Rabu, Oktober 29, 2025

Resonansi Identitas Sound Horeg: Studi Psiko-Sosial di Jawa Timur

Musdodi Manalu
Musdodi Manalu
Independent Scholar and Researcher
- Advertisement -

Fenomena sound horeg telah menjadi bagian penting dari budaya di Jawa Timur, khususnya di kota-kota seperti Malang. Ribuan pengusaha aktif dan ratusan karnaval diadakan setiap bulan, menandakan betapa besarnya minat masyarakat terhadap hiburan yang unik ini. Meski fenomena ini menarik perhatian luas, sound horeg juga mendapat kritik serius karena tingkat kebisingannya yang ekstrem dan dampaknya terhadap kesehatan, ketentraman masyarakat, serta hukum agama. Artikel ini mencoba menelusuri mengapa sound horeg tetap diminati dan terus berkembang dari sudut pandang psikologis, sosial, dan budaya.

Apa Itu Sound Horeg?

Sound horeg adalah acara karnaval atau pesta jalanan dengan suara music keras yang memekakkan, mencapai intensitas hingga 135 desibel. Musik yang dimainkan tak hanya keras, tapi juga menggelegar hingga bisa merusak pendengaran dan menyebabkan gangguan tidur serta stres. Meskipun bahaya kesehatan sudah sangat jelas, masyarakat Jawa Timur tetap mengikuti dan bahkan rela mengeluarkan biaya puluhan juta rupiah demi menyaksikan acara ini secara rutin.

Fungsi Sound Horeg: Pelampiasan Stres Kolektif

Salah satu hipotesis yang diajukan adalah sound horeg menjadi pelampiasan bagi masyarakat yang mengalami tekanan dan stres, terutama setelah pandemi COVID-19. Penelitian membuktikan musik berfungsi sebagai pereda stres dan kecemasan, misalnya musik klasik yang lembut. Namun dalam konteks ini, sound horeg berperan berbeda sebagai media pelampiasan kolektif melalui dentuman keras yang justru memicu kegembiraan dan kepuasan ekspresif.

Filsuf Thomas Hobbes dalam karyanya Leviathan mengatakan manusia memiliki dorongan kuat untuk mencari kepuasan diri sendiri, terkadang tanpa memperhatikan penderitaan orang lain. Fenomena ini terlihat jelas ketika suara keras sound horeg dianggap sebagai bentuk ekspresi emosional yang berani tanpa kompromi terhadap kenyamanan sosial sekitarnya.

Ekspresi Perlawanan Sosial dan Validasi Identitas

Selain sebagai pelampiasan, sound horeg juga merupakan ekspresi perlawanan terhadap perasaan terpinggirkan atau termarjinalisasinya kelompok tertentu dalam masyarakat. Musik menjadi alat pengikat komunitas yang merasa tersisih, memperkuat solidaritas dan memberikan rasa validasi sosial adanya keberadaan mereka secara nyata.

Menurut antropolog, budaya Jawa Timur memang memiliki tradisi masyarakat yang terbiasa dengan ekspresi suara keras dalam acara sosial seperti hajatan dan seni rakyat (jatilan dan bantengan). Kondisi ekonomi kelas menengah ke bawah juga turut membentuk ketertarikan pada festival dengan sound sistem besar ini. Geografis sebaran penduduk Jawa Timur yang merata juga memudahkan penyebaran dan arak-arakan karnaval sound horeg ke berbagai daerah, sehingga tidak hanya dinikmati di kota besar tapi juga wilayah pinggiran.

Nir-Empati: Hilangnya Rasa Peduli Sosial

Gabungan pelampiasan stres dan ekspresi perlawanan sosial menyebabkan kemunculan impuls emosi negatif yang signifikan. Fenomena ini berujung pada nir-empati, yaitu hilangnya kemampuan merasakan penderitaan orang lain. Daniel Goleman menyatakan empati adalah inti dari keterikatan sosial dan kerja sama. Namun stres berat atau tekanan sosial mendorong manusia untuk fokus pada pertahanan diri tanpa memperhatikan dampak pada orang di sekitarnya.

Otak manusia saat stres beralih ke mode survival, menurunkan aktivitas yang berhubungan dengan fungsi sosial kompleks termasuk empati. Hal ini menyebabkan para pendukung sound horeg melampiaskan emosi dengan keras tanpa peduli gangguan bagi para lansia, anak-anak, dan tetangga sekitarnya yang membutuhkan ketenangan.

Sound Horeg: Budaya Alternatif, Bukan Kontemporer

Meski fenomena sound horeg sudah populer dan membentuk komunitas nyata, ia tidak bisa dikategorikan sebagai budaya kontemporer. Hal ini karena tidak adanya konsensus atau pengakuan sosial luas, minimnya sikap saling menghargai antara pendukung dan penentang, serta belum ada legitimasi hukum yang mengatur.

Michael Foucault mengemukakan konsep budaya alternatif sebagai ekspresi yang muncul di luar arus utama dan berfungsi sebagai bentuk kritik atau perlawanan terhadap norma dominan. Sound horeg cukup sesuai dengan definisi ini karena ia muncul sebagai budaya yang menantang tatanan dan norma sosial melalui cara unik dan kontroversial.

- Advertisement -

Perbandingan dengan Fenomena Musik Keras di Dunia

Fenomena musik keras tidak hanya ada di Jawa Timur. Karnaval musik keras serupa ada di India, Jamaika, dan Brasil, serta pesta musik keras seperti dugem (dunia gemerlap) di kota-kota besar di seluruh dunia. Namun perbedaannya terletak pada frekuensi dan konteks sosial penyelenggaraan.

Sound horeg berlangsung hampir setiap minggu dan berupa karnaval yang berkeliling, sehingga berdampak langsung pada seluruh masyarakat di sekitarnya tanpa isolasi atau penyangga suara. Berbeda dengan dugem yang umumnya terisolasi di klub atau tempat khusus dengan peredam suara, sehingga tidak mengganggu lingkungan sekitar.

Dampak Sosial dan Kesehatan

Dampak negatif sound horeg meliputi risiko kesehatan seperti gangguan pendengaran dan stres, serta gangguan ketertiban dan ketenangan warga. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa mengharamkan karena menyebabkan kemaksiatan dan mengganggu ketertiban umum.

Konflik antara penggemar dan penentang fenomena ini berpotensi menimbulkan fragmentasi sosial jika tidak ada penanganan dan mediasi yang tepat.

Kesimpulan

Fenomena sound horeg bukan sekedar tren hiburan, melainkan gejala sosial kompleks yang mencerminkan tekanan psikologis, kondisi sosial ekonomi, dan dinamika budaya. Ia menjadi media pelampiasan stres, alat validasi kolektif bagi kelompok termarjinalkan, sekaligus simbol perlawanan budaya. Namun munculnya nir-empati dan konflik sosial mengingatkan pentingnya pemahaman mendalam fenomena ini sebagai bagian dari budaya alternatif.

Pemahaman ini memungkinkan pengambil kebijakan dan masyarakat luas untuk lebih bijak dalam mengelola serta mengakomodasi kebutuhan emosional dan sosial masyarakat Jawa Timur dalam konteks budaya musik keras tradisional dan modern.

Artikel ini menggabungkan teori sosial dan psikologis filsuf seperti Thomas Hobbes tentang kepuasan diri dan Michael Foucault mengenai budaya alternatif, serta konsep empati Daniel Goleman guna menjelaskan fenomena sound horeg secara mendalam dan holistik.

Musdodi Manalu
Musdodi Manalu
Independent Scholar and Researcher
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.