Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau eksotis di ujung timur Indonesia. Ia adalah simbol megabiodiversitas dunia, rumah bagi lebih dari 75% spesies karang yang dikenal dan ratusan spesies ikan yang hanya dapat ditemukan di wilayah ini. Namun, di balik lanskap surgawi itu, tengah berlangsung tarik ulur kepentingan antara perlindungan lingkungan dan hasrat eksploitasi sumber daya alam. Tambang nikel kini menjadi ancaman nyata bagi masa depan konservasi Raja Ampat.
Dalam beberapa tahun terakhir, industri tambang nikel mengalami lonjakan permintaan global seiring meningkatnya produksi kendaraan listrik. Indonesia, sebagai salah satu produsen nikel terbesar dunia, tidak tinggal diam. Kabupaten Raja Ampat, yang sebagian besar wilayahnya adalah kawasan konservasi dan cagar biosfer, justru menjadi incaran baru. Ironisnya, potensi nikel di daerah seperti Waigeo dan sekitarnya dijadikan dalih untuk membuka ruang tambang di daerah yang seharusnya dilindungi secara hukum dan ekologis.
Berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) hingga 2023, terdapat lebih dari 100 izin usaha pertambangan (IUP) yang tersebar di Papua Barat, termasuk beberapa di wilayah Raja Ampat. Meskipun beberapa di antaranya telah dicabut, tekanan terhadap ruang hidup tetap terasa oleh masyarakat adat.
Konflik ini tidak hanya menjadi persoalan negara dan korporasi, tetapi juga konflik identitas dan kedaulatan masyarakat adat. Suku Maya dan komunitas pesisir lainnya telah hidup harmonis dengan laut dan hutan selama ratusan tahun. Mereka menjaga alam bukan karena regulasi, tetapi karena nilai budaya yang menempatkan alam sebagai bagian dari kehidupan.
Namun, ketika perusahaan tambang masuk dengan janji infrastruktur dan kesejahteraan, sebagian masyarakat gamang. Tawaran tersebut seringkali menjadi pedang bermata dua: menciptakan ketergantungan ekonomi jangka pendek, tapi menghancurkan tatanan ekologis dan sosial jangka panjang. Dalam banyak kasus, masyarakat yang menolak tambang justru dikriminalisasi atau dimarjinalkan oleh kebijakan.
“Kami bukan menolak pembangunan. Tapi kami tidak bisa membiarkan tanah dan laut kami hancur. Kami hidup dari alam, bukan dari janji-janji tambang,” kata Yan Piet Mayor, tokoh adat Maya di Waigeo, seperti dikutip dalam laporan WALHI Papua Barat (2022). Pernyataan ini mencerminkan kegelisahan kolektif masyarakat adat terhadap intervensi industri yang mengancam keberlanjutan hidup mereka.
Tidak hanya itu, sejumlah laporan WALHI dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat adanya intimidasi dan upaya kriminalisasi terhadap warga yang menolak tambang di beberapa wilayah Papua Barat, termasuk pemanggilan aparat terhadap tokoh adat atau pelabelan mereka sebagai penghambat pembangunan. Ketegangan horizontal juga mulai muncul di beberapa kampung, terutama antara kelompok yang menerima kehadiran investor dan mereka yang mempertahankan prinsip adat. Negara pun tampak absen di tengah konflik ini, membiarkan masyarakat berhadapan sendiri dengan tekanan industri yang sarat kepentingan ekonomi-politik.
Raja Ampat secara resmi adalah Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan Cagar Biosfer UNESCO sejak 2019. Namun, status ini tidak otomatis menjamin perlindungan absolut. Implementasi kebijakan konservasi di Indonesia masih lemah dari sisi pengawasan, pendanaan, dan keterlibatan masyarakat lokal.
Misalnya, dalam kasus PT. ASI Pudjiastuti Marine Product yang pernah diberi izin menangkap lobster di sekitar Raja Ampat, kita melihat bagaimana industri dengan kepentingan ekonomi bisa diberi ruang meski bertentangan dengan semangat konservasi. Hal yang sama berisiko terjadi pada sektor pertambangan jika tidak ada political will yang tegas dari pemerintah pusat dan daerah.
Konflik konservasi dan tambang di Raja Ampat mencerminkan kegagalan tata kelola lingkungan secara sistemik. Pemerintah kerap menggunakan narasi “pembangunan berkelanjutan”, namun dalam praktiknya sering kali abai terhadap prinsip keberlanjutan itu sendiri. Alih-alih menyelesaikan konflik, pemerintah justru memperpanjangnya dengan mengizinkan tumpang tindih izin dan menutup mata terhadap aspirasi warga lokal.
Padahal, jika Indonesia benar-benar ingin menjaga posisinya di panggung global sebagai negara maritim dan pemimpin perubahan iklim, maka Raja Ampat seharusnya diperlakukan sebagai zona suci konservasi, bukan ladang eksploitasi.
Menjaga Raja Ampat bukan hanya soal menyelamatkan terumbu karang atau spesies langka. Ini tentang mempertahankan masa depan Indonesia sebagai bangsa yang mampu merawat warisan alamnya. Jika tambang nikel dibiarkan masuk ke kawasan ini, maka kita tengah menggadaikan integritas ekologis demi keuntungan sesaat.
Konflik antara konservasi dan tambang di Raja Ampat harus ditangani dengan keberpihakan yang jelas: kepada lingkungan, kepada masyarakat adat, dan kepada generasi masa depan. Surga tak boleh dikorbankan atas nama pertumbuhan ekonomi yang semu. Dalam konflik antara tambang dan konservasi, tidak ada ruang untuk abu-abu, hanya keberpihakan yang jujur atau kepura-puraan yang fatal. Raja Ampat tidak butuh kompromi; ia butuh keberanian untuk berkata cukup.
Referensi:
WALHI Papua Barat. (2022). Tambang Nikel dan Ancaman Terhadap Kedaulatan Masyarakat Adat di Raja Ampat. Diperoleh dari: https://www.walhi.or.id
UNESCO. (2019). Raja Ampat Biosphere Reserve, Indonesia. Diakses dari: https://en.unesco.org/biosphere/aspac/raja-ampat
JATAM (Jaringan Advokasi Tambang). (2023). Peta Sebaran Izin Usaha Pertambangan di Papua Barat. Diperoleh dari: https://www.jatam.org