Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020 di 270 daerah (Kota/Kabupaten dan Provinsi) telah usai diselenggarakan. Ada banyak hal yang tentu menjadi pelajaran politik (political lesson), baik bagi warga negara, institusi politik seperti partai politik dan penyelenggara dan pengawas Pilkada, yakni KPU dan Bawaslu.
Semua elemen yang terlibat dalam proses politik dan demokrasi elektoral (Pilkada) telah menyelesaikan tugas dan tanggung jawab mereka dengan baik. Meskipun kita tidak bisa menampik bahwa ada banyak praktik penyimpangan dalam Pilkada, seperti salah satunya politik uang. Namun, kita memiliki harapan yang sama untuk masa mendatang, bahwa, Pilkada harus bebas dari praktik politik yang simpang.
Lantas jika demikian, apakah penyelenggaraan Pilkada telah betul-betul usai? Tentu tidak. Masih banyak PR yang harus segera dituntaskan secara bersama-sama dalam rangka membangun sistem dan mekanisme Pilkada masa mendatang yang jauh lebih fair. Tentu tidak serta-merta urusan tersebut hanya diselesaikan oleh KPU, Bawaslu, partai politik, elit politik dan pemerintah.
Melainkan keterlibatan masyarakat sipil sangat diharapkan dalam rangka ikut menyelesaikan PR pilkada tahun ini. Keterlibatan masyarakat sipil berarti keterlibatan atas dasar kesadaran dan tanggung jawab dalam membangun sistem politik dan kelembagaan yang berlandaskan nilai-nilai demokratis.
Mengapa Rekonsiliasi Politik?
Pesta demokrasi elektoral di tingkat lokal (Pilkada), tentu memiliki nuansa politik yang sama dengan politik nasional (Pileg dan Pemilu). Di sana yang terjadi ialah pembelahan politik diantara masing-masing kubu. Pembelahan politik semacam itu tentu tidak bermasalah, karena secara politik, masyarakat bebas menentukan pilihan politik terhadap calon.
Di sisi lain, pembelahan politik harus di lihat sebagai proses kematangan demokrasi sekaligus ada pertarungan gagasan diantara kubu yang ada. Bagi saya, secara politik, pembelahan politik ditingkat masyarakat tidak selalu beririsan dengan ‘terpecahnya’ masyarakat kedalam ruang politik yang sulit dipersatukan kembali.
Tentu kita harus menjangkar analisis argumentasi pada persoalan yang lebih mendalam dalam melihat ‘bentuk’ rekonsiliasi yang akan digagas bersama pasca Pilkada. Hal ini akan berpengaruh pada proses penyelesaian persoalan melalui rekonsiliasi.
Hemat saya, rekonsiliasi harus tetap dibangun, apapun bentuk dan warna politik yang terjadi. Karena jika dibiarkan, yang terjadi ialah pembelahan politik terutama di masyarakat kelas bawah akan semakin kencang dari hari ke hari yang menyebabkan persoalan politik merembes ke persoalan-persoalan lain, seperti ekonomi, budaya, dan agama.
Rekonsiliasi harus menjadi prioritas yang mesti segera dilakukan. Tidak untuk rekonsiliasi ditingkat elit, melainkan rekonsiliasi masyarakat akar rumput yang tentu menjadi perhatian semua pihak. Karena jika kita berkaca pada Pilkada tahun ini, kompetisi Pilkada telah menyebabkan ada banyak sekali persoalan ditengah masyarakat akibat pembelahan politik.
Saya ambil contoh di salah satu daerah di Kabupaten Manggarai, dimana sebelum pemilihan, di media sosial (facebook) diantara kubu saling menyerang kubu lain. Bahkan akibat postingan di medsos, akhirnya berujung pada saling adu jotos (FajarNTT.com, 1 November 2020). Di sinilah dibutuhkan rekonsiliasi dari semua pihak dalam rangka membangun kembali tatanan solidaritas dan keakraban warga negara untuk mengkawal agenda kebijakan pasca Pilkada.
Pada tingkat seperti ini, rekonsiliasi tidak saja menegaskan bahwa kubu politik kembali merangkul, tetapi jauh daripada itu. Rekonsiliasi memiliki makna yang sangat mendasar, yakni penegasan posisi masyarakat sipil dalam agenda kebijakan pasca Pilkada. Karena jika rekonsiliasi tidak dilakukan, pembelahan politik semakin menyebabkan minimnya partisipasi masyarakat sipil dalam agenda kebijakan.
Dengan itu, jalan satu-satunya untuk menguatkan kembali posisi masyarakat sipil ialah mendorong mereka untuk membangun kembali solidaritas politik dalam rangka mengkawal agenda kebijakan. Di sini hemat saya, yang dibutuhkan ialah keterlibatan semua elemen, baik itu institusi politik, masyarakat sipil, KPU, Bawaslu, elit politik, dan LSM dalam rangka membangun kembali tatanan demokrasi lokal yang demokratis.
Pilihan satu-satunya ialah membangun keterlibatan masyarakat sipil terhadap posisi mereka pasca Pilkada. Karena dengan demikian kita telah membangun apa yang oleh Olle Tornquist (2005) sebagai demokratisasi subtansial. Di mana ketika aktor penting dengan konstituen rakyat menemukan bahwa cara terbaik untuk mempengaruhi masalah kepedulian bersama dalam masyarakat adalah memerangi dan membangun hak-hak serta lembaga pro-demokrasi yang signifikan, di mana warga negara mempunyai kemungkinan dan kapasitas untuk menggunakannya.
Bagi saya, dalam kondisi pasca-Pilkada, masyarakat sipil harus membangun semacam kesepakatan dan aliansi bersama untuk ikut mengkawal agenda kebijakan. Karena jika posisi masyarakat sipil tidak memiliki nilai tawar, saya pastikan dan besar kemungkinan kebijakan publik hanya dikuasi oleh kelompok-kelompok dari kalangan elit yang berwatak oligarkis.
Untuk alasan itu, rekonsiliasi politik pasca-Pilkada sangat penting dan mendesak dilakukan. Pemimpin terpilih, hemat saya, harus menyadari bahwa pasca-Pilkada tidak ada lagi sekat politik ditengah masyarakat. Di sini yang dibutuhkan ialah komitmen dan kesadaran pemimpin baru untuk merangkul semua elemen masyarakat. Bahwa dalam iklim demokrasi, pilihan politik yang berbeda dari setiap warga negara bukan menjadi alasan untuk melucuti mereka (yang kalah) melalui kebijakan.
Melainkan, demokrasi seperti kata Beetham (1999) sebagaimana dikutip oleh Torquist (2005) dicirikan dengan kualitas partisipasi, otorisasi, representasi, akuntabilitas, transparansi, tanggung jawab dan solidaritas. Demokrasi semacam inilah, hemat saya, yang harus dibangun di daerah pasca-Pilkada, tidak semata untuk demokrasi itu sendiri. Melainkan sebagai bentuk kesadaran dari setiap warga negara untuk ikut mengkonsolidasikan diri kedalam ruang publik (kebijakan).