yang lain, globalisasi juga mempengaruhi negara-negara lain. Serta globalisasi juga mempengaruhi kehidupan sehari-hari dengan kadar yang sama dengan pengaruhnya terhadap berbagai peristiwa di tingkat dunia. Globalisasi juga memiliki dimensi ekonomi, politik, teknologi dan budaya. Globalisasi tidak hanya membuat bangsa-bangsa kehilangan sebagian kekuatan ekonominya, Tetapi, globalisasi juga mendorong kebawah yang artinya globalisasi membuat tekanan-tekanan baru bagi otonomi lokal.
Friedman (2006), mencatat bahwa sejarah globalisasi terjadi dalam tiga periode: Globalisasi 1.0, Globalisasi 2.0, dan Globalisasi 3.0. Setiap periodisasi globalisasi tersebut selalu tersigkap kekuatan yang membuat dunia terus menerus berubah. Dunia yang bulat dan memiliki geografi yang luas, dalam perkembangannya berangsur-angsur menjadi datar karena beberapa peristiwa sejarah, sehingga pada akhirnya membuat bumi semakin datar (The World Is Flat), karena sudah tidak ada lagi sekat-sekat penghalang yang membatasi interaksi.
Globalisasi 1.0. pertama berlangsung sejak 1492, ketika Colombus berlayar, membuka perdagangan anatara dunia lama dan dunia baru hingga sekitar tahun 1800. Proses ini kemudian membuat dunia menyusut dari ukuran besar menjadi sedang.
Tenaga penggerak dalam era ini ditentukan oleh seberapa besar otot, seberapa besar tenaga kuda, seberapa besar tenaga angin, dan seberapa besar tenaga uap yang dimiliki oleh suatu negara serta seberapa besar kreativitas untuk memanfaatkannya. Pada masa ini, negara dan pemerintah yang biasanya dipicu oleh agama, imperialisame, maupun gabungan dari keduanya mendobrak dinding dan berusaha merangkum dunia menjadi satu hingga terjadi penyatuan global.
Globalisasi 2.0 berlangsung dari sekitar tahun 1800 hingga 2000 diselingi oleh masa depresi besar serta Perang Dunia I dan II. Masa ini menyusutkan dunia dari ukuran sedang ke ukuran kecil. Dalam era ini, pelaku utama perubahan atau kekuatan yang mendorong proses penyatuan global adalah perusahaan multinasional.
Perusahaan-perusahaan ini mendunia demi pasar dan tenaga kerja, dengan dipelopori oleh Revolusi Industri serta ekspansi perusahaan-perusahaan yang bermodal dari Belanda dan Inggris. Kekuatan yang menggerakkan globalisasi ini adalah terobosan di bidang perangkat keras, yang berawal dari kapal uap dan kereta api, hingga kemudian telepon dan komputer
Proses globalisasi kemudian mencapai puncaknya pada Globalisasi 3.0. Perbedaan globalisasi ini dengan globalisasi sebelumnya tidak hanya terletak pada proses menyusutkan dan mendatarkan dunia, namun juga termasuk kekuatan penggerak yang ada di dalamnya.
Kekuatan penggerak itu merupakan individu dan dunia usaha Amerika maupun Eropa. Meski dalam hal ini, ekonomi China yang terbesar pada abad 18, namun negara penjelajah dan perusahaan Baratlah yang berperan besar dalam globalisasi dan pembentukan sistem-sistemnya. Meskipun demikian, kondisi inipun kemudian bergeser karena dunia semakin lama menjadi datar dan tidak lagi digerakan oleh sebuah negara, melainkan individu. Globalisasi 3.0 ini kemudian mendorong para individu turut bermain dan masuk di dalamnya.
Globalization: A Critical Analysis-nya – Aktor globalisasi baginya bukan hanya orang Barat yang membawa globalisasi ke penjuru dunia, namun aktor globalisasi ada tiga pihak, (1) Pihak yang mendukung globalisasi, mereka yang memperoleh keuntungan dari adanya globalisasi, (2) Pihak yang menentang globalisasi, mereka yang menjadi korban eksploitasi, dan (3) Pihak yang dieksploitasi namun juga memperoleh keuntungan dari globalisasi, oleh karena itu pihak tersebut ragu dalam memberi respon terhadap globalisasi.
Analisis Komparatif – Globalisasi Sebagai Proses Sosial – Proses Sosial menjadi pilihan dikarenakan gagasannya relevan dengan fenomena globalisasi. Analisis struktural fungsional hanya akan melihat fenomena globalisasi sebagai fenomena struktural yang memaksa individu.
Globalisasi dipandang sebagaimana sifat dari fakta sosial, yaitu memaksa dan berada diluar individu. Kacamata semacam itu menurut saya kurang clear dalam melihat fenomena globalisasi yang tentunya tidak sekedar melibatkan struktur semata.
Sedangkan analisis tingkat mikro baik analisis melalui kacamata interaksionisme simbolik maupun fenomenologi, melihat fenomena globalisasi dari sisi aktor yang terlibat aktif. Kacamata seperti ini pun pikir belum mampu memaparkan realitas yang sebenarnya dari fenomena globalisasi. Struktural fungsional cenderung mengabaikan peran aktif agen atau aktor dan analisis tingkat mikro cenderung terlalu menonjolkan peran aktor sehingga kekuatan struktur tidak terlalu diperhatikan.
Peran Sosial dan Humaniora – Pergeseran nilai-nilai itu tercermin dari maraknya berbagai peristiwa yang akhir-akhir ini terjadi. Dampak paling terasa itu terjadi dalam bidang lingkungan dan sosial. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada antara Juli 2016-Juni 2017 memperlihatkan adanya deforestasi hutan sebesar 497.000 hektar atau sebesar 64,3% dari jumlah hutan di Indonesia.
Meskipun KLHK mengklaim terjadi penurunan dari tahun 2014 sebesar 73,6%, jumlah ini masih tergolong cukup besar, padahal Amerika yang merupakan negara industri mampu menjaga deforestasi hutannya tidak lebih dari 200.000 hektar per tahunnya. Persoalan lingkungan juga tidak berhenti hingga di situ, Indonesia bahkan dikategorikan masuk ke dalam negara terkotor keempat di dunia, menurut hasil riset International Earth Science Information Networktahun 2015.
Masalah-masalah yang terjadi pada hari ini, tidak dapat diselesaikan dengan cara-cara sama seperti dalam konsep yang lampau. Revolusi Industri 4.0 tidak mungkin hanya dihadapi dengan pengembangan teknologi tanpa melibatkan dinamika sosial di dalamnya. Selain menyiapkan daya saing yang unggul, perlu dibangun kesadaran dan kedewasaan masyarakat dalam menyikapi perkembangan dunia saat ini, terutama di zaman post truth, ketika informasi yang mengalir deras tanpa kejelasan kebenarannya. Perlu dirumuskan strategi kebijakan nasional melalui kesadaran dan kedewasaan berpikir.