Rabu, April 24, 2024

Pragmatisme Pendidikan dan Arahnya di Masa Depan

Dani Ismantoko
Dani Ismantoko
Penulis. Tinggal di Bantul.

Bagaimanapun, kita harus mengakui bahwa kini pendidikan kita terlampau pragmatis. Jenjang demi jenjangnya sekadar untuk mencari ijazah. Digunakan untuk mendaftar sekolah ke jenjang berikutnya. Pada puncaknya, ijazah terakhir digunakan untuk mencari pekerjaan. Pekerjaan kita pakai untuk mencari nafkah hidup.

Akibat yang paling kentara dan naif dari pragmatisnya pendidikan kita adalah proses di kelas. Murid hanya disuruh duduk di kelas. Menyimak mitos–mitos yang disampaikan guru. Yang 70 persen lebih tak berhubungan dengan kehidupan sehari–hari murid. Selanjutnya murid ditekan–tekan untuk mendapatkan nilai akademik yang tinggi.

Gunanya untuk apa? Kalau ada murid yang bertanya seperti itu, dengan sigap guru akan menjawab, demi kesuksesanmu di masa depan. Sangat klise. Karena sama sekali tak ada hubungan yang signifikan antara bagusnya nilai akademik dengan kesuksesan.

Pendidikan minimal, dari SD sampai SMA paling tidak berlangsung selama dua belas tahun. Waktu lama yang mubadzir jika sekadar digunakan untuk hal–hal tak penting yang bersifat formalitas belaka.

Sistem sudah terlanjur seperti itu. Dan kita dimakan oleh sistem yang kita bangun. Kita menjalaninya begitu saja.

Hal tersebut terjadi karena beberapa sebab. Pertama karena kita tak tahu bagaimana visi pendidikan kita yang sebenarnya. Apakah sekadar untuk mencetak tenaga kerja? Atau untuk mengembangkan potensi yang dimiliki manusia untuk mengelola kehidupan di negara ini? Atau apa? Kedua, bisa jadi kita tak punya visi pendidikan yang jelas. Yang penting ada dan bisa jalan. Entah outputnya mau seperti apa itu urusan belakangan.

Implementasi lapangan seakan mengesankan bahwa kita tak mau berubah. Kita tahu bahwa kita merugi. Tetapi kita merasa sudah mapan. Merasa tak perlu ada yang berubah. Dengan sepenuh hati kita yakin bahwa itulah yang terbaik.

Kalau kita mengacu kepada hal yang bersifat kodrati kita akan mendapati bahwa setiap manusia berbeda–beda. Dalam perbedaan itu sudah pasti kita akan mendapati antara satu manusia dengan manusia lain memiliki potensi yang berbeda–beda. Seakan sudah digariskan oleh Tuhan, dengan perbedaan potensi itulah manusia satu dan yang lain saling melengkapi. Untuk mengelola kehidupan yang maslahat dalam artian positif.

Dengan dasar itu, seharusnya sistem pendidikan harus bisa membuat manusia menemukan potensinya, mampu mengembangkan potensinya dan pada puncaknya menggunakan potensi yang sudah ditemukan dan dikembangkannya tersebut untuk berlaku manfaat kepada orang lain.

Dengan sistem pendidikan yang ada sekarang, alih–alih menemukan, mengembangkan potensi dan selanjutnya menggunakan potensi yang sudah dikembangkan untuk membuat kemanfaatan bagi orang lain, manusia dipaksa untuk sama rata satu sama lain. Tolok ukurnya nilai akademik, itu pun dipersempit lagi, khusus jenjang SD–SMA/sederajat, nilai ujian nasional. Dan untuk tingkat universitas IPK.

Maka, tidak mengherankan walau di tingkat SMK dan universitas peserta didiknya sudah mendalami jurusan tertentu, tetap saja banyak lulusannya bingung mau berbuat apa, mau memberikan kemanfaatan apa setelah lulus. Akhirnya tidak sedikit yang menganggur.

Yang tidak menganggur, kebanyakan bekerja di sebuah perusahaan, instansi, lembaga tertentu. Sangat sedikit yang menggunakan daya kreatifnya untuk berlaku manfaat secara independen dan otentik.

Selain dari apa yang dipahami oleh para lulusan sekolah atau universitas itu sendiri, kondisi sosial masyarakat juga menekan mereka. Sudah jamak kita temui bahwa di masyarakat tidak sedikit yang mengasumsikan bahwa orang sukses adalah orang yang memiliki status sosial tinggi karena profesinya sekaligus memiliki materi yang melimpah. Sebenarnya itu bersifat ulang alik dengan sistem pendidikan yang kita jalankan.

Untuk tingkatan kelas menengah ke bawah, dalam rangka mencapai posisi itu yang mainstream berkembang biasanya langkah–langkah yang dilakukan adalah berusaha menjadi PNS, Polisi, Tentara. Untuk tingkatan kelas menengah atas, paling tidak berusaha menjadi pejabat – pejabat tinggi seperti bupati, gubernur, DPR, menteri.

Banyak orang ingin mencapai standar kesuksesan semacam itu. Ijazah demi ijazah di setiap jenjangnya adalah salah satu alat yang dipakai untuk menggapainya.

Dari generasi ke generasi mitos sukses semacam itu terus dipelihara. Lingkaran setan sistem, yang terlampau bobrok seakan tak bisa dihindari. Tidak semakin rapuh, tetapi semakin kokoh dalam artian yang negatif.

Kalau kita benar–benar mau mengacu kepada sesuatu yang bersifat kodrati, seperti keniscayaan atas pluralnya manusia dan diperkuat dengan pembelajaran tokoh–tokoh yang berpengaruh dalam sejarah saya kira pandangan tersebut bisa berubah.

Untuk tokoh, bisa kita buktikan, siapa tokoh dalam sejarah entah itu dari Nusantara atau di luar Nusantara yang perjuangannya sekadar untuk mencari harta dan jabatan? Saya yakin hampir tidak ada. Semua yang dianggap tokoh pasti perjuangannya demi kemaslahatan hidup manusia dalam arti yang positif.

Nabi–nabi, para wali, para pahlawan. Tak ada satu perjuangan yang mereka lakukan sebatas pada kepemilikan harta dan jabatan semata.

Lalu, kenapa, kita yang disetiap jenjang pendidikan diajari untuk menghargai perbedaan juga diceritakan tentang kisah tokoh – tokoh dalam sejarah memakai jenis nilai yang berbeda? Apa manfaat dari apa yang kita belajar pancasila, belajar sejarah selama ini?

Dani Ismantoko
Dani Ismantoko
Penulis. Tinggal di Bantul.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.