Polemik mengenai kartu pra kerja yang dirilis pada 20 Maret 2020 lalu hingga kini masih menjadi perbicangan hangat ditengah masyarakat. Mulanya peluncuran ini dipercepat sebelum waktu yang ditentukan guna menghadapi dampak dari virus corona. Namun pendaftaran dari program ini baru dapat dilakukan dalam website resminya pada tanggal 11 April 2020. Permasalahan mulai muncul ketika ternyata fungsi kartu itu berbeda dari anggapan masyarakat.
Permasalahan ini terjadi ketika masyarakat menganggap bahwa adanya kartu prakerja ditujukan untuk memberikan gaji kepada pengangguran sebelum mendapatkan pekerjaan. Anggapan tersebut lalu ditanggapi oleh Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro. Beliau memaparkan bahwa kartu prakerja berfungsi sebagai intensif selama mempersiapkan keahlian sebelum masuk ke dunia kerja. Namun beliau menggarisbawahi bahwa mereka yang mendapatkan tunjangan tersebut haruslah mengikuti pelatihan terlebih dahulu.
Pelatihan tersebut memunculkan permasalahan baru dalam penerapannya terkait dengan keluhan dari peserta program kartu Prakerja. Seperti yang sudah dilansir oleh cnnindonesia.com, Ahmad Syahtriono pria berumur 25 tahun ketika sudah mengikuti program tersebut merasa tertipu dan tidak sesuai ekspektasi.
Beliau beralasan pelatihan tersebut sama seperti program pelatihan bodong. Ahmad Syahtriono beralasan mengikuti program ini karena mendengar akan mendapatkan tunjangan senilai Rp 600 ribu per bulan. Alasannya makin kuat setelah dia dirumahkan dan dapat berfiir bahwa insentif tersebut dapat menutupi kebutuhan sehari-hari.
Lalu setelah mendaftar dan dinyatakan dapat mengikuti program tersebut timbul prasangka tidak baik karena pelatihan yang diberikan. Hal ini dikarenakan video tutorial yang disediakan tidak jauh berbeda dengan umumnya terdapat di Youtube. Namun karena masih mengharapkan tunjangan selepas pelatihan maka Ahmad Syahtriono menyelesaikannya hingga tuntas. Tepat pada tanggal 24 April beliau menuntaskan pelatihan itu namun hingga 30 April sertifikat tidak kunjung didapat.
Jika melihat kondisi yang telah dijelaskan sebelumnya nampaknya terdapat keterasingan bagi rakyat Indonesia dalam menghadapi pandemi. Konsep keterasingan atau yang menurut Erich Fromm disebut alienasi sangat mendominasi masyarakat saat ini baik dari sisi psikologis ataupun sosio ekonomi.
Apabila menilik penjelasan dari Fromm dapat dikaitkan dengan permasalahan kartu prakerja yang sekarang sedang terjadi. Fromm menjelaskan bahwa manusia modern sekarang ini cenderung menyikapi suatu permasalahan dengan membangun sebuah berhala. Manusia bersikap tunduk serta patuh terhadap objek yang diberhalakan (Nana Sutikna,1996).
Senada dengan hal tersebut dapat disadari bahwa adanya kartu prakerja banyak dianggap sebagai solusi ditengah pandemi baik bagi masyarakat ataupun pemerintah. Masyarakat menengah ke bawah disibukkan dengan proses pendaftaran serta pelatihan yang diberikan dengan harapan memperoleh uang guna menyambung hidup. Namun nyatanya masyarakat hanya terisolasi dengan harapan itu tanpa mengetahui secara detail untuk apa mereka melakukan pelatihan tersebut dan apa yang dapat dihasilkan dari sana.
Fromm yang juga dipengaruhi oleh pandangan Marx terkait dengan asal mula alienasi pada struktur sosio ekonomi kontemporer. Beliau memaparkan bahwa alienasi ada karena dampak yang ditimbulkan oleh kapitalisme terhadap personalitas.
Lebih dalam lagi Fromm menjelaskan bahwa manusia modern tidak takluk kepada seseorang dalam aspek personal. Tetapi masyarakat modern cenderung bersikap menerima segala sesuatu kendati tidak hidup dalam kekuasaan yang otoriter karena kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri.(Nufi Ainun,2015).
Hal ini memang sangat relevan jika dikaitkan dengan kondisi masyarakat Indonesia ditengah pandemi. Banyaknya pekerja yang dirumahkan membuat kebijakan tersebut digandrungi karena terdesak dengan keadaan yang membuat banyak orang menjadi putus asa.
Terkait dengan itu seharusnya pemerintah sebagai pemegang otoritas dapat memaksimalkan kebijakan kartu prakerja dengan baik. Anggaran yang digunakan guna membiayai kebijakan ini harusnya dapat membuat rakyat tidak bingung melanjutkan hidup. Hal ini berlaku jikalau percepatan pelakasanaan kebijakan ini ditujukan guna mempertahankan hajat hidup masyarakat. Tidak lantas hanya memberikan pelatihan dengan janji insentif yang belum jelas proses pencairannya.
Merujuk kepada pendapat dari Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia bidang UMKM Suryani Motik. Beliau menjelaskan bahwa terdapat 15 juta jiwa yang terkena dampak pemutusan hubungan kerja.
Jumlah tersebut melebihi jauh dari angka yang diumumkan oleh Kementrian Ketenagakerjaan dengan jumlah 2,8 juta pada tanggal 20 April. Hal ini disebabkan karena data tersebut belum mencakup usaha mikro,kecil, dan menengah yang belum terdata. Hal ini khususnya untuk pemerintah dapat dijadikan peringatan guna mengoptimalkan anggaran kartu prakerja ditengah tingginya angka putus kerja.
Pada akhir tulisan ini kembali penulis hendak menilik pemikiran dari Erich Fromm guna memberikan pandangan lain terhadap permasalahan yang terjadi. Fromm menerangkan bahwa gagalnya perubahan yang hendak diciptakan dalam setiap gerakan pembaharuan terjadi karena otoritas hanya fokus terhadap satu aspek dan melalaikan aspek lainnya. Pengoptimalan sumber daya dapat dilakukan dengan perubahan simultan terhdap bidang industri,spiritual,politik,kebudayaan,serta struktur karakter manusia (Nufi Ainun,2015).
Referensi:
- Nadhiroh, Nufi Ainun. “ALIENASI MANUSIA MODERN KRITIK MODERNITAS DALAM PEMIKIRAN ERICH FROMM.” Refleksi: Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam 15.1 (2015): 16-29.
- Sutikna, Nana, and Koento Wibisono. Keterasingan manusia (alienasi) menurut Erich Fromm. Diss. [Yogyakarta]: Universitas Gadjah Mada, 1996.
- https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200502132819-92-499403/curhat-kecele-peserta-pelatihan-kartu-prakerja-ala-jokowi