Kamis, April 25, 2024

Restorasi Ekosistem dan Gaya Hidup Hijau

Thio Hok Lay
Thio Hok Lay
Koordinator Biologi, Teaching Learning Curriculum Department, Yayasan Citra Berkat, Jakarta. Penulis Buku “Mendidik, Memahkotai Kehidupan”

Banjir dan longsor yang terjadi di berbagai daerah saat ini, barulah awal permulaan sebagai bentuk peringatan dini dari dampak La Nina; fenomena pendinginan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik bagian tengah yang memicu peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia secara umum.

Disamping memicu bencana hidrometeorologi (banjir dan longsor), La Nina yang berpuncak di Februari 2022, juga berpotensi menimbulkan angin kencang dan puting beliung. Pesan penting Prof. Dwikorita Karnawati, selaku Kepala BMKG yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kondisi dan kualitas daerah aliran sungai (DAS) yang terdapat di tiap-tiap daerah nantinya akan berkontribusi atas daya lenting lingkungan (kemampuan lingkungan untuk kembali pulih setelah terjadi gangguan).

Artinya, bila daya dukung suatu lingkungan buruk, maka saat terdampak bencana, lingkungan tersebut membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk kembali pulih mencapai kondisi kesetimbangan (homeostasis).

Ironisnya, upaya penanganan dalam mengatasi pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) belum sepenuhnya benar-benar tuntas. Dan saat ini, Ibu Pertiwi sudah harus kembali menangis akibat banjir laten yang terjadi di banyak tempat, senyatanya hendak mengkonfirmasi bahwa kondisi kesehatan lingkungan hidup kita sedang sakit, sebagaimana yang penulis ulas dalam artikel ‘Banjir, Musibah atau Undangan’ (Tribun Jateng, 11/11).

Pergeseran gaya hidup yang mengarah pada hedonis materialistis, yang tak mengenal rasa cukup dan puas, telah menyudutkan alam sebagai obyek untuk dieksploitasi. Saat ini, tak satu pun area ekosistem (darat, air, udara) yang steril dari pencemaran (polusi). Manusia menjadi egois, rakus, dan tidak peduli lagi terhadap sesama dan kelestarian alam. Lupa bahwa Sumber Daya Alam (SDA) yang ada, jumlah dan sebarannya teramatlah terbatas.

Terkait perilaku manusia yang cenderung menciderai lingkungan, maka komitmen dan keberanian sosok Severn Suzuki, 12 tahun, yang berbicara mewakili ECO – Enviromental Children Organization di KTT Lingkungan Hidup PBB di Rio de Janeiro Tahun 1992 masih relevan dan kontekstual untuk menjadi perhatian dunia hingga detik ini.

Berikut cuplikan pidatonya, “Saya berada disini untuk berbicara bagi semua generasi yang akan datang; untuk anak-anak yang kelaparan di seluruh dunia yang tangisannya tidak lagi terdengar, untuk berbicara bagi binatang-binatang yang sekarat yang tidak terhitung jumlahnya karena kehilangan habitatnya. Anda tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki lubang pada lapisan ozon kita. Anda tidak tahu bagaimana cara mengembalikan ikan-ikan salmon ke sungai asalnya. Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan binatang-binatang yang telah punah. Dan anda tidak dapat mengembalikan hutan-hutan seperti sediakala. Jika anda tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Tolong, berhentilah merusaknya! 

Chapman dkk (2007) dalam bukunya yang berjudul “Bumi yang terdesak”, menyatakan bahwa populasi manusia tidak hanya tumbuh secara eksponensial, tetapi gaya hidup dan pola konsumsi manusia telah mendorong munculnya teknologi yang semakin merusak lingkungan. Teknologi modern yang dikembangkan untuk mendukung pola konsumsi yang berlebihan ini telah menghasilkan bahaya lingkungan yang begitu besar, seperti berlubangnya ozon dan kemungkinan perubahan iklim akibat ulah manusia.

Maraknya fenomena kerusakan lingkungan, merupakan indikator konkret bahwa kesadaran publik dalam memahami dan memaknai hakikat alam masih perlu mendapatkan ekstra perhatian serius. Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di bulan Juni lalu, mengusung tema ‘Restorasi Ekosistem’; ditandai dengan peluncuran resmi Dekade Restorasi Ekosistem PBB 2021 – 2030 yang memberikan perhatian ekstra atas relasi manusia dengan alam semesta.

Rahmad (2014) mendefinisikan Restorasi Ekosistem sebagai upaya pengembalian unsur hayati (flora dan fauna) dan nonhayati (tanah, iklim, tofograpi) suatu kawasan kepada jenis aslinya berikut keseimbangan hayati dan ekosistemnya (Mongabay, 24/4/2014). Dengan demikian, dekade PBB senyatanya merupakan upaya mengembalikan kesetimbangan ekosistem akibat krisis iklim; yang berimbas terhadap keterancaman dan kepunahan jutaan keanekaragaman hayati tingkat species (species biodiversity).

Fenomena pemanasan global (global warming) telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap perubahan dunia. Mencairnya es di kutub merupakan satu contoh dari dampak yang diakibatkan oleh meningkatnya suhu bumi. Bila hal ini tidak dicegah nantinya akan menyebabkan  terjadinya banjir yang akan menenggelamkan sebagian besar permukaan bumi yang kita tempati.

Berdasarkan laporan World Bank dan Regional and Coastal Development Centre of ITB (2007), perubahan iklim akan berdampak serius pada Indonesia. Diperkirakan, dalam 30 tahun ke depan, sekitar 2.000 pulau kecil di Indonesia akan tenggelam ketika peningkatan air laut mencapai 0,80 m. Sebuah ancaman besar terhadap keberlangsungan hidup umat manusia dan  makhluk hidup lainnya.

Dalam upayanya untuk menyehatkan kondisi lingkungan hidup sebagai tempat tinggal dan hidup semua makhluk, maka restorasi ekosistem perlu dibarengi dengan upaya penyadaran kolektif dalam memaknai hakekat alam dan pemanfaatan SDA dengan bijaksana. Pemanfaatan SDA haruslah tepat guna, tidak boros, dan berorientasi pada masa depan.

Sebagai upaya penyadaran, perlu diingatkan terus-menerus bahwa saat ini kita sedang ‘meminjam’ alam semesta (bumi) ini dari anak cucu kita, dimana nantinya wajib ‘mengembalikan’ berikut dengan bunganya. Artinya, kita perlu menjaga, merawat, bahkan berupaya untuk meningkatkan kualitas bumi bagi generasi mendatang.

Upaya restorasi ekosistem bisa dimulai dengan menerapkan gaya hidup hijau; model gaya hidup keseharian yang ramah lingkungan, antara lain seperti:  Belajar membuang sampah pada tempatnya, memanfaatkan kembali barang yang telah terpakai (Reuse), pendaurulangan limbah rumah tangga (Recycle), hingga gemar dan giat menanam pepohonan di lahan kritis (Reboisasi). 

Diharapkan melalui aksi konkret personal yang secara konsisten dan berkelanjutan, nantinya akan menstimulus tumbuhkembangnya pemikiran, dan kesadaran global (think global, act local). Dengan demikian, nantinya secara perlahan namun pasti, lingkungan kita akan kembali sehat, meremaja kembali, dan awet muda.

Thio Hok Lay
Thio Hok Lay
Koordinator Biologi, Teaching Learning Curriculum Department, Yayasan Citra Berkat, Jakarta. Penulis Buku “Mendidik, Memahkotai Kehidupan”
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.