Lagi dan lagi, Badan Riset dan Inovasi Nasional atau yang dikenal dengan sebutan BRIN kembali membuat kegaduhan publik. Persoalan BRIN yang selalu menyinggung Persyarikatan warga Muhammadiyah terus terjadi.
Sebelumnya seorang pakar Begawan astronomi Prof Thomas Djamaludin yang menyebut metode hisab wujudul hilal yang dipedomani Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah usang dan tidak relevan lagi telah membuat umat silang pendapat dan tidak kondusif. Kondisi tersebut terulang kembali setelah adanya perbedaan dalam penentuan 1 Syawal oleh pemerintah dan PP Muhammadiyah.
Pemerintah dengan kriteria yang disepakati oleh MABIMS memutuskan bahwa 1 Syawal jatuh pada 22 April 2023. Sementara jauh-jauh hari PP Muhammadiyah melalui hisab haqiqi wujudul hilal telah menetapkan 1 Syawal jatuh pada 21 April 2023. Perbedaan inilah yang kemudian membuat tensi emosi meninggi dari seorang oknum peneliti BRIN yang dalam postingan di medsos tertanggal 23 April 2023 mengancam warga persyarikatan Muhammadiyah.
BRIN dan ketumpulan intelektulitas
BRIN sebagai lembaga peneliti yang berada di bawah naungan pemerintah tentu harus sadar akan tanggungjawab moral penelitiannya kepada publik. Pasalnya lembaga BRIN bisa beroperasi dengan pembiayaan yang dibiayai dengan uang rakyat. Atas dasar itulah hasil inovasi penelitian yang berhasil dikembangkannya harus berkontribusi bagi kemajuan dan perubahan bangsa yang lebih baik.
Jika dilihat dari beberapa realitas yang terjadi, kinerja BRIN beberapa waktu belakangan ini seolah-olah bukan pesta sebagai panggung riset inovasi nasional. Namun BRIN telah mendadak berubah sebagai biduan berbaju lusuh yang ingin mencari popularitas di tengah publik. Hal itu terbukti di mana BRIN kembali menjadi sorotan publik karena salah satu penelitinya yang mengeluarkan nada ancaman kepada warga Muhammadiyah. Pernyataan ini tanpa disadari membuat publik bertanya-tanya tentang reputasi keintelektualitasan peneliti yang bekerja di BRIN.
Pernyataan pakar astronomis Prof Thomas Djamaludin yang pernah viral tahun 2013 silam menjadi bibit kebencian dan pernyataan tendensius yang tidak seharusnya tercermin oleh seorang pakar peneliti di tubuh BRIN. Apalagi diperkuat dengan viralnya pernyataan bernada ancaman oleh Andi Pangerang sebagai juniornya turut menguatkan betapa BRIN masih terdapat dan diisi oleh orang-orang yang miskin perspektif.
Seorang peneliti apalagi berada dalam marwah BRIN tentunya harus bekerja untuk membangun kondusifitas masyarakaat dengan mengedepankan nilai-nilai toleran dan tidak tendensius. Thomas Djamaludin dan Andi Pangerang menjadi dua peneliti BRIN yang tidak paham akan nilai dan etika riset sehingga mereka tidak bisa membedakan bahwa persatuan tidak haarus berangkat dari satu persamaan.
BRIN dan krisis kepercayaan
Dua peneliti BRIN tersebut telah membawa marwah institusinya kian anjlok di masyarakat secara luas. Hal ini dikarenakan dua peneliti tersebut lupa dan tidak mengikuti perkembangan demokratisasi betapa masyarakat sekarang sudah terbuka dan rasional menghadapi perbedaan.
Apabila dilihat dalam berbagai komentar yang beredar di media sosial, masyarakat menyampaikan lebih percaya Muhammadiyah dibandingkan percaya kepada BRIN. Kondisi tersebut menjadi warning bagi BRIN untuk mengevaluasi SDM penelitinya untuk berhati-hati dalam mengeluarkan statemen, apalagi statemen ang bersangkutan dengan isu keagamaan dan kepervcayaaan.
Kini BRIN sudah mulai kehilangan trust dari masyarakat akibat ulah dua peneliti yang tidak memiliki etika sebagai seorang peneliti sehingga dua peneliti ini reputasinya patut dipertanyakan. Kegaduhan tersebut sejak dimulainya pernyataan oleh Thomas Djamaludin beberapa tahun lalu semestinya menjadi pembelajaran baik BRIN agar tidak berulang. Masyarakat sangat kecewa dan menyayangkan bagaimana watak premanisme berada dalam diri seorang peneliti di BRIN. Oleh karena itu seharusnya dengan melihat kasus ini berulang dan sangat tendensius diskriminatif, maka BRIN bisa memecat secara tidak hormat dua peneliti yang intoleran dan membawa citra institusi BRIN kiat merosot.
Kembalikan Riset di Universitas-Universitas
Rocky Gerung seorang pakar filsafat pernah menyampaikan bahwa sebaiknya riset itu dikembalikan di universitas-universitas agar lebih produktif. Pernyataan Rocky tersebut nampaknya sangat relevan bila BRIN bekerja tidak produktif dan selalu membikin ulah dan perpecahan di tengah kehidupan keberagamaan. Momentum ini sebagai tamparan keras bagi BRIN bila idak mampu menertibkan anak buahnya.
BRIN bekerja menggunakan pembiayaan uang rakyat, dan konsekuensinya harus melahirkan berbagai inovasi riset yang berguna bagi kemajuan bangsa dan masyarakat. Itu adalah pondasi yang semestinya menjadi pijakan bagi BRIN untuk terus berkarya. Namun hari ini kita semua mulai kehilangan rasa kepercayaan kepada lembaga riset ini karena hadirnya bukan menjadi solusi. Apabila ini terus berkelanjutan maka sebaiknya lembaga BRIN dibubarkaan saja dan riset didelegasikan ke setiap universitas-universitas. Indonesia memiliki lebih dari 2.000an perguruan tinggi, sehingga apabila BRIN tidak mampu menjalankan amanah riset maka mengembalikan saja ke universitas adalah pilihan yang tepat.
BRIN tidak boleh diisi oleh orang-orang yang memiliki miskin perspektif, apalagi mempermasalahkan perbedaan penetapan Idulfitri. Sebagai masyarakat yang berwatak intelektual tentu hal ini terlihat konyol, karena perbedaan tersebut bukan sesuatu yang terjadi pada tahun ini saja.
Oleh karenanya, dua peneliti BRIN tersebut bila perlu dipecat secara tidah hormat sebagai bentuk penyelamatan marwah institusi BRIN bila lembaga ini masih dipertahankan. Jangan sampai bibit-bibit intoleran dan bibit-bibit peneliti memiliki wajah premanisme dan membuat perpecahan diantara anak bangsa. Bangsa ini terlalu besar apabila hanya diperseterukan oleh lembaga BRIN ini. Evaluasi harus segera dilakukan dan oknum-oknum tendensius perlu ditindak lebuh lanjut.