Bulan Ramadhan tahun ini menjadi pengalaman spesial bagi saya karena untuk pertama kali saya berpuasa di negeri Ratu Elizabeth alias Inggris. Berpuasa selama delapan belas jam di musim panas bagi saya tentu merupakan tantangan tersendiri. Namun bukan pengalaman dan tips-tips agar kuat berpuasa selama itu di musim panas yang saya ingin bagi, tapi refleksi ringkas tentang pergulatan Muslim Inggris yang sedang menjalankan ibadah puasa di tengah iklim politik yang tidak terlalu menggembirakan pasca orkestrasi serangan terorisme yang mengatasnamakan Islam terjadi di tanah Britania raya.
Setidaknya dalam tiga bulan terakhir, Inggris diguncang oleh tiga serangan terorisme yang memakan puluhan korban jiwa yakni serangan pada parlemen Inggris Westminster, bom bunuh diri di tengah konser di Manchester Arena, dan terakhir serangan di London Bridge. Tiga serangan teroris tersebut terjadi menjelang dan selama berlangsungnya pemilihan umum di Inggris yang baru saja digelar. Tak pelak isu keamanan dan terorisme menjadi salah satu tajuk utama perdebatan publik di Inggris.
Seperti pada berbagai peristiwa sebelumnya, peristiwa terorisme hampir selalu akan diikuti oleh peningkatan sentimen dan serangan anti-Muslim (Islamophobia) dan kejahatan kebencian (hate crimes). Tren meningkatnya sentimen anti-Muslim dalam berbagai bentuk seperti penyerangan masjid, ujaran kebencian, dan gangguan baik fisik maupun Online telah banyak diutarakan oleh berbagai asosiasi Muslim Inggris seperti the Muslim Council of Britain, Muslim Engagement and Development (MEND), dan sejumlah komunitas dan masjid lokal.
Sering kali sentimen anti-Islam ini jalin berkelindan dengan bentuk-bentuk rasisme yang subtle seperti serangan terhadap warga keturunan yang berasal dari Timur Tengah dan Afrika Utara. Terakhir, baru saja sebuah Van (mobil pengangkut barang) sengaja menabrakkan diri ke kerumunan warga yang baru saja menunaikan ibadah sholat tarawih di Finsbury Park Mosque London (19/06/2017).
Satu korban tewas dan belasan orang menderita luka parah dilarikan di rumah sakit. Insiden ini merupakan tragedi paling serius yang menimpa komunitas Muslim dalam beberapa tahun terakhir di Inggris. Tak mengherankan PM Inggris, Theresa May, langsung mengutuk aksi yang disebutnya dilatarbelakangi Islamophobia tersebut. Kejadian ini secara luas dikecam oleh berbagai kalangan lintas spectrum politik di Inggris.
Sejatinya, kejahatan kebencian dan segala bentuk terorisme tidak hanya bertentangan dengan ajaran berbagai agama, namun juga bertentangan dengan nilai dan visi masyarakat Inggris yang menjunjung tinggi multikulturalisme dan toleransi yang menjamin kesetaraan antar-sesama warga negara tanpa mengenal etnis, agama, dan identitas lainnya. Selain itu, ‘serangan balik’ kepada komunitas Muslim dalam bentuk Islamophobia dan ‘terorisme tandingan’ juga sesungguhnya salah alamat.
Mayoritas Muslim Inggris yang berjumlah kurang lebih tiga juta jiwa adalah masyarakat yang menolak keras segala bentuk terorisme, hidup berdampingan dengan berbagai komunitas lainnya dengan damai, dan aktif berkiprah memberi sumbangsih pada komunitas lokal dan kehidupan publik.
Dalam amatan saya, sepanjang bulan suci Ramadhan saja saya menyaksikan betapa komunitas Muslim di Inggris bersungguh-sungguh menebarkan pesan perdamaian dan toleransi sembari aktif mengecam berbagai aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam. Selama Ramadhan berbagai acara buka bersama (iftar) lintas iman digelar berbagai komunitas Muslim di Inggris.
Di London misalkan, setiap hari rutin diselenggarakan acara berbuka puasa lintas iman yang bertajuk ‘Ramadhan Tent Project’. Event yang diinisiasi oleh mahasiswa School of Oriental and Africa Studies (SOAS) London sejak tahun 2011 ini melibatkan berbagai kalangan lintas negara dan lintas iman mulai dari kepanitiaannya, pengelolaan menu makanannya, hingga penyusunan acara yang salah satunya adalah dialog lintas iman.
Acara yang didukung oleh berbagai kalangan ini juga mengundang tuna wisma (homeless) yang banyak bertebaran di kota-kota besar di Inggris. Tak hanya sampai di situ, Wali Kota London yang juga merupakan Muslim keturunan Pakistan, Sadiq Khan, hadir dalam acara buka bersama lintas iman di Gereja Katholik Kardinal Vincent Nichols di jantung ibu kota Inggris.
Saya sendiri juga berkesempatan merasakan momen kebersamaan ketika berbuka puasa bersama dengan komunitas lokal Muslim di kota Essex, tempat saya menimba ilmu. Menariknya, beberapa kali acara buka bersama juga mengundang teman-teman mahasiswa dan komunitas lokal non-Muslim. Mereka antusias berbaur bersama kami untuk menyantap hidangan masakan nasi biryani dan segala macam menu khas jazirah Arabia.
Semangat inklusivitas ini melengkapi aksi-aksi solidaritas dan simpatik masyarakat Inggris di berbagai kota dan dari berbagai kalangan yang menolak tunduk pada narasi ketakutan dan perpecahan yang diusung pelaku teror sekaligus menyerukan semangat kebersamaan dalam satu komunitas. Jika mayoritas masyarakat Muslim hidup berdampingan secara damai dalam komunitas majemuk di Inggris, lantas dari manakah para pelaku terorisme yang mengatasnamakan Islam ini berasal?
Dalam hal ini penting rasanya menyimak analisis sarjana Prancis yang bertahun-tahun menstudi dinamika masyarakat Islam di Eropa yakni Oliver Roy. Dalam bukunya yang terbaru berjudul ‘Jihad and Death: the Global Appeal of Islamic State’ (2016), Roy melakukan penelitian mendalam terhadap profil berbagai pelaku terorisme yang terjadi di Eropa sejak akhir tahun 1990an hingga tahun 2016. Dia berkesimpulan bahwa sebagian besar pelaku terorisme adalah para ‘nihilis’ yang mayoritas adalah pemuda yang teralienasi dari lingkungan sekitar, memiliki riwayat kriminalitas, dan terjerat lingkaran kekerasan dalam subkultur pemuda.
Karakteristik lain yang menarik adalah mereka bukan merupakan Muslim yang taat, sebagian baru berpindah agama Islam, dan tergolong ‘born again Muslim’. Jika kita mengikuti konklusi Roy, maka menjadi terang benderang bahwa persoalan terorisme yang menghantui negara-negara di Eropa lebih terkait dengan persoalan sosial, lingkaran kekerasan dalam sub-kultur pemuda, dan krisis identitas daripada melulu persoalan pemahaman keagamaan.
Dengan atau tanpa terorisme komunitas Muslim akan terus mewarnai kehidupan pubik dalam masyarakat Inggris yang semakin plural. Gelombang anti-imigran yang dikhawatirkan banyak kalangan akan menguat pasca-Brexit nyatanya tak membuat mayoritas warga Inggris mendadak berpikiran sempit dan tertutup. Justru yang terjadi adalah bulan Ramadhan mengajarkan spirit solidaritas sosial, kebersamaan, dan penundukan diri yang menjelma dalam kerja-kerja komunitas Muslim bersama komunitas-komunitas lainnya di Inggris dalam menebarkan pesan perdamaian, persaudaraan, dan cinta kasih pada sesama.