Selasa, Oktober 22, 2024

Quo Vadis Resolusi Jihad Kaum Pesantren

Dede Wahyudin
Dede Wahyudin
Penstudi Agama

Sejak hari santri diresmikan oleh Presiden Jokowi, pesantren menjadi primadona pendidikan di khalayak masyarakat Indonesia dan dunia. Di era transformasi digital sekarang ini, pesantren tidak lagi sekedar memegang peranan penting menjaga keseimbangan pendulum budaya bangsa, pesantren hari ini juga mengemban kewajiban untuk bersaing mutu dengan lembaga pendidikan formal dalam pertarungan meraih atribut profesionalisme.

Dalam konteks profesionalisme, pesantren dihadapkan pada dilema dan dualisme paradigma yang paradoks. Satu sisi, pesantren tidak boleh terlepas dari muara tauhid dan akhlak, sisi lainnya, pesantren berada pada oase ilmu pengetahuan dan sains.

Jika pesantren tidak hati-hati, maka tidak mustahil akan terjebak dalam balutan sistem kapitalis yang menomorduakan values morality and dignity manusia. Tantangan ini meniscayakan keterampilan khusus dalam memadukan dua hal yang sulit untuk disatukan.

Tidaklah heran, apabila kita melihat pesantren-pesantren harus memilih pola manajemen. Apakah pola manajemen modern yang bersifat “hospitally”, yakni manajemen berbasis pelayanan an sich.  Ataukah pola manajemen klasik yang tetap mengedepankan values morality and dignity (tradisi dan adab santri).

Tentu saja kita harus ingat bagaimana perjuangan Mbah Hasyim dalam menjaga kultur pesantren pada era penjajahan dan setelahnya. Pada era penjajahan misalnya, Mbah Hasyim sangat keras menolak penjajahan dengan mengeluarkan fatwa jihad, Mbah Hasyimn tegas untuk menolak seikerei (upacara penghormatan kepada kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah Utara) bahkan jabatan Presiden dari Jepang pun Mbah Hasyim tidak bergeming sama sekali. Setelah era itu, Mbah Hasyim membuat “laboratorium ulama” dengan mendirikan pesantren Tebuireng Jombang.

Calon ulama pesantren yang dicitacitakan oleh Mbah Hasyim tentu memiliki landasan pedagogi dan andragogi yang jelas, sistematis dan terukur. Bisa dilihat jebolan pesantren yang berhasil merambah ke semua bidang dan menguasai berbagai keterampilan hidup sebagai modal kekuatan dalam menebar Islam Ahlussunnah Waljama’ah se antrero jagat. Meski Mbah Hasyim hanya 2 tahun menikmati kemerdekaan ini, jihad dan ijtihad beliau dalam dunia pendidikan sungguh berdampak bagi marwah pesantren hingga sekarang.

Politik kebangsaan yang telah Mbah Hasyim peragakan dapat ditiru kembangkan dalam praktik perpolitikan hari ini yang penuh sandiwara pencitraan media dalam mengemas sedemikian identitas kelompok sebagai bahan “truth claim”. Gus Dur contoh konkrit yang tidak salah dalam bermanuver untuk kebaikan bangsa ini. Apabila Mbah Hasyim menolak menjadi Presiden, maka Gus Dur rela dilengserkan oleh kabinetnya sendiri. Mbah Hasyim dan Gusdur telah menorehkan perjuangan demi kesatuan umat, bangsa dan marwah pesantren. Hal ini patut menjadi teladan para santri dalam menjaga etika politik.

Sebagai lembaga yang berjangkar pada spirituality based, pesantren melengkapi instrumen-instrumen pendidikan dengan memanfaatkan ornamen yang ada di lingkungan pesantren. Misalnya, masjid atau Musholla, maqbaroh para pendiri, bacaan-bacaan surat wajibat, dan wirid lainnya. Kematangan spiritual santri juga diukur dalam pemantauan Kyai. Apabila keterlaluan maka pasti ditegur, begitu juga apabila sangat lemah akan diingatkan untuk memperkuat sisi spiritualitasnya. Sebegitu kecermatan Mbah Hasyim dalam mengasah mental para calon Kyai besar dari para santrinya.

Tantangan pesantren dalam mengisi kemerdekaan dan penopang marwah santri di era transformasi digital ini tentu sangat kompleks.

Pertama, pesantren harus melakukan perlawanan dengan cara yang bijak dalam menyikapi framing kekerasan fisik dan kekerasan seksual yang menjadi framing buruk bagi institusi pesantren dan bermuara pada hukum. Bisa dilakukan dengan cara misalnya: menekan aturan penggunaan gadget, memadatkan kegiatan berdiskusi, lomba keterampilan atau kecakapan hidup (life skills), giat menulis dan mini riset dalam kerangka mengasah logika dan kemandiran berpikir, serta masih banyak lagi.

Kedua, pesantren harus menjadi pendulum pendidikan nasional dan internasional, yang mampu memenuhi kecakapan sosial, kecukupan finansial, dan keluhuran moral. Moderasi pesantren bukan tidak memiliki keberpihakan (pasif), tetapi moderasi yang dipilih adalah moderasi yang memiliki akar ketauhidan Ahlussunnah Waljama’ah yang jelas. Dengan begitu, moderasinya tidak akan mengurangi dari marwah pesantren.

Ketiga, pesantren harus memiliki komitmen yang kuat dalam menjaga tradisi dan budayanya. Kekuatan itu menjadi daya tangkal pesantren terhadap serangan-serangan isu negatif yang bermuatan hukum atau isu tidak penting sebagai bahan framing.

Keempat, pesantren harus menampilkan performa manajemen yang profesional, yang merangkul semua kalangan dalam ikatan emosi kekeluargaan.  Iklim pesantren yang tidak membeda-bedakan kelas adalah performa terbaik sebagai lembaga kultural.

Kelima, pesantren harus melakukan matrikulasi pemerataan kecakapan kitab kuning sebagai penjamin kelak akan menjadi pemandu dalam bersikap di lingkungan masyarakatnya.

Keenam, pesantren harus memiliki partnership dan entrepreneurship yang handal tanpa melemahkan fungsi sistem dan struktural (pakem pesantren) yang ada.

Ketujuh, pesantren harus memiliki inovasi kegiatan di luar pengajaran kitab kuning. Seperti melakukan kegiatan simulasi dalam pengelolaan lingkungan untuk mengasah kepekaan ekologis. Ini penting sebagai bekal kelak para alumninya menjadi “problem solver” di masyarakat.

Kedelapan, pesantren harus melibatkan masyarakat sekitar dalam hal kegiatan di luar pengajian kitab kuning. Hal ini dimaksudkan untuk melatih kecakapan sosial para santri. Dengan kata lain, kelak para alumni pesantren memliki sense of belongin.

Kesembilan, pesantren harus menyediakan ruang ekspresi yang sarat dengan “values education”. Seperti ruang debat terbuka atau bahsul masail, ruang seni dan sastra dan ruang-ruang lainnya, sehingga pesantren di mata para santri menjadi miniatur negara atau desa.

Kesembilan, tantangan pesantren tersebut, setidaknya menjadi semangat kebangkitan resolusi jihad pesantren di era transformasi digital saat ini.

Dede Wahyudin
Dede Wahyudin
Penstudi Agama
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.