Senin, Desember 9, 2024

Refleksi Sepak Oligarki dalam Narasi Perubahan vs Keberlanjutan

Farrel Ahmad Syakur
Farrel Ahmad Syakur
Mahasiswa S1 Manajemen dan Kebijakan Publik UGM
- Advertisement -

Tak terasa, sudah lima bulan berlalu sejak usainya carut marut dinamika pemilu pada tempo 14 Februari 2024 yang lalu. Lengkaplah sudah kontestasi Pemilu dan Pilpres 2024 kemarin sebagai batu pijakan bagi bangsa Indonesia yang menghantarkan suksesi kepemimpinan bangsa ini kepada Prabowo Subianto selaku Calon Presiden Terpilih RI Ke-8. Apabila kita beranjak menengok dan merefleksi sejenak ke belakang, kontestasi pemilu 2024 kemarin sejatinya telah menghadirkan banyak narasi-narasi penghias kampanye yang dilontarkan masing-masing pihak dan menarik untuk dikuak lebih dalam.

Dari sekian banyak narasi yang bergulir di ruang publik, terdapat dua narasi yang paling mencolok menjelang kontestasi Pilpres 2024 kemarin, yakni narasi “perubahan” dan narasi “keberlanjutan” yang saling bersebrangan.

Narasi perubahan dihadirkan oleh itikad kubu oposisi untuk melakukan upaya-upaya perubahan berbasis keadilan politik dan ekonomi terhadap berbagai persoalan pemerintahan saat ini yang dipandang bertentangan dengan cita-cita dan amanat pendiri bangsa Indonesia. Hal ini bertentangan dengan narasi “keberlanjutan” yang dibangun oleh kubu lingkupan petahana yang menebar narasi perlunya keberlanjutan dalam kebijakan dan pembangunan yang dimulai rezim saat ini demi sinergitas kemajuan menuju Indonesia Emas 2045. Nahasnya, kedua narasi tersebut seringkali diterima mentah-mentah oleh masyarakat tanpa berusaha untuk melihat konteks konfigurasi kepentingan dari elit-elit oligarki di baliknya.

Catatan Riwayat Oligarki di Gelanggang Politik Indonesia

Oligarki, bohir, ataupun kartel politik merupakan bagian yang tak terlepaskan dalam dinamika politik dan elektoral di Indonesia. Bila ditelusuri secara teoritis, Bourguignon & Verdier (2000) dalam artikel “Oligarchy, democracy, inequality and growth” menyebutkan oligarki sebagai sekumpulan kelompok individu yang memiliki kekuasaan material atas properti kekayaan dan berupaya untuk meraih pengaruh publik melalui media kontestasi elektoral.

Dalam konteks Indonesia, eksistensi oligarki-kartelian tersebutlah yang telah menjadi biang penyakit kronis dalam tubuh politik bangsa Indonesia dan nantinya melahirkan rentetan problematika patronase, korupsi kolusi dan nepotisme (KKN),hingga politik uang yang telah menjangkiti iklim politik kita selama ini.

Eksistensi dan ancaman oligarki tersebut sejatinya bukanlah momok kemarin sore, kehadirannya secara malu-malu telah terlembaga dan kekuasaannya telah tersebar di segenap penjuru nusa. Menurut Widjaja (2022) dalam artikelnya “Evolusi Oligarki di Indonesia”, riwayat kisah oligarki ini bermula sedari masa orde baru dimana hajat neoliberalisasi dari rezim otoriter orba berdampak pada pemberian ruang bagi elit-elit oligarki dan teknokrat untuk membangun jejaring elit dan pengaruh atas nama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.

Dalam perkembangannya kisah oligarki ini berlanjut hingga masa reformasi, kejatuhan Rezim Suharto yang diharapkan membawa angin segar demokrasi justru berdampak pada reorganisasi kekuasaan elit yang terinkubasi pada rezim orba menjadi model yang dirumuskan Fukuoka (2013) sebagai wujud “demokrasi oligarkis” yang terdesentralisasi dan sarat akan politik uang, jaringan patronase (bohir) politik, hingga partai kartel yang menguasai kekayaan danmedia massa.

Sepak Oligarki pada Pilpres 2024

Apabila ditarik lebih jauh pada konteks Pilpres 2024, para oligarki tadi juga tak ketinggalan untuk turut serta dalam kontestasi besar ini. Hal tersebut terlihat jelas dari line-up koalisi pengusung paslon yang kesemuanya mencatut nama elit penguasa kapital dan media.

Sebut saja, Timnas Amin milik Paslon 01 yang diusung oleh Surya Paloh; Tim Kampanye Nasional (TKN) Paslon 02 yang membawa nama kawakan Aburizal Bakrie dan Hashim Djojohadikusumo; serta Tim Pemenangan Nasional (TPN) Paslon 03 dengan Hary Tanoesoedibjo dan Oesman Sapta Odang di barisan pengusungnya.

Tentunya sejumlah nama besar tersebut hanyalah bagian kecil dari deretan oligark-oligark lain yang bermain di balik layar dan jarang tersorot radar, sebagaimana temuan riset Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang berhasil menangkap lanskap jejaring sejumlah 32 elit oligarki sektor tambangdan energi yang tersebar di seluruh batang tubuh koalisi paslon Pilpres 2024.

- Advertisement -

Turun gunungnya oligarki pada Pilpres 2024 ini tentunya untuk mengamankan satu kepentingan mendasar dari para oligarki yang berhasil ditangkap oleh Winters (2013) dalam kajiannya “Oligarchy and Democracy in Indonesia”, tak lain tak bukan ialah upaya wealth defense/pertahanan atas kekayaan. Urgensi kepentingan tersebut diperkuat dengan konteks situasi Pilpres 2024 kemarin sebagai masa persimpangan strategis dari kepemimpinan Presiden Jokowi yang meninggalkan banyak warisan-warisan (kue proyek) kebijakan yang belum tuntas dirampungkan.

Di sisi yang lain, konfigurasi kepentingan oligarki terlihat pula pada hubungan patron-klien yang menyandera paslon oposisi apabila mereka nantinya memenangkan kontestasi, sebagaimana ilustrasinya dapat dilihat dari temuan Muhtadi (2015) terkait kontrol Surya Paloh (yang kemudian menjadi pengusung kubu oposisi 01 pada kontestasi Pilpres kemarin) atas susunan kabinet dan beberapa kesepakatan perdagangan pada masa-masa awal kepresidenan Jokowi. Dalam konteks ini, nyatalah bahwa narasi perubahan maupun narasi keberlanjutan menjadi sebuah kontestasi kepentingan antara pelanggengan wealth defense dari kaum elit yang sedang berada di sisi kekuasaan dengan kepentingan calon elit-elit penguasa baru yang saat ini berada di sisi yang berseberangan.

Akhir Kata: Semua Sama Saja

Pada akhirnya semua kubu tak lebih kurang bercorak serupa,bualan-bualan narasi yang digaungkan tak lain dari permainan slogan untuk menggaet suara dukungan. Pada akhirnya, keseluruhan sandiwara elit dan oligarki ini hanyalah bagian dari intrik populisme, sebuah strategi untuk mengangkat narasi-narasi agresif (bernada) keberpihakan atas permasalahan yang dialami rakyat/populi dalam rangka memperoleh dukungan dan simpati.

Dan pada akhirnya refleksi kita mencapai konklusi, bahwa semua kubu pantas dituntut remedi atas menjadi bagian dari permainan politik pragmatis dalam percaturan iklim demokrasi Indonesia yang senantiasa berhikmat kepada kepentingan oligarki.

Farrel Ahmad Syakur
Farrel Ahmad Syakur
Mahasiswa S1 Manajemen dan Kebijakan Publik UGM
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.