Banjir besar dan longsor di Sumatera Utara kembali menjadi sorotan nasional. BNPB mencatat 166 orang meninggal dan ratusan lainnya masih hilang. Pemerintah kembali menyebut cuaca ekstrem sebagai penyebab utama, seolah bencana ini muncul begitu saja tanpa jejak. Padahal, kenyataannya jauh lebih kompleks. Yang menenggelamkan Sumut bukan sekadar hujan deras, melainkan akumulasi dari kebijakan tata ruang yang salah, lemahnya pengawasan lingkungan, dan pembiaran kerusakan ekosistem di kawasan hulu.
Selama narasi resminya tetap mengaitkan bencana dengan “kemarahan alam,” negara justru sedang mengalihkan perhatian publik dari faktor paling menentukan: keputusan politik. Hujan mungkin pemicu, tetapi bencana ini adalah hasil pembangunan yang tidak memperhitungkan batas daya tampung lingkungan.
Bencana yang Sesungguhnya Tidak Alamiah
Air tidak pernah datang sebagai musuh. Ia hanya mengikuti jalur yang seharusnya menyerapnya. Ketika hutan yang selama ini menjadi penyangga hilang, ketika daerah resapan berubah menjadi lahan industri, ketika sungai dipersempit oleh permukiman dan infrastruktur, maka banjir adalah konsekuensi yang sangat dapat diprediksi.
Selama dua dekade terakhir, Sumatera Utara mengalami deforestasi signifikan, terutama di Batang Toru yang merupakan ekosistem hulu paling penting di kawasan tersebut. WALHI Sumut menegaskan bahwa banjir besar di wilayah Tapanuli tidak bisa dilepaskan dari kerusakan kawasan hutan ini. Banjir yang membawa potongan kayu dalam jumlah besar menunjukkan adanya pembukaan lahan yang intens. Ketika akar-akar penyangga hilang, tanah kehilangan kemampuan menyerap air, dan aliran permukaan meningkat drastis.
Cuaca ekstrem semakin sering terjadi akibat krisis iklim. Namun cuaca ekstrem hanya menjadi bencana ketika ruang hidup kita telah kehilangan kemampuannya untuk meredam limpahan air. Dengan kata lain, yang berubah bukan hanya iklim, tetapi juga kebijakan pengelolaan ruang.
Bencana yang Diproduksi Kebijakan
BNPB melalui IRBI 2024 mengkategorikan Sumatera Utara sebagai wilayah dengan risiko bencana kategori sedang. Artinya potensi banjir dan longsor sudah lama dipetakan. Namun fakta bahwa dampaknya begitu besar menunjukkan bahwa upaya mitigasi tidak berjalan optimal. Izin industri tetap dikeluarkan meski berada di kawasan rawan.
WALHI Sumut menyebut ada tujuh perusahaan ekstraktif yang beroperasi di sekitar Tapanuli yang diduga kuat merusak ekosistem, dari perkebunan sawit hingga proyek tambang dan energi. Ketika izin-izin seperti ini diterbitkan dengan cepat, sementara pemulihan hutan nyaris tidak pernah diprioritaskan, maka yang tercipta adalah wilayah yang rapuh secara ekologis.
Banjir Sumut adalah contoh klasik dari bencana ekologis yang lahir dari kebijakan publik. Ini bukan sekadar persoalan alam yang tidak bersahabat, tetapi persoalan negara yang abai terhadap batas lingkungan.
Respons Pemerintah yang Selalu Reaktif
Setiap bencana datang, pola respons pemerintah hampir selalu sama: evakuasi, bantuan darurat, perbaikan jalan, normalisasi sungai, dan janji penanganan jangka panjang. Semua penting, tetapi itu adalah tindakan setelah bencana terjadi. Pencegahan yang bersifat struktural jarang menjadi prioritas.
Padahal, mencegah jauh lebih murah dibanding mengatasi kerusakan. Tetapi selama paradigma negara masih menempatkan pembangunan fisik dan investasi sebagai prioritas utama, aspek ekologis hanya menjadi lampiran.
#PrayForSumatera Tidak Mengubah Kebijakan
Tagar #PrayForSumatera membanjiri media sosial. Ini menunjukkan empati masyarakat, tetapi empati tidak mengubah struktur. Doa tidak akan menghentikan pembukaan hutan. Solidaritas tidak akan memaksa audit lingkungan. Selama ruang politik tidak ditekan untuk berubah, tragedi akan berulang.
Yang kita perlukan bukan hanya solidaritas, tetapi akuntabilitas. Negara harus diminta untuk menjelaskan mengapa kawasan hulu dibiarkan rusak, mengapa izin industri tetap mengalir, dan mengapa mitigasi bencana tidak dilakukan secara serius.
Beberapa langkah mendesak yang harus dilakukan pemerintah adalah:
- Menghentikan seluruh izin baru di kawasan hulu DAS dan daerah resapan.
- Melakukan audit izin perusahaan dan mencabut izin yang terbukti merusak ekosistem.
- Memulihkan hutan dan memperkuat perlindungan ekosistem Batang Toru.
- Menata ruang berbasis risiko bencana dan kapasitas ekosistem, bukan hanya pertumbuhan ekonomi.
- Menguatkan penegakan hukum lingkungan agar tidak tunduk pada kepentingan industri.
Banjir dan longsor di Sumatera Utara bukan sekadar musibah alam. Ini adalah cermin dari keputusan yang kita biarkan terjadi selama bertahun-tahun. Selama narasi publik masih menyalahkan cuaca, kita sedang membiarkan persoalan utamanya tidak tersentuh. Sumut tidak membutuhkan belas kasihan. Sumut membutuhkan perubahan kebijakan yang melindungi kehidupan.
Air tidak pernah berbohong. Ia mengalir menuju ruang yang selama ini kita rusak. Dan ia akan terus datang sampai ruang itu kita pulihkan.
Referensi
BNPB. (2024). Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2024. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. https://inarisk.bnpb.go.id
BNPB. (2025). Update korban bencana di Sumut: 166 orang meninggal, ratusan hilang. Detik News. https://news.detik.com
RMOL Sumut. (2025). WALHI Sumut sebut 7 perusahaan diduga penyebab bencana ekologis di Tapanuli. RMOLSumut.id. https://www.rmolsumut.id
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara. (2025). Rilisan media: Dugaan kerusakan ekosistem di Tapanuli dan identifikasi perusahaan terkait. WALHI Sumut. https://www.walhi.or.id
