Kamis, April 25, 2024

Potret Buram Demokrasi Indonesia: Refleksi 22 Tahun Reformasi

Cusdiawan
Cusdiawan
Pembelajar. Pecinta buku, kopi dan diskusi.

Dalam buku Assesing the Quality of Democracy (2005, The Jhon Hopkins University Press), Larry Diamond dan Leonardo Molino menulis tentang 3 dimensi demokrasi, yakni procedural dimensions, substantive dimensions, dan result dimensions.

Ketiga dimensi tersebut mensyaratkan kedaulatan hukum (rule of law), partisipasi (participation), kompetisi (competition), akuntabilitas vertikal dan horizontal (accountability vertical and horizontal), kebebasan (respect for civil liberties and the persuit of freedom), kesetaraan (reduction in political, economic, and social inequalities), dan ketanggapan (responsiveness).

Tiga dimensi tersebut, bisa dijadikan sebagai standar untuk menilai penyelenggaraan demokrasi di sebuah negara, termasuk untuk menilai demokrasi di Indonesia pasca 22 tahun tumbangnya rezim otoritarian Soeharto.

Bila mengacu pada pendapat Larry diamond dan Leonardo Molino, tentu kita bisa berpendapat bahwa demokrasi di Indonesia, mengalami semacam distorsi dan disorientasi, dan menyebabkan demokrasi substansial dan responsif masih sangat jauh.

Ada sejumlah studi yang menggambarkan potret buram perjalanan politik demokratik di Indonesia, seperti artikel Oligarki dan Demokrasi di Indonesia yang ditulis oleh Jeffrey A. Winters dalam buku Merancang Arah Baru Demokrasi Indonesia Pasca Reformasi (Kepustakaan Populer Gramedia,2014), Winters menyimpulkan bahwa demokrasi yang berjalan di Indonesia adalah demokrasi elitis dan oligarkis, dan tentu saja hal tersebut menyebabkan kepentingan publik terekslusi.

Dengan demikian kita bisa berpendapat bahwa demokrasi yang diharapkan mampu mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan, serta responsif terhadap masalah atau kepentingan publik yang menjadi nilai dalam demokrasi substansial dan demokrasi result menjadi tersumbat. Karena demokrasi justru melayani kepentingan-kepentingan ekonomi-politik para oligark.

Kita pun bisa meninjau studi Vedi Hadiz dan Richard Robinson yang berjudul Ekonomi Politik Oligarki dan Pengorganisasian  Kembali  Kekuasaan di Indonesia (Prisma, Vol.33. No.1 2014),  keduanya menyebutkan bahwa menguatnya desentralisasi justru dicirikan dengan menguatnya oligarki di tingkat lokal.

Menurut keduanya, penyebab menguatnya oligarki lokal, justru karena perubahan kelembagaan lokal ketika reformasi yang tidak dibarengi dengan perubahan tatanan dari rezim sebelumnya, sehingga memungkinkan oligarki lama bertahan atau membentuk jejaring oligarki baru di tingkat lokal.

Masalah lainnya yang menjadi penyakit dalam demokrasi Indonesia, yakni maraknya politik klientisme. Hal tersebut, seperti yang diungkapkan dalam buku Democracy for Sale yang ditulis oleh Edward Aspinall dan Ward Berenschoot (2019, Yayasan Obor Indonesia), keduanya menyimpulkan bahwa demokrasi di Indonesia adalah demokrasi dagangan. Tentu saja, hal tersebut dapat menyebabkan maraknya praktik koruptif.

Dalam buku Korupsi, Aktor dan Locus yang ditulis Leo Agustino dan Indah Fitriani (2017, Pustaka Pelajar), memberikan contoh, salah satu korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah terpilih untuk mengembalikan mahalnya biaya politik, yakni dengan cara melakukan jual beli jabatan di lingkungan pemerintahan.

Masalah lain yang tidak kalah esensialnya, yakni soal penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu. Padahal secara teoretis, HAM merupakan basis dalam demokrasi modern. Oleh sebab itu, salah satu bukti sebuah negara mempunyai komitmen untuk menjamin tegaknya Hak Asasi Manusia dan menghormati kedaulatannya, adalah dengan cara membongkar dan mengadili masalah-masalah HAM di masa lalu.

Membangun Kesadaran Kritis dengan Pendekatan Gramscian

Demokrasi substantif mensyaratkan bagaimana agar kesenjangan sosial, ekonomi maupun politik bisa direduksi semaksimal mungkin. Akan tetapi, selama kaum oligark dan elitis memonopoli praktis demokrasi, maka yang akan terjadi adalah kesenjangan yang semakin meraja rela dan cita-cita untuk mewujudkan keadilan sosial akan mustahil dapat terwujudkan.

Sementara filsuf kenamaan Amerika, yakni Jhon Rawls dalam bukunya A Theory of Justice (Harvard University Press,1995) mengungkapkan bahwa keadilan sendiri yakni memaksimalkan peluang, kesempatan, dan hak bagi mereka yang paling tertinggal. Dengan kata lain, keberpihakan kepada mereka yang tercecer.

Lalu, bagaimana keadilan (keberpihakan kepada mereka yang termarginalkan) itu bisa terjadi mana kala demokasi sendiri dibajak untuk kepentingan oligark guna mempertahankan sumber daya materil bahkan memperluasnya? atau dengan kata lain, demokrasi menjadi sarana para oligark guna mengumpulkan akumulasi kapital lebih banyak lagi?

Tentu itu menjadi masalah yang amat pelik, akan tetapi menyerah pada keadaan pun bukan suatu pilihan yang bijak. Oleh sebab itu, saya menyepakati pendapat AE Priyono dalam buku Merancang Arah Baru Demokrasi Indonesia Pasca Reformasi, bahwa kita perlu melakukan reorientasi demokrasi, salah satunya dengan cara menguatkan sektor-sektor masyarakat yang selama ini termarginalkan. AE Priyono pun menekankan juga mengenai pentingnya membangun basis-basis massa yang inklusif, serta menawarkan diskurus revitalisasi republikanisme sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi pasar.

Dalam konteks itulah, pendekatan Gramscian relevan untuk digunakan, di mana apa yang disebut sebagai intelektual organik oleh Antonio Gramsci mempunyai tanggung jawab untuk mengadakan pendidikan massa yang diletakan sebagai gerakan tandingan terhadap hegemoni dominan.

Dengan begitu, apa yang disebut sebagai civil society diharapkan mampu menjadi suatu kekuatan kritis (reflectiveforce) dan merebut hegemoni dalam ruang publik politis untuk mengupayakan demonopolisasi kekuasaan politik-ekonomi kaum elitis dan oligark. Dengan kata lain, civil society mampu menjadi sebuah entitas politik yang mempunyai daya untuk selalu melakukan perlawanan terhadap ketimpangan-ketimpangan struktural maupun segala bentuk penyelewengan.

Dengan penyatuan kekuataan berbagai macam elemen, tentu dimungkinkan civil society menjadi counter-hegemony kekuataan elitis-oligark dan mendorong ruang publik politis menjadi tempat civic participation dapat berkemang, serta menjadi arena terselenggaranya common good, dan bukan untuk kepentingan ekslusif segelintir elite-oligark.

Oleh sebab itu, di sini juga pentingnya pengembangan civic culture dan perlunya suatu kesadaran kritis “critical consciousness”, termasuk untuk mengatasi sentimen-sentimen primordial guna membangun gerakan inklusif, dan meminimalisir politik klientisme.

Dengan demikian, tentu kita dapat berharap bahwa demokrasi berjalan bukan hanya dalam tataran prosedural, melainkan secara substantif dan result juga. Dan di sini, civil society bisa menjadi aktor strategis untuk mendorong terwujudnya demokrasi substantif dan result tersebut.

Cusdiawan
Cusdiawan
Pembelajar. Pecinta buku, kopi dan diskusi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.