Membayangkan sebuah negara ketika beralih kekuasaan politik memang sangat menarik. Manuver, Gaya, dan Arah haluan pun bisa 180 derajat berbeda. Haluan ini menjelaskan bahwa arah politik memang segalanya menentukan.
Amerika Serikat, akan beralih kekuasaan. Dari Presiden Trump menuju Wakil Presiden Joe Biden. Kita semua mungkin memerhatikan pergerakan politik mereka, dari masa Primary hingga Ballot. Pasti menarik, apabila merujuk ke pada faktor-faktor yang membuat semua ini menarik dan layak dinanti.
Proses yang memakan waktu lama, ditambah era pandemi seperti saat ini, membuat Pemilu yang lalu sangat melelahkan. Tetapi, (6/1/21) lalu, dengan insiden yang menghebohkan jagad dunia dengan penyerbuan Capitol Hill oleh massa pendukung Presiden Trump, akhirnya Kongres memutuskan bahwa Joe Biden menjadi Presiden Amerika Serikat ke-46 setelah rumitnya proses demokrasi, ia dilantik pada 20, Januari 2021. Dengan insiden lalu, memang gonjang-ganjing mengenai 25th Amendment serta isu Permakzulan kembali sangat hangat belakangan ini.
Sementara itu, komposisi partai di kongres maupun senat memang sangat tipis, ini membuat potensi untuk partai demokrat menjadi senate majority. Hal ini semakin menegaskan bahwa pemerintahan Biden nanti, mungkin ia memiliki kuasa yang kuat tidak seperti Presiden Trump.
Presiden Trump, menjadi presiden AS ke-45, menggantikan Obama yang telah menjabat 2 Term, memiliki pendekatan yang berbeda dibanding pendahulunya. Jadi, mari membayangkan AS Pasca Trump atau saya lebih suka “United States Post-Trumpism”.
Ekonomi & Dalam Negeri
Ekonomi merupakan salah satu sektor yang paling berpengaruh. Trump dengan kebijakan ekonomi miliknya, yang berhasil banyak mengurangi pengangguran dan memperbanyak lapangan pekerjaan sangatlah baik. Lalu, daripada itu Trump juga berhasil membuat trade deal menjadi efektif. Trump juga berhasil membuat GDP AS beranjak naik, sementara itu tingkat poverty atau kemiskinan menurun ketika awal-awal pemerintahan Presiden Trump.
Ditambah perang dagang AS dengan Tiongkok yang memang menjadi anomali dari AS itu sendiri, bagaimana tidak, AS yang harusnya pro pasar dan free market, justru menerapkan proteksionisme ekonomi khususnya ke Tiongkok. Tariff Barrier hingga friksi-friksi lain terhadap Tiongkok mewarnai pemerintahan Presiden Trump.
Melihat faktor dalam negeri, kita tak lepas dari adanya permasalahan sosial. Pada era Trump, sinisme terhadap warga kulit berwarna atau rasisme menjadi permasalahan utama. Bahkan, Ku Klux Klan atau gerakan white supremacists pun bangkit pada era Trump. Bukan tak mungkin, lainnya ialah Konservatsime. Konservatisme memang sangat lekat dengan Populisme, karena didorong rasa superioritas dan majoritarianisme membuat ini tak terbendung. Langkah Trump yang mengejutkan adalah, mengangkat Amy Coney Barrett menjadi haki agung. Ini menegaskan bahwa pemerintahan Presiden Trump memang condong ke arah konservatisme.
Tugas utama Biden adalah, rebuild atau membangun kembali AS, karena pandemik yang berkepanjangan adalah penyebab utamanya. Biden harus melakukan kebijakan yang lebih visioner dibanding Presiden Trump. Tetapi, di satu sisi, memang Demokrat selalu memiliki kebijakan pajak yang tidak menyenangkan bagi orang menengah ke bawah. Pajak yang tinggi pasti menjadi alasan utama nanti. Juga, tak lupa untuk lebih memperhatikan kesenjangan ekonomi. Karena masa pandemik ini, banyak orang kehilangan pekerjaan mereka.
Sementara itu, Biden yang berasal dari Demokrat memang lekat sekali akan Liberatrianisme. Pastinya, kebebasan hak apa dan siapa pun pasti dikembalikan yang direnggut pada pemerintaha Presiden Trump. Yang paling penting adalah, bahwa Muslim Ban akan expelled pada era Biden nanti. Tentunya, Biden akan mengembalikan citra AS sebagai negara yang multikultural dan plural, karena pada era Trump, prejudice terhadap orang kulit berwarna, asia, islam, dan orang asing lain sangat terasa. Maka dari itu, AS akan rebuild pada era Biden, akankah ini menjadi kenyataan?.
Hubungan Luar Negeri
Hubungan Luar Negeri pada era Trump mungkin sangat konfrontatif, terhadap Tiongkok, Iran, bahkan Uni Eropa. Misalnya pada Tiongkok dengan perang dagang dan konfrontasi-konfrontasi lain seperti di laut cina selatan dan beberapa bidang lain, lalu dengan Iran terutama terhadap nuclear deal ditambah dengan yang dilakukan AS dengan membunuh Qassem Suleimani pada awal januari 2020 lalu, sementara itu pula AS memang sangat memusuhi Iran terlihat pada krisis Yaman yang berkepanjangan karena adanya friksi politik internal mereka, dan AS mengintervensi secara tidak langsung. Ini membuat Hubungan Luar negeri AS menjadi kurang ramah terhadap negara-negara lain.
Lalu, diperparah dengan Trump mengundurkan diri dari Paris Agreement, yang membuat semua bertanya-tanya akan komitmen AS dengan krisis iklim. Bukan tanpa alasan, karena dengan masuk di dalam pejanjian tersebut, roda ekonomi AS yang mayoritas pada industrial akan mengurangi intensitas mereka dan perlahan membuat mereka kolaps. Ini juga menjadi langkah Trump dalam membentuk trade deal baru di wilayah amerika utara, dengan kanada dan meksiko, dalam membentuk USMCA. Trade deal ini sempat dikecam oleh kongres yang bermayoritas Demokrat karena tidak ramah lingkungan dan memperparah keadaan iklim.
Dengan Timur Tengah, justru Trump memiliki pendekatan yang berbeda, dengan menjadi pihak ketiga dalam normalisasi hubungan negara-negara arab dengan Israel, membuat banyak orang memuji Trump. Ini juga membuat Trump semakin menegaskan bahwa peran AS sebagai penjaga perdamaian dunia memang nyata di wilayah Timur Tengah. Walaupun begitu, memang dalih normalisasi dan perdamaian ini adalah ekonomi, karena dalam proposal Trumpnomics atau Trump Peace Plan di timur tengah memang menitik beratkan ke arah pembangunan ekonomi yang saling menguntungkan.
Biden tentunya akan melakukan pendekatan yang berbeda, pastinya ia kana membangun kembali hubungan baik dengan Tiongkok, karena ia menegaskan bahwa Tiongkok dan AS adalah mitra dagang yang hebat. Biden juga menegaskan bahwa Tiongkok bukan ancaman yang lebih bagi AS, pendekatan bersahabat ini adalah pendekatan yang tak akan terwujud di dalam pemerintahan Trump. Lalu, dengan Iran kita akan melihat apa yang terjadi dengan klausul Iran terhadap Nuclear Deal nanti, karena Iran meminta untuk menaikkan pengayaan uranium sebesar 20%. Iran akan menjadi sesuatu yang menarik, akankah Biden justru berpaling dan membangun hubungan baik dengan mereka?.
Biden memang ketika kampanye selalu menyebut New Green Deal, tak lain tak bukan karena isu ini merupakan isu yang sangat penting sekarang ini. Desakkan Internasional terhadap Climate Action AS sangat besar. Biden janji akan kembali ke perjanjian itu, dan membuat AS sebagai negara yang memperhatikan isu perubahan iklim.
Biden seharusnya juga me-mantain kebijakan ini, karena kunci Trump adalah stabilisasi, Biden pun harus bisa mempertahankan ini. Timur Tengah pada era Trump bisa dibilang tidak separah era-era sebelumnya, khususnya era Obama yang banyak terjadi konflik. Biden juga harus melanjutkan apa yang dikerjakan Trump di Timur Tengah dengan Peace Plan mereka.