Pemilihan Kepala Daerah baik tingkat I maupun tingkat II akan diselenggarakan pada tanggal 27 Juni 2018 mendatang. Meskipun masih kurang dua bulanan lagi, masing-masing pasangan calon telah berupaya untuk mensosialisasikan program-program kerjanya ketika terpilih.
Mulai dari pemasangan baliho bertuliskan kata-kata indah nan semangat, blusukan ke wilayah pelosok-pelosok, sowan ke tokoh-tokoh masyarakat, bahkan ada juga yang menyelenggarakan konser seperti dangdut atau musik lainnya untuk menggalang dukungan dari masyarakat.
Selain itu, dari Komisi Pemilihan Umum di masing-masing daerah juga menyelenggarakan acara bertajuk ‘Debat Pasangan Calon’. Acara seperti ini biasanya diselenggarakan beberapa kali, entah dua atau bahkan sepuluh kali jika waktunya masih memungkinkan. Bisanya juga, acara seperti ini digunakan oleh pasangan calon untuk mengkampanyekan visi dan misi yang diusungnya. Dan biasanya juga, momen ini dimanfaatkan untuk mencari titik lemah lawan-lawannya. Namanya juga debat, jika ada yang salah pasti disikat.
Kisah Pertanyaan Pilkada
Beberapa waktu lalu, saya ditanya seorang teman, “Bagaimana pendapatmu tentang pemilihan kepala daerah 2018 ini?” Saya jawab dengan tegas bahwa pemilihan kepala daerah kali ini kurang menarik, tidak kali ini saja, mungkin tahun-tahun sebelumnya juga kurang menarik.
Bahkan pemilihan orang nomor satu di negeri ini pada waktu itu juga kurang menarik. Spontan teman saya langsung mengerutkan kening, mungkin tanda dia bertanya-tanya di dalam hatinya. “Apanya yang tidak menarik? Apa kamu tidak lihat, panasnya Indonesia hari ini jika bicara tentang politik? Belum lagi, jika itu dikaitkan dengan agama”, tandasnya dengan nada tinggi.
Kenapa saya menjawab kurang menarik? Karena sejauh yang saya dengar dari media sosial, televisi, whatsapp, facebook, dan sejenisnya, perihal debat pasangan calon yang ingin maju jadi orang nomor satu, baik di tingkat I atau II belum menyinggung tentang masalah edukasi, atau kurang menyinggung masalah edukasi, atau bahkan tidak sama sekali menyentuh perihal edukasi.
Kebanyakan yang dibahas dan diperdebatkan adalah tentang ketimpangan pembangunan di wilayah a dan wilayah b, korupsi yang masih beranak pinak, lapangan pekerjaan yang kurang memadai, dan pembenahan sistem birokrasi. Memang topik-topik itu harus dibenahi, namun menurut saya pribadi pendidikan juga vital dalam urusan bermasyarakat, berpolitik, dan bernegara.
Salah satu aplikasi nyata pendidikan adalah menggalakkan dan membangun Taman Bacaan Masyarakat (TBM) atau sejenis perpustakaan masyarakat yang benar-benar bisa membuat masyarakat kecanduan terhadap buku bacaan. Jarang sekali atau bahkan tidak sama sekali, program-program yang ditawarkan oleh pasangan calon mengusulkan program ini. Mungkin jika ini menjadi program dan benar-benar diwujudkan, masyarakat akan lebih cerdas lagi dalam berpolitik dan lebih cerdas dalam memilih pasangan calon pemimpinnya.
Di wilayah-wilayah tertentu, Taman Bacaan Masyarakat ini sudah ada. Namun karena kendala dukungan dari pemerintahan –tidak masuk dalam program kerja- dan kurang baiknya pengelolaan, sangat disayangkan Taman Bacaan Masyarakat harus ditutup. Selain itu, Taman Bacaan Masyarakat ini juga jarang saya temui ada di desa-desa. Di kota saya sendiri, Taman Bacaan Masyarakat atau perpustakaan yang layak hanya bisa ditemui di pusat kota. Logika saya mengatakan ini tidak realistis, beribu-ribu penduduk hanya ada satu taman bacaan yang layak.
Menilik Sejarah Masa Lalu
Padahal jika kita mau menengok masa lalu, keberhasilan pemerintahan salah satunya ditopang oleh pendidikan yang baik. Belanda yang menjajah Indonesia pada waktu itu, diakui atau tidak, pendidikan Belanda levelnya telah di atas Indonesia. Prof. Dr. Phil. Al Makin dalam bukunya Antara Barat Dan Timur, menjelaskan bahwa strategi pemerintahan ada dua, pendidikan dan militer.
Namun, keberadaan militerpun sebenarnya juga ditopang oleh pendidikan. Strategi menyerang dan strategi bertahan, tidak mengutamakan fisik prajurit atau peralatan perang. Namun lebih mengutamakan pengetahuan, dan pengetahuan merupakan bagian dari pendidikan.
Lebih jauh lagi jika kita mau menengok masa pemerintahan Bani Abbasyiah, pendidikan menjadi bidang yang paling ditonjolkan. Mulai dari penerjemahan buku-buku, dialektika pemikiran –misalnya gagasan Al Ghazali dan Ibn Rusyd, sampai pada penghargaan materi kepada intelektual muslim pada waktu itu, yakni akan diganti emas sesuai dengan berat karya yang dihasilkan. Dan itu mengantarkan Bani Abbasyiah mengalami puncak keemasan yang diceritakan banyak buku-buku sejarah Islam.
Selain itu, banyak juga ilmuwan-ilmuwan muslim yang menyerukan tentang pentingnya pendidikan. Bukan hanya itu, pendidikan dijadikan sebagai jalan alternatif untuk maju agar tidak melulu didominasi oleh Barat, tidak melulu kalah dari Barat. Misalnya saja Muhammad Abduh, beliau sangat getol menyuarakan pentingnya pendidikan sebagai solusi untuk melawan kedigdayaan Barat.
Di Indonesia sendiri, ada Ki Hajar Dewantara yang mempunyai gagasan khas tentang pendidikan yakni Taman Siswa sebagai lawan balik dari pendidikan Belanda. Di Indonesia sendiri juga ada pendidikan pesantren yang diawali oleh para Wali Sanga di pulau Jawa dan sampai hari ini masih lestari guna membendung pengaruh radikal. Pendidikan yang ditawarkan ini sebagai penopang kehidupan bermasyarakat, berpolitik, dan bernegara.
Oleh karena itu, pendidikan menjadi modal dasar suatu pemerintahan. Pemerintahan ditopang oleh masyarakat. Konsekuensinya, jika masyarakatnya cerdas maka pemerintahan kemungkinan besar akan sukses. Namun jika masyarakatnya tidak berkualitas, maka bisa dipastikan pemerintahannya akan mengalami banyak kendala. Dan untuk menjadikan masyarakat berkualitas diperlukan pendidikan.
Tidak hanya pendidikan formal, tapi juga perlu digalakkan pendidikan informal maupun nonformal. Namun yang jadi permasalahan, pendidikan menjadi program nomor sekian atau bahkan tidak masuk dalam program pasangan calon pemimpin tingkat I dan II.
Sehingga masyarakat mudah sekali dibodohi oleh janji-janji manis. Sering kali terjebak pada penampilan luar calon pemimpin, dan sering juga terjebak pada pencitraan. Masyarakat mudah sekali digiring oleh opini-opini yang tidak berdasar, baik dalam rangka menjunjung satu pasangan calon maupun menjatuhkan calon lain.
Masyarakat akhirnya terbiasa dengan ketidakkritisannya. Apakah mungkin ini strategi untuk menang dari pasangan calon? Ataukah ini memang disengaja agar masyarakat bisa dijadikan objek pasar menambah kuantitas suara dalam kontes demokrasi lima tahunan?