Ada beberapa istilah yang akhir-akhir ini pemakaiannya masif, seperti kaum rebahan anti perubahan, kelompok mager, kalau bisa besok kenapa harus sekarang, dan berbagai adagium lain yang menggambarkan betapa sebuah penundaan adalah kenikmatan. Beberapa orang mungkin akan mengamini opini tersebut, mereka yang bisa bersenang-senang ketika menunda sesuatu, merasakan pikiran yang tenang dengan tidak bekerja, melakukan hal-hal lain yang hanya membutuhkan usaha kecil sehingga tidak memberi tekanan secara fisik dan mental.
Kebahagiaan semacam ini sebenarnya menipu. Seorang professor psikologi Jerman bernama Kliengsieck pernah berkata bahwa sesuatu yang bagus tidak akan didapatkan oleh mereka yang menunda. Ini tentu bukan kalimat motivasi dangkal yang tujuannya memberi stimulasi sesaat. Tetapi, telah dibuktikan melalui beberapa riset di ranah akademik dan dunia kerja, yang justru menunjukkan bahwa ada gelombang stress yang menunggu setelah seseorang melakukan penundaan.
Prokrastinasi bisa digambarkan secara singkat melalui fenomena tersebut, di mana seseorang melakukan hal-hal lain di tengah pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan tugas tertentu. Contoh sederhananya, seseorang yang berniat mengerjakan sebuah desain untuk klien, lalu duduk di depan komputer, tak lama ia beranjak untuk membuat kopi, bermain game sebentar, bertekad untuk menonton satu saja episode anime agar lebih rileks, hingga tanpa disadari ia telah melakukan berbagai hal menghibur lain yang sebenarnya tidak berkorelasi dengan tujuan awal. Kegiatan tersebut bisa jadi terlihat menyenangkan, dibandingkan harus menguras pikiran dan tenaga untuk mencapai target.
Fenomena ini telah diteliti sejak tahun 1980-an dan menjadi masif pada tahun 2000-an. Beberapa riset yang spesifik mengupas prokrastinasi di bidang tertentu seperti tugas-tugas akademik, pekerjaan kantor, industri kreatif, hingga pembahasan pada faktor yang berpengaruh seperti gender, level akademik, kepribadian, turut mewarnai riset tentang prokrastinasi. Hal ini menjadi wajar untuk dipecahkan melalui penelitian-penelitian ilmiah, melihat angka prokrastinasi di berbagai bidang berada pada level sedang hingga tinggi. Salah satu riset dari O’Sullivan yang berjudul Patterns of Academic Procrastination, mengatakan bahwa 70% siswa melakukan perilaku prokrastinasi, dan 50% karyawan juga melakukan hal yang sama.
Terlepas dari berbagai temuan tentang prokrastinasi, sebenarnya ada satu istilah yang cocok untuk mengupas tuntas akarnya, yaitu pola pikir atau mindset. Sebagai sebuah inti yang menggerakkan berbagai perilaku manusia, bagaimana merespon stimulus, dan mengambil keputusan. Mindset harusnya bisa melakukan intervensi yang sama terhadap perilaku prokrastinasi. Meskipun terdiri dari dua probabilitas yang bercabang, dengan konotasi positif dalam hal ini growth mindset, dan negative yaitu fixed mindset. Kedua hal ini memainkan peran yang signifikan dalam penundaan.
Growth mindset dan fixed mindset pertama kali dikemukakan oleh Profesor Dweck dari Stanford University, melalui bukunya yang berjudul Mindset. Konstruk ini memiliki poin utama pembahasan tentang bagaimana pola pikir atau mindset merubah kehidupan seseorang. Bahwa apa yang menjadi pandangan hidup, yang diyakini, akan menuntun individu secara efektif serta memberikan dorongan secara psikologis.
Growth mindset akan mendorong individu untuk terus mengembangkan kemampuan dirinya. Menerabas rasa khawatir akan kegagalan, melawan rasa takut mencoba hal baru, dan energi untuk menikmati proses dalam mencapai tujuan. Individu dengan growth mindset sangat mungkin melakukan ini karena Ia percaya bahwa kemampuan dasar dapat berkembang selama manusia yakin dan mau mencoba hal baru. Faktanya, setiap orang memang dibekali bakat yang berbeda, namun setiap individu dapat berubah dan tumbuh dari pengalaman.
Sementara, individu dengan fixed mindset akan menganggap bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya adalah sebuah kepastian yang digambarkan melalui tanda titik. perasaan maupun peristiwa yang dialami adalah natural dan tidak perlu sebuah intervensi. Inilah diri dan kapasitas saya. Kemampuan saya hanya sebatas ini, dan sejauh inilah yang Tuhan berikan. Manusia dengan pola pikir semacam ini adalah media yang subur untuk berkembang biaknya perilaku prokrastinasi.
Rasanya kita sering menjumpai individu-individu dengan pola fixed mindset seperti ini, baik itu dalam civitas akademik, organisasi, maupun dunia kerja. Individu ini, adalah tipe yang ketika ada pekerjaan dan tanggung jawab diberikan padanya, akan memilih menunda dan memilih hal-hal yang disukainya terlebih dahulu. Ia akan mempunyai berbagai alasan untuk tidak langsung mengerjakan, meskipun alasannya tidak masuk akal. Ketika deadline sudah mepet barulah tersadar bahwa tugas tersebut tidak bisa dikerjakan.
Pola pikir seperti ini juga yang mengarahkan tindakan-tindakan menghindar atau withdrawal. Apabila individu menemui tugas yang dirasa sulit, belum pernah melakukan, dan dalam pikirannya justru akan merepotkan. Ia pasti memilih mengerjakan hal-hal yang tidak berkaitan dengan tugas tersebut, menghabiskan waktu yang terbatas, menonton YouTube dengan alasan untuk mencari ide, hingga jalan-jalan dulu untuk menemukan sudut pandang yang sesuai.
Pada akhirnya pekerjaan tersebut tidak akan bisa diselesaikan. Maka, jangan heran jika dalam sebuah lingkungan, kita akan menjumpai orang yang dimintai tolong, justru semakin merepotkan dan menambah beban pikiran orang yang meminta tolong.
Perilaku di atas memang nyata dan bisa ditemui di berbagai bidang, sehingga kemudian, individu semacam itu akan dicap oleh rekannya bahwa, Tugas kehidupan dia (si procrastinator dengan fixed mindset) itu tidak harus membantu atau bermanfaat, asal nggak ngerepotin orang lain aja, dia sudah berhasil jadi manusia.
Dalam kalimat lain, seorang esais bernama Ralph Waldo Emerson mengatakan bahwa hadiah yang layak didapatkan oleh seseorang yang berhasil menuntaskan sesuatu adalah selesai itu sendiri. Perasaan puas atas kinerja, ketekunan yang selama ini menyita banyak energi, terbayar tuntas ketika pekerjaan tersebut telah disetorkan ke atasan, memberikan kepuasan pada orang lain atau dinilai oleh klien. Pada akhirnya, berbagai kenikmatan seorang prokrastinator adalah semu.