Kamis, April 25, 2024

Quo Vadis RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Beni Harmoni Harefa
Beni Harmoni Harefa
Dosen Hukum Pidana FH UPN Veteran Jakarta

Pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang pada beberapa bulan lalu ramai diperbincangkan, kini belum jelas arahnya. Sebagian pihak beranggapan RUU PKS memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual, namun tidak sedikit yang menolak karena dianggap RUU PKS pro terhadap perzinahan, lesbian gay biseksual dan transgender (LGBT) dan aborsi.

Alasan lain RUU PKS ditolak, karena dianggap beberapa hal yang diatur dalam RUU PKS telah diakomodir dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).

Guna menghindari distorsi informasi, maka tulisan ini bermaksud mengelaborasi RUU PKS secara substansi serta dibandingkan dengan RUU KUHP yang statusnya sedang ditunda pengesahannya. Akankan RUU PKS disahkan menjadi UU?

Proses Panjang RUU PKS

RUU PKS ini sebenarnya sudah diusulkan sejak tahun 2014 oleh Komnas Perempuan bersama-sama dengan organisasi masyarakat sipil. Hal ini berawal dari semakin meningkatnya kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan tahun 2018 bahwa jumlah kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pada tahun 2017 meningkat sebesar 74% dibanding tahun 2016.

Kekerasan seksual yang dialami perempuan dan anak ini disebabkan salah satunya karena keterbatasan pengaturan mengenai kekerasan seksual yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ada saat ini serta keterbatasan dalam hal proses peradilannya, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Keterbatasan yang dimaksud terkait dengan tindak pidana, pemidanaan, pencegahan, proses penanganan (pemulihan) serta pembuktian terhadap tindak pidana kekerasan seksual.

Tindak pidana yang selama ini diatur di dalam KUHP yang terkait dengan kejahatan terhadap kesopanan (dalam lapangan seksuil) diatur dalam Bab XIV KUHP dari pasal 281-pasal 296 KUHP. Akan tetapi jika dilihat lebih teliti maka pasal-pasal yang mengatur tentang kejahatan terhadap kesopanan sebagaimana diatur dalam KUHP hanya dapat diterapkan dalam bentuk kejahatan fisik. KUHP belum mengakomodir perkembangan kejahatan masa kini, termasuk kekerasan seksual yang dilakukan secara non fisik.

Salah satu kasus terkait dengan belum diakomodirnya kejahatan terhadap kesopanan dalam KUHP yakni kasus Baiq Nuril di Nusa Tenggara Barat. Kasus Nuril berawal dari komunikasi via telepon dengan Muslim, kepala sekolah tempat Nuril menjadi guru honorer.

Dalam pembicaraan itu, Muslim sering bercerita tentang hal-hal berbau porno terhadap Nuril. Merasa dilecehkan, Nuril kemudian merekam pembicaraan Muslim. Baiq Nuril kemudian dipidana setelah Muslim melaporkan, bahwa rekaman suara Muslim tersebar. Nuril dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Seharusnya, apa yang dialami Baiq Nuril dapat saja dikategorikan sebagai kekerasan seksual, akan tetapi dalam KUHP belum diakomodir. Kekerasan seksual yang diatur dalam KUHP lebih kepada kekerasan yang sifatnya kontak fisik. Namun kekerasan yang “tanpa” kontak fisik atau dengan perantaraan media (seperti kasus Nuril) belum diatur. Hal ini menjadi celah, bagi pelaku kekerasan seksual lolos dari jeratan hukum. Oleh sebab itu, kehadiran RUU PKS sesungguhnya memberikan perluasan terhadap tindak pidana yang belum diatur dalam KUHP.

Substansi RUU PKS

Dalam Pasal 1 ayat 1 RUU PKS, kekerasan seksual didefenisikan bahwa setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting dalam membahas RUU PKS sehingga membedakannya dari KUHP dan Undang-Undang lainnya yang mengatur tentang kekerasan seksual. Catatan itu terkait dengan tindak pidana, pemidanaan, pemulihan, pemantauan dan pencegahan.

Dari sisi tindak pidana, maka berdasarkan pasal 11 ayat 2 RUU PKS mengatur, bahwa yang menjadi tindak pidana kekerasan seksual mencakup: a. pelecehan seksual; b. eksploitasi seksual; c. pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan aborsi; e. perkosaan; f. pemaksaan perkawinan; g. pemaksaan pelacuran; h. perbudakan seksual; dan/atau i. penyiksaan seksual.

Pengaturan tentang tindak pidana ini, sebagai perluasan dari tindak pidana dari KUHP, dimana sebelumnya KUHP belum mengatur secara tegas beberapa tindak pidana dimaksud. Selanjutnya perihal pemidanaan, maka ancaman pidana terhadap pelaku lebih dioptimalkan sehingga tidak sama dengan ancaman pidana dalam KUHP.

Hal penting lainnya dalam RUU PKS yakni terkait pemulihan. Bahwa korban selain mendapatkan hak penanganan, perlindungan juga mendapatkan hak pemulihan (Pasal 22 ayat 1 RUU PKS). Pemulihan ini meliputi: fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya, ganti kerugian (Pasal 26 RUU PKS).

Selain pemulihan, sorotan penting lainnya dalam RUU PKS yakni perihal pemantauan. Pemantauan dilakukan secara berkala dan berkelanjutan. Bahkan dalam hal pemantauan dilaksanakan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Pasal 81 RUU PKS).

Catatan penting lainnya, dalam RUU PKS yakni perihal pencegahan. Pada pasal 6 ayat 1 huruf a RUU PKS diatur bahwa materi penghapusan Kekerasan Seksual dimasukkan sebagai bahan ajar dalam kurikulum, non kurikulum, dan/atau ekstra kurikuler pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi. Hal ini sebagai upaya pencegahan konkrit, yang dilakukan untuk menghindari terjadi kekerasan seksual.

Selain dari sisi hukum pidana materil (memperluas beberapa hal sebagaimana mana yang diatur dalam KUHP), RUU PKS juga mengakomodir beberapa hal yang belum diatur dalam hukum pidana formil (KUHAP).

Terobosan lain RUU ini dalam pembuktian yakni keterangan seorang saksi korban disertai dengan satu alat bukti lainnya dianggap cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah; keterangan saksi anak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan saksi/korban lainnya; keterangan orang dengan disabilitas mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan saksi/korban lainnya sesuai dengan ragam disabilitasnya; dan ketentuan saksi yang disumpah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dikecualikan terhadap keterangan korban atau saksi anak dan/atau orang dengan penyandang disabilitas di hadapan pengadilan.

Quo Vadis RUU 

Guna menjawab berbagai kontroversi ini, sebaiknya tim perumus RUU PKS harus lebih aktif kembali menyampaikan kajiannya baik kepada para anggota DPR RI maupun kepada masyarakat, agar tidak menimbulkan kesan bahwa RUU PKS menjadi norma yang melegalkan zinah, LGBT dan aborsi.

Tujuan awal pembentukan RUU PKS, untuk memberikan perlindungan yang optimal terhadap kepentingan korban kekerasan seksual harus menjadi titik tekan, serta dapat dijelaskan dengan argumentatif tanpa menimbulkan kontroversi lagi. Memahami urgensi pengaturan kekerasan seksual dalam RUU PKS, akan menyadarkan kita bahwa RUU PKS ini harus segera disahkan.

Beni Harmoni Harefa
Beni Harmoni Harefa
Dosen Hukum Pidana FH UPN Veteran Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.