Sejak kemarin, anak Jokowi yang bernama Kaesang menjadi perbincangan hangat di dunia sosial media karena diduga telah menodai Agama seperti halnya yang dilakukan oleh pak Basuki Tjahaja Purnama.
Terus terang, sejak pertama kali mendengar berita tersebut saya hanya bisa tertawa. Saya merasa aneh saja kenapa anak ABG yang cuma berucap “ndeso” seperti itu saja harus dilaporkan dan harus diproses melalui hukum negara.
Yang lebih membuat saya kaget lagi adalah fakta bahwa Sang pelapor adalah manusia setengah abad alias bapak-bapak. Saya yakin bahwa bapak-bapak itu memiliki niatan yang baik. Tapi, sulit rasanya untuk menerima bahwa cara yang dilakukannya adalah cara yang terdidik.
Apa yang terjadi pada Kaesang tentu saja bukan perkara besar. Tapi, jika dibiarkan, kebiasaan “sedikit-sedikit melapor” seperti itu akan menciptakan pola kehidupan beragama ala anak TK yang tak biasa berpikir, manja, dan sulit untuk berdialog dengan mengandalkan kepala terbuka.
“Apakah harus jika setiap ada orang yang menyinggung agama atau kelompok kita, langsung kita laporkan kepada pihak yang berwajib dan kita jebloskan kedalam penjara?” Ini adalah pertanyaan mendasar yang perlu kita jawab bersama.
Selama ini kita hanya sibuk menyuarakan pembelaan atas kitab suci, agama, ulama, dan sebagainya, tapi terkadang kita lupa dalam mempertimbangkan konsekuensi panjang dari pembelaan yang kita lakukan atas nama agama itu.
Kita lupa untuk mempertimbangkan apakah pembelaan kita itu akan melahirkan hal positif bagi agama kita, atau justru hanya akan menimbulkan kerusuhan dan kerisuhan belaka?
Kita berniat untuk membela agama, dan itu bagus. Tapi, sadarkah kita bahwa jika pembelaan yang kita lakukan itu ditempuh dengan cara yang salah pada akhirnya ia akan berujung sia-sia bahkan potensial memperburuk wajah agama yang kita bela?
Saya tersadar untuk mengajukan pertanyaan semacam ini setelah belajar dari kasus yang menimpak pak Ahok beberapa bulan yang lalu. Orang itu kini terkurung di dalam penjara. Ia adalah korban nyata dari keculasan para politisi yang suka bermain-main dengan isu Agama.
Saya tak bermaksud untuk mengungkit-ngungkit ulang apa yang sudah selesai. Yang ingin saya lakukan sekarang hanyalah bertanya—dan memang sudah saatnya kita merenungkan ini semua:
“Apa manfaat yang kita peroleh dari dijebloskannya seorang Ahok yang difitnah sebagai penista agama ini?
Apakah Islam semakin harum di mata orang-orang non-Muslim Indonesia? Apakah orang-orang non-Muslim semakin tertarik untuk mempelajari agama kita? Apakah orang-orang non-Muslim semakin percaya dengan kelayakan agama kita dalam memajukan dan membangun Indonesia?
Apakah Agama kita menjadi lebih baik di mata mereka? Apakah Ahok sendiri menjadi lebih cinta dengan agama dan kitab suci kita? Apakah ulama yang kita bela itu derajatnya meningkat di sisi Allah hanya karena pembelaan kita sebagai manusia yang lemah tak berdaya?
Apakah dengan menjebloskan orang yang menista agama kita itu dapat membuat yang bersangkutan jera? Apakah kita bisa memastikan bahwa dengan cara seperti itu orang-orang yang seagama dengan dia tidak akan melakukan hal serupa?”
Apa jawaban Anda? Pernahkah anda memikirkan ini semua?
Pernahkah anda memikirkan hal yang lebih penting bagi kepentingan umat Islam ketimbang sibuk melapor-laporkan orang yang menyinggung agama dan kelompok kita? Pernahkah anda merenungkan konsekuensi panjang dari itu semua?
Selama ini, secara pribadi, yang saya rasakan adalah sebaliknya. Alih-alih menguntungkan, aksi bela-belaan yang dibungkus dengan nama agama, ulama dan sejenisnya itu justru menimbulkan kerugian. Apa yang saya katakan ini bukan mengada-ngada.
Dulu saya sering menerima pesan yang berisi keluhan sekaligus keheranan dari orang-orang non-Muslim terhadap prilaku umat Islam yang mereka rasa cukup kontras dengan apa yang diajarkan oleh Islam.
Bahkan, terkahir kali saya menerima pesan dari salah seorang perempuan Katolik yang berkata kepada saya bahwa dengan melihat prilaku umat Islam belakangan ini ia semakin yakin dan kokoh dengan keyakinan yang dianutnya.
Artinya, aksi bela agama, bela ulama, bela al-Quran, dan bela-bela lainnya itu di satu sisi menimbulkan kerugian yang nyata. Hanya saja, kerugian tersebut tak akan disadari oleh mereka-mereka yang berdada sempit dan sulit menerima kebenaran dari pihak yang berbeda pandangan dengan mereka.
Lalu, jika aksi lapor-melapor dan bela-membela yang dilakukan oleh mereka itu keliru, pertanyaannya kemudian: apa solusi tepat yang bisa kita tempuh jika kelak terjadi lagi hal serupa?
Saya hanya ingin katakan bahwa cara terbaik untuk membela agama di era seperti sekarang itu ialah dengan membersihkan wajah agama anda dari tumpukan kotoran yang ditaburkan oleh saudara-saudara Anda yang seagama.
Maksudnya? Ya, membela agama itu mestinya mengoreksi kedalam, bukan menyalahkan keluar. Itulah, saya kira, cara terbaik dalam membela agama ketika agama kita memang benar-benar dinistakan oleh orang-orang yang berbeda keyakinan dengan kita.
Apa yang terjadi pada pak Ahok, dan anak pak Jokowi sekarang, hanya saya jadikan contoh saja. Di kemudian hari, pasti kita akan berjumpa dengan kasus-kasus serupa.
Harus kita akui bahwa orang yang tidak suka dan menanam kebencian kepada agama kita itu memang ada. Tapi jangan lupa, tidak semua orang yang menyinggung agama dan keyakinan kita itu didasari oleh rasa benci dan tidak suka.
Di antara mereka ada yang tidak tahu, ada yang ingin mencari tahu, ada yang keliru, ada yang salah paham, tapi sebenarnya mereka tidak memendam permusuhan terhadap agama kita. Dan orang-orang seperti itu mestinya kita sikapi secara wajar. Tidak harus kita laporkan, juga tidak perlu kita upayakan agar dimasukan kedalam penjara.
Kecuali kalau memang sudah keterluan, seperti menginjak al-Quran, membakar al-Quran, menghina Nabi Muhammad Saw, merendahkan simbol-simbol keislaman, dan sebagainya. Dilaporkan boleh. Tapi Anda juga bisa menempuh cara yang lebih arif dan bijaksana.
Yang dilakukan oleh anak pak Jokowi, saya kira, tak perlu dibesar-besarkan. Pelaporan atas video yang dia unggah itu sebenarnya tidak perlu dilakukan. Paling jauh anak ABG itu hanya salah ucapan, tidak sampai menistakan.
Perkataan Kaesang mestinya kita pahami sebagai ekspresi kekesalan anak muda terhadap potret kehidupan umat beragama yang memang faktanya kian hari kian mengerenyitkan kepala. Apa yang dikatakan Kaesang, saya kira, terpikirkan juga oleh sebagian anak muda.
Lagipula, apa yang disampaikan Kaesang itu ada benarnya juga. Secanggih apapun ajaran suatu agama, orang ndeso itu memang sudah ditakdirkan akan selalu ada. Tinggal kitalah memilih: Apakah kita ingin menjadi bagian dari mereka, atau kita menjadi orang beragama yang berpikiran terbuka?
Kairo, Saqar Quraish, 6 Juli 2017.