Minggu, November 24, 2024

PT Freeport Adalah Kekalahan Indonesia

Burhanudin Faturahman
Burhanudin Faturahman
Burhanudin Mukhamad Faturahman. Pemerhati Politik dan Kebijakan dalam negeri. Dapat dihubungi melalui burhanmfatur@gmail.com dan burhanudin.faturahman@dpr.go.id
- Advertisement -

Semua pihak yang mengaku nasionalis pasti bingung bagaimana caranya agar pengelolaan tambang emas terbesar di dunia yang saat ini dipegang oleh PT Freeport bisa diambil alih pemerintah Indonesia dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran Indonesia khsusnya rakyat papua.

Sebut saja Mahfud MD, dalam media online tempo beliau menyebut pemerintah siap meladeni negoisasi dengan Freeport di forum arbitrasi internasional namun kemungkinan kalah sangatlah besar karena banyak pihak menyayangkan, Freeport merupakan hasil penyuapan oleh nama pribadi atas nama negara.

Padahal masa kadaluarsa pidana suap/korupsi masanya 18 tahun. Seharusnya menurut Mahfud MD, pengusutan kontrak karya (KK) Freeport dilakukan pada tahun 2009 semenjak KK dilakukan tahun 1991. Kalau ingin mengambil alih, pemerintah harus membuat perjanjian baru dengan membeli seluruh saham Freeport berasaskan konsensus.

Lebih nyentrik lagi Amien Rais melalui tulisannya tahun 2004 tentang air mata bagi Freeport di Papua. Sangat miris bertahun-tahun masyarakat Papua berteriak tentang tanah mereka dijarahi.

Amien Rais yang pernah duduk di kursi empuk yang bernama “komisaris” teriakannya menghilang, duduk manis menikmati dolar di sana. Walaupun di publik, Amien Rais dengan keras tidak mengakui kursi empuk yang pernah dinikmatinya. Kemana orang ini? Kini muncul lagi orang garang bernama Rocky Gerung yang menyebut usaha membeli saham Freeport dengan uang dinilainya “dungu”.

Usaha divestasi saham Freeport sebesar 51 persen lebih sedikit oleh pemerintah saat ini tidak lepas dari ketidakmampuan pemerintah masa lalu untuk mengakusisi saham Freeport tersebut. Jadi tak usah mencari kambing hitam dan akui saja ini adalah kekalahan kita semua, kekalahan Indonesia dalam bernegoisasi.

Kita tidak sedang membahas Freeport yang baru berdiri namun perusahaan tersebut sudah menyedot SDA kita kurang lebih 40 tahunan lebih. Selama itu pula pengusutan dan pemberitaan selalu kembang kempis. Membahas Freeport bukan masalah orang asing yang ngontrak tanah kita, namun lebih dari itu bahwasannya kompleksitas politik, lingkungan hidup, korporasi nasional dan internasional, kebijakan investasi dan hukum serta tak kalah penting menggenjot SDM kita agar tidak dicap bodoh dalam mengelola sumberdaya alam yang melimpah.

Dalam bahasanya Renald Kasali, pemecahan masalah Freeport menyangkut corporate strategy dan corporate financial. Tak mungkin para negoisator dari Indonesia memiliki kualitas ecek-ecek saat bernego dengan pejabat-pejabat dari Freeport.

Ditambah lagi hitung-hitungan finansial perusahaan. Kalo sudah begini mana mungkin perusahaan mau rugi ? Maka yang seharusnya kita pertanyakan bagaimana negoisasi antara pihak pemerintah dengan pihak Freeport hingga deal mendivestasi saham sebesar 51 persen. Tidak mungkin tidak ada kompromi yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak.

Kalau yang berunding cuma pejabat pemerintah dan pejabat Freeport lantas dimana rakyat? apakah rakyat terutama warga papua tidak pantas mengikuti negoisasi tersebut? apa karena rakyat papua masih terbelakang kemudian diharamkan membahas nasib mereka di tanah kelahiran sendiri?

- Advertisement -

Inilah yang seharusnya kita munculkan, bukan ujug-ujug pemerintah berhasil mengklaim divestasi saham  Freeport sebesar 51 persen lebih sedikit tanpa pernah melibatkan partisipasi masyarakat. Maka yang terjadi adalah kebodohan dan pembodohan. Kebodohan terjadi karena pada tahap perumusan kebijakan tidak memenuhi kaidah-kaidah baku, pembodohan terjadi karena rakyat dikibulin melalui keberhasilan pemerintah membeli sebagian saham Freeport.

Sudah bisa dipastikan pendekatan perumusan kebijakan pengelolaan tambang emas di papua sangat elitis dan sarat akan kelompok kepentingan. Yang muncul dalam perumusan kebijakan tersebut paling tidak yakni elit pusat, elit daerah, dan elit Freeport.

Paling banter LSM teriak-teriak ketika terjadi ketidakwajaran pemerataan hasil pengelolaan. Ini sangat bertentangan dengan semangat desentralisasi dan local wisdom. Meskipun wewenang dikelola penuh oleh pemerintah daerah logikanya masyarakat di sekitar daerah tersebut mampu menikmati hasil pengelolaan tambang emas tersebut. Kenyataannya papua tetap miskin dan semakin dibodohi dengan bargaining yang tak memihak rakyat papua.

Mengambil alih Freeport ke pangkuan Indonesia bukanlah mengusir maling dengan membayar duit seperti kata Rocy Gerung, tapi sebagai pihak yang memiliki harta karun kita hendaknya memasang baliho besar yang berisi kebijakan regulatif yang menguntungkan rakyat Indonesia.

Kebijakan regulatif ini harus memuat larangan keras ekspolitasi alam secara berlebihan dan berorientasi pada pelestarian lingkungan. Perusahaan paling anti terhadap hal ini, mengapa?

Perusahaan paling alergi jika kewajiban lingkungan harus diperhatikan. Dapat kita saksikan secara nyata, banyak kasus pencemaran lingkungan dikarenakan limbah pabrik, asap produksi, bekas galian tak diperhatikan dan masih banyak lagi. Pihak perusahaan enggan memberikan ongkos lingkungan tersebut karena dianggap merugikan. Prioritas perusahaan pasti profit sebesar-besarnya dengan menekan biaya produksi seminim-minimnya. Ongkos pelestarian lingkungan tersebut masuk dalam biaya produksi.

Jadi, harapannya profit yang besar diberlakukan pula pada tanggungjawab terhadap pelestarian ekosistem. Hitungan kasarnya dapat dicontohkan, dengan biaya produksi satu juta rupiah perusahaan bisa untung setengahnya atau bahkan lebih.

Nah, separuh dari keuntungan tersebut dibebankan untuk tanggungjawab pelestarian ekosistem. Atau tanggungjawab lain berupa jaminan hidup layak bagi buruh. Masalahnya apakah mau perusahaan tersebut ?  Toh kalau ada Corporate Social Responsibility (CSR) besar mana antara keuntungan perusahaan dengan tanggunjawab sosial, budaya dan ekosistem ?

Mungkin saran tersebut serasa idealis, namun jika kita melihat posisi kita sebagai pemilik SDA emas dan pihak lain sebagai pengelola maka saya rasa kita berada di jalur yang semestinya. Nasi telah menjadi bubur, kita turut berduka karena berbagai rezim di negeri ini tidak memperketat Kontrak Karya Freeport sejak awal.

Terakhir, kita patut belajar untuk memperhitungkan kualitas lulusan universitas negeri sendiri untuk mengelola seluruh SDA di Indonesia, ketimbang impor secara langsung, instan dan membabi buta apalagi mengklaim teknologi asing lebih unggul dari kita. Sikap optimisme SDM Indonesia harus kita akui mampu melakukannya.

Buktinya Indonesia secara teknologi mampu menciptakan pesawat, mobil buatan remaja SMK, bahkan orang lulusan SD di blitar jawa timur mampu menciptakan bahan bakar melalui inovasi pembakaran sampah plastik dan seabrek kualitas SDM pribumi lainnya yang belum kita explore.

Burhanudin Faturahman
Burhanudin Faturahman
Burhanudin Mukhamad Faturahman. Pemerhati Politik dan Kebijakan dalam negeri. Dapat dihubungi melalui burhanmfatur@gmail.com dan burhanudin.faturahman@dpr.go.id
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.