Awan hitam makin pekat di atas Gedung Merah-Putih pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Melalui Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019 yang merupakan uji formil dari tiga orang eks pimpinan KPK yaitu Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang memutus untuk menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. MK beranggapan bahwa tida terdapat pelanggaran dalam proses perubahan UU KPK.
Selain menguji proses perubahan UU KPK, MK juga memutus atas permohonan uji materil terkait dengan muatan isi yang terdapat dalam undang-undang tersebut. Walaupun terdapat permohonan yang dikabulkan sebagian oleh mahkamah, namun salah satu ketentuan bermasalah yang ditolak dan dinyatakan konstitusional adalah Pasal 24 UU KPK terkait status kepegawaian lembaga yang harus menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Mahkamah berpendapat bahwa tida
k ada relevansinya mempersoalkan status pegawai dan pengawasan yang dilakukan oleh Komisi ASN dan Dewan Pengawas KPK, karena keduanya memiliki peran untuk saling melengkapi. Putusan yang cukup kontroversial di tengah masalah yang mencuat di internal KPK.
Setelah MK memutus tentang status pegawai yang terdapat dalam UU KPK, sebanyak tujuh puluh lima orang pegawai dibebastugaskan sebagai dampak dari Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Tes itu merupakan bagian dari proses alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) menggagalkan beberapa orang penyidik dan penyelidik yang selama ini dikenal berintegritas dan menangani beberapa kasus korupsi penting. Salah satu di antaranya adalah Novel Baswedan.
Sedari awal alih status pegawai ini merupakan langkah strategis untuk melemahkan dan menghentikan gerak KPK. Pegawai internal yang awalnya direkrut secara mandiri oleh KPK, akhirnya sekarang beralih status menjadi ASN sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 1 angka 6 UU KPK pasca perubahan. Muatan isi yang baru dalam undang-undang tersebut mengubah posisi KPK yang awalnya berjalan secara independen, namun sekarang harus rela berada di dalam genggaman kekuasaan eksekutif.
Status ASN yang melekat pada pegawai KPK merupakan salah satu cara untuk menghilangkan independensi KPK. Yulianto (2020) menjelaskan bahwa salah satu ciri dari konsep lembaga negara yang independen adalah kemandirian dalam pengelolaan sumber daya manusia yang dimilikinya dan ini sepertinya yang tidak ingin dihadirkan oleh pengambil kebijakan politik saat ini.
Selama ini pengelolaan kepegawaian KPK dikelola secara profesional dan mandiri dengan ukuran kinerja yang jelas. Revisi undang-undang KPK mengakibatkan status kepegawaian KPK tunduk pada Undang-Undang Aparatur Sipil Negara dan setiap kebijakan mutasi dan rotasi jabatan harus berkiblat ke Kementerian ASN.
Melalui posisi kelembagaannya saat ini, bukan tidak mungkin pada suatu waktu pegawai KPK akan ditarik dan dimutasi sesuai dengan keinginan pemerintah yang berkuasa. Pemerintah melalui Kementerian ASN akan sangat mudah mengintervensi pegawai KPK dengan dalih rotasi atau mutase ke posisi bahkan ke lembaga lain. Kewenangan yang dimiliki pemerintah untuk mengubah komposisi pegawai dapat menjadi alat untuk menggerus independensi dan integritas dari dalam tubuh KPK.
Serangan bertubi yang diterima oleh KPK makin diperburuk oleh dua peristiwa memalukan yang mencoreng muka KPK dan dilakukan oleh dua orang pegawainya. Yaitu seorang pegawai yang dipecat karena mencuri barang bukti emas dan Seorang penyidik asal kepolisian yang bertugas di KPK diduga meminta uang kepada Wali Kota Tanjungbalai dengan janji pembebasan dari perkara (koran.tempo.co, 2021).
Terlalu naif untuk menyebut bahwa hal yang terjadi saat ini hanya sebatas upaya pelemahan. Lebih jauh, rentetan serangan kepada lembaga antirasuah tersebut pasca perubahan UU KPK merupakan upaya pembunuhan. Upaya untuk menjadikan KPK sebagai rumah kosong yang hanya menjadi monumen pemberantasan korupsi. Tanpa independensi, jiwa, dan semangat pemberantasan korupsi.
Kesadaran Menyelamatkan KPK
Langkah paling awal untuk menyelamatkan KPK sebenarnya dapat dilakukan oleh Presiden melalui penerbitan Perppu terkait dengan implementasi UU KPK. Pemahaman yang baik dari pemerintah tentang pentingnya independensi lembaga antirasuah ditambah dengan situasi internal KPK yang buruk telah dapat memenuhi ketentuan tentang hal ihwal kegentingan yang memaksa, sebagaimana yang telah ditentukan oleh konstitusi. Hal tersebut juga didukung oleh tafsir tentang ukuran objektif penerbitan Perppu yang terdapat pada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Pada putusan tersebut, MK menetapkan tentang tiga syarat yang menjadi parameter adanya “kegentingan yang memaksa”. Yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Permasalahan yang ditimbulkan akibat centang-perenangnya kelembagaan KPK dapat menjadi dasar yang kuat bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu.
Namun, hal itu sepertinya sulit dilakukan jika mempertimbangkan politik hukum pemerintah terkait arah gerakan pemberantasan korupsi. Semangat untuk memperkuat pelemahan KPK dapat dilihat sejak dilakukannya perubahan terhadap UU KPK pada akhir tahun 2019. Beberapa analisis dan masukan dari masyarakat sipil terkait daftar pasal bermasalah dalam perubahan UU KPK juga tidak dijadikan pertimbangan oleh DPR dan pemerintah dalam membahas undang-undang itu.
Harapan terakhir awalnya ditumpangkan oleh masyarakat kepada MK dalam melakukan pengujian terhadap UU KPK. Tapi apa mau dikata, palu telah diketuk dan menjadi legal position bagi UU KPK yang sebenarnya menyimpan banyak masalah. Harapan kita saat ini hanya berada di tangan lembaga yang memiliki kekuasaan legislasi, berharap agar mereka memiliki kesadaran untuk mengembalikan roh semangat pemberantasan korupsi, kembali ke KPK. Tetapi, pada akhirnya itu hanya menjadi harapan yang kosong.