Sebanyak 111 pulau menjadi garda terdepan Indonesia secara diam. Keberadaannya terancam secara geografi, politik, dan ekonomi. Berbatasan langsung dengan sebelas negara tetangga, membuat pulau-pulau tersebut harus tetap kokoh berdiri untuk dapat menjaga kedaulatan wilayah kepulauan Indonesia.
Perbatasan negara merupakan salah satu aspek penting dalam geopolitik. Sejarah mencatat bahwa banyak terjadi perang antarnegara dan/atau antarbangsa disebabkan oleh permasalahan perbatasan. Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu negara. Perbatasan inilah mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber kekayaan alam, dan menjaga keamanan serta keutuhan wilayah. Perbatasan negara dalam banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik, dan hukum nasional serta internasional.
Indonesia memiliki total 17.508 pulau dan 92 di antaranya adalah Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT). Untuk menjaga batas-batas negara dengan kedaulatan negara asing, Pemerintah Indonesia menambah jumlah PPKT menjadi 111 pulau melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2007. Pulau-Pulau Kecil Terluar, selanjutnya disingkat PPKT adalah pulau-pulau kecil yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum Internasional dan nasional.
Sementara itu, sebanyak 2.000 pulau di Indonesia berpotensi tenggelam di tahun 2030 akibat bencana kelautan. Pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda sehingga daya tahan dalam menghadapi fenomena bencana kelautan berbeda pula. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Pasal 53, bencana kelautan dapat berupa bencana yang disebabkan oleh fenomana alam, pencemaran lingkungan, dan/atau pemanasan global.
Menurut Prabowo dan Salahudin (2016), 55 PPKT Indonesia hilang akibat gempa bumi dan 83 PPKT Indonesia tenggelam akibat kenaikan permukaan laut oleh pemanasan global. Analisis dilakukan dengan IPCC (Intergovernmental Panel of Climate Change) dalam AR5 (Assessment Report ke-5). Skenario ini menunjukan kenaikan permukaan air laut meningkat 2 milimeter per tahun sejak tahun 1939.
Indonesia sampai saat ini memiliki 19 perjanjian maritim dengan negara-negara tetangga. Peran garis-garis pangkal lurus kepulauan yang menggabungkan pulau-pulau terluar dan garis pangkal biasa sebagai titik-titik untuk menentukan wilayah kedaulatan maritim Indonesia dengan negara tetangga.
Salah satunya adalah garis pangkal lurus kepulauan dari pulau Benggala (Base Point No.TD 176 A) dan garis pangkal biasa (Base Point No. TD 177) dengan garis pangkal lurus kepulauan dari pulau Rondo (No. TD 177 A) di perairan Aceh Barat yang berbatasan langsung dengan batas laut India, diambil sebagai acuan untuk Perjanjian yang ditandatangani di Jakarta, 8 Agustus 1974 dengan nama Agreement Between the Government of Republic of Indonesia and the Government of the Republic of India Relating to the Delimination of the Continental Shelf Boundary Btween the Two Countries (Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India Tentang Penetapan Garis Batas Landas Kontinen Antara Kedua Negara).
Persetujuan tersebut hanya membahas Kesepakatan antara Indonesia dan India dalam hal Zona Ekonomi Eksklusif masih dalam tahap perundingan. Maka dari itu, dalam rentang waktu sebelum persetujuan disepakati, Pemerintah Indonesia perlu mempertahankan pulau terluar Indonesia dalam bidang pertahanan, keamanan, dan perlindungan laut.
Elemen yang kedua, yaitu mengacu pada geogafi Indonesia, dimana Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Hal ini harus dijaga kedaulatan dan keamanan wilayahnya serta mengatur dan mengembangkan sumber daya maritim di daerah-daerah perbatasan, terutama pulau-pulau kecil terluar.
Beberapa kondisi dapat membahayakan keutuhan wilayah jika terjadi pada pulau-pulau terluar, yaitu hilangnya pulau secara fisik akibat abarasi, tenggelam, atau karena kesengajaan manusia Untuk melawan isu-isu ini, hilangnya pulau secara kepemilikan akibat pemaksaan militer atau sebagai ketaatan pada keputusan hukum, dan hilangnya secara sosial dan ekonomi akibat praktek ekonomi dan sosial oleh masyarakat asing yang mendiami pulau tersebut. Untuk mengatasi permasalahan tersebut pemerintah telah merumuskan pada pasal 6 Peraturan Pemerintah nomor 62 tahun 2010 tentang pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar untuk pertahanan dan keamanan.
Ketika suatu PPKT hilang atau tenggelam maka dapat menimbulkan implikasi. Karena terdapat titik dasar dan referensi Indonesia yang mempengaruhi konfigurasi garis pangkal kepulauan dan digunakan menjadi batas wilayah kedaulatan Indonesia. Selain itu, klaim maritim Indonesia dapat mundur dikarenakan hal ini.
Tertulis dalam pasal 10 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia menyatakan bahwa apabila pada bagian perairan Indonesia, data koordinat geografis titik-titik terluar belum termasuk dalam lampiran sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2) atau apabila karena perubahan alam koordinat geografis titik-titik terluar tersebut dianggap tidak berada pada posisi seperti yang tercantum dalam lampiran tersebut, maka koordinat geografis titik-titik terluar yang dipergunakan adalah koordinat geografis titik-titik terluar yang sesuai dengan kenyataan di lapangan sehingga dapat dipastikan perubahan titik-titik terluar garis pangkal kepulauan akibat adanya bencana kelautan ini menyebabkan penyempitan lebar laut teritorial wilayah Indonesia di masa mendatang.
Sebagai pertimbangan, salah satu PPKT yang berada di ujung barat Indonesia adalah Pulau Benggala. Jika pulau ini hilang, maka luas wilayah ZEE Indonesia yang mundur seluas 1.207 km2 atau hampir dua kali luas wilayah Pekanbaru. Itu hanya untuk satu pulau, belum ke-110 pulau-pulau terdepan lainnya.
Pemerintah dalam upaya menjaga pulau-pulau kecil terluar Indonesia, membangun mercusuar di beberapa perbatasan. Namun, mercusuar tersebut menyelesaikan permasalah pulau-pulau kecil terluar yang akan tenggelam karena adanya tantangan bencana kelautan di masa mendatang. Saat ini sudah terbentuknya Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan dengan rencana Pembangunan 24 PLBN (Pos Lantas Batas Negara) dan bertujuan untuk mengembangkan wilayah perbatasan di penjuru Tanah Air sebagai lumbung pangan dan ekonomi bagi bangsa Indonesia. Namun, karena adanya COVID-19 anggaran untuk BNPP dialihkan untuk penyelesaian COVID-19 yang seharusnya mulai berjalan sejak 2020 lalu.
Perlu ada tindak lanjut untuk mengembangkan PPKT yang ada di garda terdepan Indonesia. Pembangunan pos lantas harus berkelanjutan dan mampu membangun komunitas yang mandiri. Hal yang dapat dilakukan adalah manajemen pulau-pulau kecil terluar berbasis struktur dan lingkungan, pengadaan sumber energi terbarukan, pengembangan komoditas lokal, dan pemantauan lalu lintas laut yang efektif dan efisien. Jangan sampai pulau-pulau terdepan kita menjadi pulau terbelakang negara lain.