Kematian George Floyd menjadi tragedi tersendiri di tengah kacaunya situasi masyarakat dunia di tahun 2020 ini. “Aku tak bisa bernapas” menjadi ungkapan simbolik untuk ketidakberdayaan di bawah berbagai bentuk penindasan.
Sekarang kita belajar bahwa sesak napas tak hanya bisa disebabkan oleh infeksi virus corona saja, tapi juga oleh intimidasi rasialis. Peristiwa itu berimplikasi pada terjadinya unjuk rasa dan penjarahan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat.
Solidaritas untuk orang-orang kulit hitam tak mengenal batas geografis. Negara-negara lain ikut bersimpati dan turun ke jalan. Aksi protes pun terjadi di Jerman, Perancis, Belanda, hingga Australia, bahkan juga di Indonesia karena Papua dianggap masih berada di bawah dominasi politik NKRI. Victor Yeimo, juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB), bahkan pernah menyatakan bahwa Papua berada dalam situasi “dijajah Indonesia.”
Kemarahan dari gerakan solidaritas tak hanya berhenti dalam bentuk turun ke jalan dan, di Indonesia, diskusi virtual untuk membahas pentingnya isu Papua melalui tagar #PapuanLivesMatter saja. Di beberapa negara bagian di AS, patung-patung Christopher Columbus dirubuhkan, dipenggal, dan dirusak.
Kenapa patung Columbus menjadi target kemarahan massa? Itu karena eksplorasinya ke Dunia Baru enam abad silam menjadi cikal bakal penderitaan panjang orang-orang berkulit hitam hari ini. Dengan kata lain, pendemo Black Lives Matter secara simbolis berusaha meruntuhkan akar dari segala permasalahan rasisme saat ini, yakni ekspedisi sang laksamana yang membuka pintu bagi pengiriman budak berkulit hitam dari Afrika ke tanah Amerika di penghujung Abad Pertengahan.
Rasisme yang kita saksikan hari ini berawal dari tahun 1492. Atas izin Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dari Monarki Katolik Portugal dan Spanyol, Columbus melakukan eksplorasi ke belahan timur Bumi. Ia kemudian berlayar dengan tujuan Jepang. Alih-alih menginjakkan kaki di Negeri Sakura, ia malah mencapai benua Amerika. “Penemuaan” Amerika yang tak sengaja ini kemudian dicatat oleh sejarah sebagai titik awal dari eksplorasi, eksploitasi, dan penjajahan di Dunia Baru hingga abad-abad berikutnya.
Pendatang Spanyol menyingkirkan penduduk lokal dengan tujuan untuk mengeruk emas. Suku Taino kehilangan tanah untuk bercocok tanam yang telah menjadi sumber kehidupan selama berabad-abad. Mereka kemudian mulai kelaparan dan terpapar penyakit-penyakit yang dibawa pendatang Eropa seperti cacar dan campak, disertai peperangan dan diberlakukannya kerja paksa yang ilegal. Akibat kekacauan ini, populasi suku Taino berada di ambang kepunahan dalam kurun waktu 30 tahun saja sejak Columbus pertama kali menginjakkan kaki di Dunia Baru.
Di tahun 1495, Columbus kembali ke Spanyol, membawa sejumlah 550 “budak terbaik” ke dalam kapal untuk diperdagangkan di Sevilla, Spanyol, setelah menyeleksi sebanyak 1.500 budak. Dari ratusan budak itu, tak semuanya dipekerjakan di bawah kebijakan kerja paksa.
Sejarawan asal University of California Davis, Andrés Reséndez, menyebut bahwa perempuan dewasa secara spesifik dijadikan budak seks. Dalam jual-beli budak, perempuan dihargai 50-60% lebih tinggi dibanding pria karena budak perempuan bisa bereproduksi dan anaknya kelak bisa dijadikan budak juga sehingga jumlah budak pada akhirnya berlipat ganda. Reséndez menilai inilah cikal bakal dari perdagangan manusia dan seks di dunia modern yang masih kita saksikan pula hari ini.
Orang kulit hitam Afrika, untuk pertama kalinya, baru diangkut oleh Spanyol ke Amerika pada tahun 1502. Pengiriman budak dari Afrika dengan jumlah terbesar terjadi di tahun 1517. Sejarawan Reséndez mencatat bahwa sekiranya dalam sejarah, 12,5 juta orang Afrika dikirim sebagai budak ke Amerika. Walau begitu, bukan hanya orang kulit hitam saja yang menjadi budak. Umat Muslim dan Yahudi pun menjadi korbannya, selain tentu saja penduduk asli di Amerika sendiri.
Mengapa umat Muslim dan Yahudi dijadikan budak juga? Tak ada laporan pasti soal ini. Akan tetapi, kemungkinan besar ini adalah salah satu imbas dari Inkuisisi Spanyol yang terjadi beberapa tahun sebelum Columbus pertama kali berlayar ke Amerika, tepatnya pada tahun 1478. Inkuisisi adalah sebuah kebijakan kerajaan Katolik Spanyol yang hendak menumpas heresy atau kesesatan. Umat Muslim dan Yahudi yang sudah hidup damai selama kurang lebih tujuh abad di Andalusia, Spanyol, dianggap sesat. Dua kelompok umat ini akhirnya dibantai atau harus melarikan diri apabila menolak untuk memeluk Kristen.
Kebijakan yang sama di tanah koloni juga diberlakukan hampir dua abad kemudian, tepatnya tahun 1682 ketika budak-budak Afrika tiba pertama kali di Virginia. Bagi penguasa Spanyol di Dunia Baru, orang-orang Afrika yang beragama Islam, orang-orang Yahudi, suku Indian, bahkan orang-orang Protestan, atau siapapun yang tak memiliki ikatan keturunan dengan Kristenitas ortodoks secara otomatis dianggap sebagai budak.
Sebetulnya, awal mula rasisme bukan dimulai oleh praktik perbudakan, melainkan diinisiasi oleh ideologi rasialis Katolik saat itu yang menganggap inferior siapapun di luar ajaran Kristen. Istilah “raza” yang berarti “ras”―atau “race” dalam bahasa Inggris―pertama kali masuk ke dalam kosa kata bahasa Spanyol di abad ke-16, berasal dari kata bahasa Italia “razza” yang berarti “keturunan anjing dan kuda”. Di Spanyol istilah tersebut diadopsi untuk mendeskripsikan umat Muslim dan Yahudi yang dianggap terpisah dan inferior di mata Kristen.
Eksplorasi dan eksploitasi ke Dunia Baru yang dilakukan Spanyol ditiru oleh negara adidaya Eropa lainnya di awal abad 17, hanya saja kali ini bentuk eksploitasinya bersifat kapitalistik. Britania Raya membentuk koloni di Virginia pada tahun 1606 dengan tujuan untuk “mengajak kafir dan manusia tak beradab menuju peradaban” sekaligus mendirikan The Virginia Company. Sejarah juga mencatat hal serupa terjadi di Indonesia. Tahun 1602 menjadi penanda awal dari penderitaan Nusantara di bawah dominasi VOC selama tiga setengah abad kemudian.
Perbudakan kulit hitam di daerah koloni baru dihapus di abad 19. Britania Raya baru mengakhiri perbudakan pada tahun 1883 dan pemerintahannya memberi kompensasi finansial yang ditujukan kepada para bekas budak. Terdapat fakta unik mengenai hal ini: Britania Raya baru selesai memberi seluruh kompensasi kepada para budak di tahun 2015; dan berita ini baru diketahui publik di tahun 2018.
Perbudakan orang kulit hitam memang telah tiada dipandang dari sudut pandang legalitas. Akan tetapi, diskriminasi sosial dan budaya terhadap orang kulit hitam masih begitu nampak, bahkan di Indonesia sekalipun. Supremasi kulit putih dan prinsip-prinsip kolonialisme yang mendominasi bangsa kulit hitam dan masyarakat Dunia Ketiga sejatinya belum benar-benar tercerabut.
Ketika melirik lagi sejarah ke belakang, bukankah terdengar lucu sekaligus menggetirkan bahwa penderitaan bangsa kulit hitam yang kita saksikan hari ini berawal dari ketidaksengajaan Columbus menemukan Benua Amerika di tahun 1942? Hari-hari ini, “gak sengaja” memang terdengar menggelikan.