Rabu, Oktober 9, 2024

Teori Living Organism dan Kecendrungan Mencipta Oligarki

Gratio Ignatius Sani Beribe
Gratio Ignatius Sani Beribe
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang.

Sistem pemerntahan merupakan hal pokok yang harus dimiliki sebuah bangsa. Hal ini dikarenakan sistem pemerintahan mempunyai fungsi untuk mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara demi terwujudnya tujuan bersama dari negara tersebut (Rudy, Yani, Ujud, 2018: 6). Lembaga-lembaga negara yang dimaksud lebih mengarah kepada lembaga tinggi negara yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Konsepsi sistem pemerintahan sebenarnya tak terlepas dari pemikiran Montesqieu tentang pemisahan keuasaan dan gagasan Jhon Lock tentang pembagian kekuasaan. Inti dari kedua gagasan ini adalah agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan yang akan menimbulkan kesewenang-wenangan pemerintah dan berunjung pada tirani (Ahmad Yani, 2018: 6).

Sistem pemerintahan yang digunakan Indonesia sekarang adalah presidensial dengan pengawasan oleh DPR dan DPD yang bersatu membentuk MPR. Wujud dari sistem pemerintahan Indonesia yang menggunakan sistem presidensial membuat kecendrungan eksekutif pada pimpinan pusat yaitu Presiden dan di tingkat daerah Gubernur atau Bupati terjebak dalam memandang pemerintahan menggunakan teori living organism. 

Para pemimpin eksekutif menganggap bahwa pemerintahan yang mereka jalankan mendapatkan kekuasaan penuh dari legitimasi dan legalitas yang secara otomatis didapatkan ketika menjabat di pucuk kepemimpinan pemerintahan. Oleh karena itu, konsentrasi dan kerja keras yang mereka berikan tidak terjadi pada saat menjalankan pemerintahan, tetapi hanya terjadi pada saat pemilihan dan kampanye saja. Mereka berusaha keras membuat janji-janji yang manis demi meyakinkan masyarakat untuk memilih mereka, tanpa peduli bisa mewujudkan janji-janji tersebut atau tidak.

Dampak dari hal tersebut adalah pemerintah tidak menjalankan fungsi dan tugasnya untuk membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Kekuasaan dan wewenang yang didapatkanya secara legal dari legitimasi masyarakat lewat pemilihan, tidak diikuti dengan rasa tanggung jawab untuk memenuhi peran dan kewajiban pemerintah secara bertanggung jawab.

Acapkali kekuasaan yang didapatkan para kepala pemerintahan hanya digunakan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan golongannya. Padahal, pemerintahan tersebut dibangun oleh proses demokrasi, yang berarti pemerintahan harus dibangun untuk semua orang dan bukan kelompok tertentu. Maka benar seperti yang disamapikan oleh Aristoteles bahwa pemeritahan oligarki bisa memerintah secara demokratis dan pemerintahan demokrasi bisa memerintah secara oligarkis. Pergantian kepala pemerintahan yang telah diatur UU secara demokratis tidak bisa membawa jaminan bahwa rakyat bisa terbebas dari oligarki pemerintahan, tetapi hanya berganti dari satu oligarki ke olgarki pemerintahan lainnya.

Pemerintahan yang memerintah secara oligarkis berdampak juga pada kinerja dan arah gerak birokrasi sebagai alat pemerintah dalam mejalankan pemerintahannya. Birokrasi menurut Max Weber adalah sentra penyelesaian urusan masyarakat, tetapi legitimasinya dilimpahkan dari sumber otoritas di atsanya, maka menyebabkan birokrasi harus tunduk kepada kekuasaan sesuai hierarki. Birokrasi tidak bisa netral tetapi harus memihak demi mempertahankan eksistensinya. Seperti yang dipaparkan oleh aliran birokrasi pluralisme bahwa agar bisa bertahan birokrasi harus menggalang dukungan dari legislatif dan partai politik karena tak ada satu kekuasaan yang bisa menggerakan semua, tetapi saling menghambat dan mengimbangi. Oleh karena itu, birokrasi harus memihak secara politis demi memperkuat posisinya.

Kondisi Birokrasi yang tidak bisa netral dan ketika diabrak dengan kondisi pemerintahan yang bersifat oligarkis, maka birokrasi dijadikan pelayan-pelayan oligarki dan bukannya menjadi pelayan bagi masyarakat. Hal ini bisa kita lihat dari kondisi pelayanan birokrasi saat ini berbelit-belit dan marak akan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Kasus korupsi dana bantuan sosial untuk Covid-19 memperlihatkan kebobrokan mental pejabat dan birokrat kita.

Menteri Sosial sebagai pejabat pemerintahan dan PPK Bantuan sosial sebagai pimpinan birokrat bekerja sama memotong hak-hak rakyat untuk memperoleh bantuan sosial yang selakyaknya mereka dapatkan. Kebijakan pemerintah yang suka berubah-ubah dalam menangani pandemi Covid-19 membuat birokrat di level bawah atau Street-level bureucracy sebagai aparat yang bersentuhan langsung dengan masyarakat menjadi tidak optimal dalam menjalankan kinerjanya.

Birokrasi menurut Hegel menjadi mediator berbagai kepentingan Individu yng ada dalam masyarakt tidak dapat mejalankan fungsinya karena ia harus tunduk kepada hierarki yang labil dalam mengambil kkebijakan. Juga aadanya perbedaan kebijakan antara pemerintahan daerah satu dan yang lain serta berbeda juga dengan kebijakan pemerintah pusat menyebabkan birokrat menjadi kebingungan dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat. Alih-alih mau jadi mediator kepentingan masyarakt, memediasi perbedaan kebijakan pemerintah saja masih belum bisa dilakukan.

Solusi yang dapat ditawarkan untuk menyelesaikan permasalan di atas adalah dengan mencegah pandangan teori pemeritahan living organism menjadi marak di Indonesia. Cara pandang pemerintahan harus berubah dari pendekatan living organism menjadi pendekatan fugsionalis. Legalitas dan legitimasi bukan merupakan input dan secara otomatis berada dalam hierarki, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan dengan memberikan kinerja yang baik untuk mensejahterakan masyarakat.

Input yang seharusnya didapatkan seorang pemimpin pemerintahan adalah tanggung jawab terhadap janji-janji dan komitmen untuk mewujudkannya. Sedangkan legitimasi dan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah merupakan outcame dari terwijudnya janji-janji tersebut. Oleh karena itu, pemerintah merupakan proses memenuji janji-janji pada saat kampanye dan bukan merupakan proses pengunaan kekuasaan dan wewenang untuk memenuhi kepentingan pribadi dan golongan.

Chester I. Bernad menyampaikan konsep baru dari wewenang yaitu kewenangan untuk memerintah bukan merupakan sesuatu yang mutlak harus ditaati, tetapi merupakan kompromi antara yang diperintah dan yang memerintah. Kekuasaan dan kewenangan dapat dijalankan jika mempunyai legitimasi, tetapi jika lewat cara pandang fungsionalis maka legitimasi bisa didapatkan dengan memenuhi janji-janji kampanye. Dengan ini maka pemerintah tak bisa sewenang-wenang dalam menggunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk memperoleh keuntungan pribadi dan kelompok. Sehingga praktik pemerintahan yang membentuk oligarki dapat dihindanrkan.

Pemerintah yang berdiri berdasarkan cara pandang fungsionalis akan menggalkan terbentuknya oligarki dan secara otomatis memperbaiki birokrasi. Pemerintahan yang ialah proses menepati janji demi mendapatkan legitimasi dan keercayaan masyarakat, akan mendorong birokratnya memperbaiki diri demi membantu mewujudkan hal tersebut.

Birokrasi akan akan berorientasi pada prestasi kinerja melayani masyarakat untuk mempertahankan esistensinya, bukanya menjadi pelayan bagi oligarki bentukan pemerintah. Dengan begini, agenda kesejahteraan masyarakat dapat berjalan dengan baik dengan adanya pemerintahan dan birokrasi yang berorientasi pada prestasi kinerja dan bersudut pandang fungsionalis.

Gratio Ignatius Sani Beribe
Gratio Ignatius Sani Beribe
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.