Berbagai konflik agraria kian telah menjadi bulan-bulanan di tengah-tengah masyarakat. Baik pemberitaan media, pun yang terjadi langsung kepada masyarakat semakin tidak terbendung. Alih-alih kian hanya diisi oleh kejadian anmoral, berujung pada kekerasan (penganiayaan), tindak pidana, bahkan kejatuhan korban jiwa akibat usaha untuk mempertahankan hak atas tanah.
Umumnya masyarakat berhadapan dengan aparat keamanan atas kepentingan pengusaha pun pemerintah. Padahal, era reformasi bertautan dengan kebebasan hak rakyat atas tanah.
Sebenarnya konsep reformasi agraria telah sukses di zaman orde lama. Jika kita melihat sejahranya mulai Februari 1946 terdapat UU Nomor 13 Tahun 1946. Dalam perundangan tersebut terdapat program land reform terbatas di Banyumas.
Di sana ada desa Perdikan dengan sistem kerajaan, merdeka tanpa memberikan upeti. Sehingga elit desa disana menguasai tanah. Setengah dari kepemilikan tanah tersebut di distribusikan kepada petani, dengan perjanjian 10 persen pertama dibayar pemerintah dan 90 persen berikutnya dicicil setahun. Program tersebut sukses.
Masuk tahun 1948 program serupa kembali diterapkan dengan menghapus 40 konsensi perusahaan tebu di Solo dan Yogyakarta. Pada tahun yang sama pemerintah membentuk Panitia Agraria Yogya. Kembali tahun 1951 pemerintah pun menghidupakan Panitia Agraria Yogya yang sempat redup akibat agresi militer Belanda.
Bersama Sunaryo RUU Pokok Agraria final dan diserahkan kepada Soekarno. Tetapi, RUU tersebut diminta pengujian kepada universitas yang saat itu digondol oleh DPR dan Universitas Gadjah Mada, juga sukses.
Tahun 1966-an memasuki masa Orde Baru, sisa dari berbagai kebijakan di Orde Lama mulai ditimbun. Pengingkaran reforma agraria mulai menjamur. Hasil dari kebijakan land reform Orde Lama di bagi-bagi kepada para jenderal dimasa Orba.
Tahun 1970-an, jika masyarakat berbicara tentang agraria akan dicap komunis. Hal tersebut menjadi strategi elit untuk menutup ruang gerak tuntutan masyarakat. Kembali cita-cita pendiri bangsa tertutup awan hitam (pekat).
Era reformasi selaku mimpi besar masyarakat dengan dalih kebebasan menjadi peluang kembalinya visi founding fathers. Begitulah ambisi pendiri ketika diperhadapkan dengan usaha kemerdekaan, hal utama menjadi fokus pemerintah ialah agraria. Tanah untuk siapa? Untuk rakyat. Kala itu. Krisis ekonomi 1998-an, setelah jatuhnya Orde Baru, sedikit menyisihkan isu agraria. Karena mendongkrak ekonomi menjadi fokus utama semua. Pemerintah pun masyarakat.
Jika melihat tahun terakhir perjalanan reformasi, sepanjang 2019 terhitung sedikitnya 279 konflik agraria yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia, dengan perkiraan luasan mencapai 734 ribu hektare, serta sebaran masyarakat yang terkena dampak sekitar 109 ribu kepala keluarga.
Memang, jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada 2018 terjadi penurunan peristiwa konflik, yang pada tahun tersebut sekitar 410 peristiwa konflik, menurut data yang dihimpun oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Akan tetapi, luas wilayah dan jumlah penduduk yang terkena dampak oleh konflik agraria jauh lebih besar di tahun 2019.
Berbagai kejadian yang terhimpun menjelang tahun 2020, saat ini masyarakat dengan pengusaha pun pemerintah memang tidak terlepas dari kepentingan ekonomi. Pun bakal tentu pemerintah menginginkan investasi dari penanam modal dengan orientasi peningkatan devisa pendapatan negara.
Apalagi jika menilik persaingan ekonomi yang semakin gencar antar negara, tentunya untuk mengggait investor, segala kemudahan diberikan pemerintah. Seperti halnya ijin usaha, pendirian bangunan, reformasi birokrasi, menyampingkan AMDAL, dan sebagainya. Menjadi angin segar. Bagi investor.
Seperti halnya kasus konflik agraria di sektor infrastruktur meliputi, Bandara Kuala Namu (Sumut), PLTA Waduk Cirata (Purwakarta), Waduk Jati Gede (Sumedang), Bandara Majalengka (Jabar), Bandara Yogyakarta, PLTU Batang (Jateng), Bandara Sultan Hasanuddin (Makasar), Bandara Labuhan Bajo (NTT), Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (NTT), Bandara Dominique Edward Osok (Papua), dan banyak lagi konflik agaria atas dalih pembangunan insfrastruktur.
Belum lagi antar perusahaan dan masyarakat yang tak berkesudahan. Seperti contoh masyarakat Kawasan Danau Toba (KDT) terhadap PT. Toba Pulp Lestari. Akhir ini kembali konflik terjadi sehingga memutuskan warga adat Sihaporas, Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita, yang didakwa menganiaya pekerja perusahaan bubur kertas tersebut dengan vonis Sembilan bulan penjara (13/2).
Masyarakat sekitar sudah lama berkeluh akibat kerusakan yang timbulkan PT.TPL, mulai dari perebutan wilayah, pencemaran air bersih, bau busuk pabrik, belum lagi kerusakan yang lain. Serta berbagai konflik lain diberbagai wilayah Indonesia.
Kata kunci reforma agraria sebenarnya ialah redistribusi (penataan ulang pemilik), bukan hanya bagi-bagi sertifikat. Jika hanya bagi-bagi, lebih banyak yang tidak dapat, konflik akan berkepanjangan. Akan tetap timpang. Poin dalam mengurangi ketimpangan struktural ialah pembatasan kepemilikan tanah, serta Hak Guna Usaha (HGU) yang tidak mengeyampingkan alam dan serta melibatkan hak masyarakat.
Sejauh ini, kerangka berpikir kebijakan agraria yang developmentalistik akan memandang sumber agraria dan alam sebagai aset pembangunan. Pembangunan ini cenderung mencari keuntungan sebesar-besarnya, meski menggusur manusia dan merusak alam. Jadi, bukan tidak jarang alam membalas perlakuan rakus manusia melalui longsor, kekeringan, bencana alam lainnya, serta konflik hewan dengan manusia. Semuanya tidak bersahabat lagi.
Intinya, reforma agraria sejati mengedepankan keadilan. Kepentingan ekonominya nanti, akan mengikut setelah redistribusi final. Bukan timpang. Aparat mengayomi masyarakat. Bukan menganiaya. Berat? Memang. Semua berkeluh, negara kelautan tapi impor garam, tanah subur tapi impor pangan, dan lainnya. Kapan swasembada?
Jika semua orientasi kebijakan mengedepankan investasi, dengan mengeyampingkan dampak lingkungan (keadilan) maka pupus masa depan. Padahal, jika investasi dalih untuk perluasan lapangan kerja, itu hanya efek sementara. Karena akan dikuasi era 4.0, 5.0, dst. Sehingga, kemiskinan struktural imbasnya.
Jika memang niat pemerintah ingin reformasi agraria seperti wacana kepada masyarakat, perlunya kemauan kuat politik penguasa, data lengkap terintegrasi, resolusi konflik yang win win solution, pengakuan hak atas wilayah melalui Perda/Perpres, sertifikat kepada wilayah rentan konflik, serta elit politik yang terpisah dari bisnis.