Pada musim politik, beberapa “lakon” politik di Indonesia berusaha menggaet suara dari pesantren. Hal itu dapat dikatakan lumrah, mengingat pesantren menjadi sentral sosial dan keagamaan dari masyarakat. Pada tahun 2022/2023, jumlah pesantren di Indonesia mecapai 39.043 dengan jumlah santri 4,08 juta santri.
Bayangkan, betapa banyak suara yang didapatkan dari politikus jika mereka bisa mempengaruhi suara pesantren. Apalagi, pesantren tidak hanya tentang kyai dan santri, akan tetapi tentang sikap strategis masyarakat dalam menjalankan keberagamaannya.
Sosok kyai yang sangat di hormati membuat petuahnya diikuti oleh unsur-unsur pesantren dan masyarakat sekitar. Kita dapat melihat suksesnya pencalonan TGB Zainul Majdi pada pilihan gubernur di NTB dengan hanya disokong oleh dua partai kecil, yaitu Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kesuksesan itu seolah menegaskan bahwa “suara” TGB sebagai tokoh agama di NTB melebihi popularitas partai politik.
Kisah TGB tidak dapat disamakan dengan praktik relasi Kyai-Politik di daerah lain. TGB saat itu menjadi Gubernur NTB, yang artinya dia menjadi orang nomor satu di NTB, jadi masyarakat mudah menaruh kepercayaan kepadanya. Berbeda dengan di daearah lain, di Jawa Timur misalnya, Kyai-kyai hanya dijadikan “pendukung” dari aktor politik dengan tugas mempengaruhi suara masyarakat agar memilih salah satu calon atau partai tertentu.
Sebut saja KH. Anwarr Mansur yang mendukung pasangan Anies-Muhaimin dan KH Umar Faruq yang mendukung Prabowo Gibran di kontestasi Pilperes 2024. Lantas, apakah relasi politik yang demikian baik untuk keberlangsungan marwah pesantren?
Keterlibatan Pesantren dalam Politik Praktis
Dalam normativitats agama Islam, politik tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan agama. Sosok Muhammad SAW yang menjadi Nabi sekaligus aktor politik seringkali dijadikan landasan pemikiran para Kyai dalam keterlibatannya di politik praktis.
Memang benar, keterlibatan itu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keberlangsungan ritual keagamaan. Selain itu, simbolisasi dukungan dari pesantren akan melahirkan hubungan timbal balik, dalam arti pesantren bisa mendapatkan manfaat praktis sebagai “balasan” dari dukungannya terhadap paslon. Misalkan program Dana Abadi Pesantren yang menjadi hasil dari sikap politik pesantren.
Relasi kyai dan politik praktis telah terekam lama di benak masyarakat, sehinggga menjadikan para peneliti tertarik untuk mengkaji pengaruh sosok Kyai terhadap suara politik. Arravi, dkk (2019) memetakan perilaku pemilih dari santri NU di Lasem dalam kontestasi Pilpres 2019. Para koresponden mempertimbangkan arahan Kyai dalam memilih paslon tertentu, akan tetapi mereka tetap menggunakan pertimbagan rasional.
Dengan studi kualitatif, Madani (2015) menyamapaikan bahwa peran kyai sepuh di Madura yang dulunya berpengaruh signifikan dalam Pilkada, pada tahun 2013, pengaruhnya tidak lagi begitu kuat, karena turunnya kepercayaan terhadap sikap politik Kyai.
Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sikap politik kyai bersifat lokal, setiap tempat mempunyai kecenderungan masing-masing, entah itu meningkat atau menurun. Oleh karena itu, penelitian di atas tidak bisa dijadikan dasar bahwa semua masyarakat mengalami hal yang demikian. Namun, tren menurunnya pamor Kyai dalam ranah perpolitikan juga menjadi perhatian Zainuddin (2015). Ia menyadari fenomena tersebut telah menjangkiti masyarakat muslim, terutama santri.
Apa yang Salah?
Kepercayaan masyarakat muslim terhadap otoritas politik Kyai dapat dibuktikan dengan kepatuhannya terhadap “komando” politik. Sebaliknya, jika masyarakat sudah tidak patuh maka dapat berarti mereka sudah tidak percaya dengan peta politik Kyai. Hal itu mengindikasikan lunturnya marwah Kyai, bahkan pesantren, dengan alasan petuah yang tidak lagi didengar.
Menurut Zainuddin (2015) bergesernya otoritas kyai dalam perpolitikan diisebabkan oleh track record kyai yang selama ini tidak menjalankan politik kebangsaan. Politik kebbangsaan menyangkut kemaslahatan bangsa keseluruhan, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Keterlibatan kyai dalam politik yang seolah mendukung penuh kebijakan penguasa, tanpa melakukan kritik, ternyata disorot negatif oleh masyarakat
Kyai memang seringkali dijadikan alat politik untuk memuluskan kebijakan. Seperti dalam ilustrasi ini: ketika salah satu paslon maju, ia menggandeng kyai untuk menggalang dukungan dari masyarakat muslim. Dengan dukungan tersebut, akhirnya paslon memenangkan kontestasi. Setelah itu, Kyai yang merasa menjadi “teman” dari paslon, sehingga tidak mengkritik kebijakan yang cenderung kurang baik.
Masyarakat yang menganggap kebijakan itu buruk, lantas menyalahkan kyai sebagai sosok yang berpengaruh terhadap pencalonannya. Ditambah dengan sikap pasifnya, masyarakat menilai Kyai sebagai bagian dari “broker politik” untuk memuluskan kebijakan.
Tidak luput dari ingatan, polemik revisi UU KPK pada tahun 2020. Kyai NU yang merasa menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi bersifat pasif terhadap kebijakan itu. Padahal adanya aturan baru mengenai KPK memperburuk penegakan korupsi di Indonesia.
Dengan menggunakan cara licik, pemerintah memframing RUU tersebut dengan menyebarkan isu Taliban di KPK. Isu radikalisme yang dihembuskan di kalangan pesantren sejak Pilpres 2019, membuat Kyai dengan mudah mempercayai propaganda tersebut, sehingga tidak menghiraukan kegelisahan masyarakat terhadap revisi UU KPK.
Berdasarkan kejadian itu, masalah utamanya tidak terkait dengan hati nurani, akan tetapi sampainya informasi secara tidak utuh kepada Kyai. Kyai hanya mendapat kajian kebijakan dari pemerintah, yang tentu menguntungkannya. Oleh karena itu, akar masalah yang sebenarnya terkait dengan relasi pengetahuan yang dimonopoli oleh pemerintah.
Sebagai kalangan pesantren, layaknya kita turut serta dalam menyampaikan informasi kebijakan secara secara utuh kepada Kyai, agar informasi yang didapatkan berjalan seimbang, dalam rangka memperkuat kemaslahatan umat. Usaha itu sekaligus bertujuan untuk menjadikan marwah pesantren tetap pada tempatnya.
Referensi
Arravi, M. A. (2021). Partisipasi Politik Dan Perilaku Memilih Santri Di Wilayah Nahdlatul Ulama (Nu) Lasem Kabupaten Rembang Dalam Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2019. Journal of Politic and Government Studies, 10(3), 311-327.
Madani, A. A. (2016). Dinamika Kekuasaan Kyai (Indikasi Pudarnya Dominasi Politik Kyai dalam Proses Demokratisasi Lokal) (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
https://uin-malang.ac.id/r/150701/kiai-dan-pilkada.html