Selasa, September 16, 2025

Post-Truth: Dilema Kebenaran Vs Pembenaran

Ferika Sandra Salfia
Ferika Sandra Salfia
Belajar Menulis untuk Menertibkan Pikiran.
- Advertisement -

Kadang saya merasa hidup di era ini seperti berada di sebuah ruang penuh gema. Apa yang paling sering diulang, itulah yang dianggap benar. Apa yang paling ramai dibicarakan, itulah yang dipercaya. Saya pernah terjebak juga, ikut mempercayai kabar di media sosial hanya karena tampilannya meyakinkan. Baru setelah dicek ulang, ternyata kabar itu sama sekali tidak sesuai kenyataan. Pengalaman itu membuat saya bertanya, apakah kebenaran hari ini benar-benar dicari, atau sekadar dipilih sesuai selera?

Manusia sering disebut sebagai makhluk berakal. Predikat ini memberi kita kemampuan untuk berpikir, menimbang, dan mencari tahu. Namun, dalam kenyataan hari ini, akal sering kali dikalahkan oleh perasaan. Kebenaran tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang sesuai kenyataan, melainkan sebagai sesuatu yang paling ramai disukai, paling banyak dibagikan, atau paling sering diulang. Inilah yang disebut era post-truth, ketika suara lebih nyaring daripada isi, dan jumlah tanda “suka” dianggap lebih berharga daripada data.

Sejak manusia pertama kali menemukan api, proses belajar telah menjadi bagian mendasar dari hidup kita. Belajar berarti mencari tahu, memahami, dan kemudian menguji ulang. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, terutama media sosial, proses itu seperti dilompati begitu saja. Banyak orang lebih percaya pada sebuah utas Twitter ketimbang sebuah riset tebal yang memuat data panjang. Kebenaran kini ibarat promo belanja daring, bisa dikemas ulang, disesuaikan, dan tetap laku keras selama tampilannya menarik serta didukung rating tinggi.

Padahal, jauh sebelum era digital, para filsuf telah menempuh jalan panjang untuk memikirkan apa itu kebenaran. Dari mereka, kita mewarisi beberapa teori klasik yang hingga kini masih relevan untuk dibicarakan. Empat di antaranya menjadi fondasi yang kerap digunakan yaitu teori korespondensi, teori koherensi, teori pragmatis, dan teori agama. Mari kita lihat satu per satu.

1. Teori Korespondensi: Sesuai Fakta

Teori ini menekankan bahwa sesuatu dianggap benar apabila sesuai dengan kenyataan. Contohnya sederhana, kucing itu berkaki empat. Pernyataan ini benar karena faktanya memang demikian.

Namun, di negara kita, kenyataan sering kali bukanlah alat ukur utama. Ketika seorang pejabat tertangkap basah dengan barang bukti korupsi, masih saja ada sebagian orang yang bersikeras menyebut itu sebagai fitnah. Fakta tak lagi cukup kuat untuk menembus keyakinan yang sudah dibentuk lebih dulu. Seakan kenyataan hanyalah sekadar naskah sinetron yang bisa ditafsirkan ulang sesuai selera.

Ilmuwan biasanya mengandalkan teori ini. Data dan fakta menjadi pijakan. Tetapi masyarakat kita lebih sering mengandalkan kabar dari grup percakapan keluarga atau forum daring yang penuh desas-desus. Di sinilah jarak antara kebenaran dan pembenaran mulai tampak.

2. Teori Koherensi: Pentingnya Konsistensi

Berbeda dari korespondensi, teori koherensi menekankan konsistensi logis. Suatu pernyataan dianggap benar apabila sesuai dengan teori atau penjelasan lain yang sudah ada. Kebenaran tidak mesti cocok dengan realitas, asal ia tidak bertentangan dengan pengetahuan yang lebih dulu disepakati.

- Advertisement -

Namun, praktiknya sering melahirkan pembenaran. Seorang anak yang bolos sekolah mungkin berkata, “Jika saya masuk kelas, saya bosan. Kalau bosan, saya stres. Kalau stres, saya sakit. Jadi, saya bolos agar sehat.” Narasi ini koheren, tetapi tidak otomatis benar.

Dalam dunia pendidikan kita, logika koherensi sering kali juga menjerat. Kurikulum dibuat rapi di atas kertas, terlihat konsisten, bahkan diberi nama merdeka belajar. Namun, di lapangan, guru kebingungan, murid terbebani, dan orang tua ikut tertekan. Secara dokumen, tampak koheren, dalam praktik, justru menimbulkan paradoks.

3. Teori Pragmatis: Ukuran Manfaat

William James berpendapat, sesuatu bisa dianggap benar apabila membawa manfaat praktis. Dalam ukuran ini, pertanyaan utamanya bukanlah “sesuai fakta atau tidak”, melainkan “berguna atau tidak”.

Pendekatan pragmatis sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Banyak konten hiburan yang tidak memberi pengetahuan baru, tetapi dianggap benar hanya karena membuat orang tertawa atau merasa terhibur. Agama pun kadang dipahami dengan kacamata pragmatis. Selama mampu membuat hidup terasa lebih tertib, menenangkan hati, dan memberi arah, maka agama itu dianggap benar.

Namun, persoalan muncul ketika pragmatisme dijadikan alasan untuk tindakan curang. Misalnya, praktik suap yang dibungkus dengan dalih efisiensi, lebih cepat selesai urusan kalau ada pelicin. Ini bukan pragmatisme dalam arti positif, melainkan manipulasi berkedok logika. Dan seperti halnya utang digital, dosa tidak bisa dicicil dengan skema bayar nanti.

4. Teori Agama: Wahyu sebagai Kebenaran Mutlak

Bagi banyak orang, kebenaran sejati hanya bisa bersumber dari wahyu. Selama sesuai dengan ajaran agama, maka itu adalah kebenaran yang tidak bisa digugat. Perspektif ini memang memberi kepastian, karena ia berangkat dari keyakinan spiritual.

Namun, persoalan muncul ketika klaim wahyu digunakan secara serampangan. Ada yang memanfaatkan agama untuk kepentingan bisnis, menjustifikasi investasi bodong atau praktik tidak etis dengan label syariat. Bahkan perbedaan pendapat sering dihadapi dengan tuduhan kafir atau sesat. Kebenaran agama pun direduksi menjadi senjata untuk membungkam, bukan untuk menuntun.

Kebenaran di Era Viewers

Jika ditarik pada kondisi hari ini, kebenaran seolah bergeser menjadi sesuatu yang tergantung pada jumlah penonton. Selama narasinya menyentuh, tampilannya meyakinkan, dan didukung figur populer, maka ia dianggap benar. Logika ini menciptakan masyarakat yang lebih mudah percaya pada sesuatu yang “enak didengar” ketimbang yang tepat secara data.

Di sinilah bahayanya, kita kian terbiasa memilih yang membuat nyaman, bukan yang benar-benar akurat. Padahal, kebenaran seharusnya menjadi fondasi bersama. Teori-teori tadi mestinya tidak diperlawankan, melainkan dilihat sebagai pelengkap.

Kebenaran Butuh Usaha

Mencari kebenaran tidak pernah mudah. Ia menuntut kita untuk membaca, berdiskusi, menguji, bahkan berdebat dengan tenang. Sebaliknya, pembenaran jauh lebih sederhana, cukup ikut arus yang ramai, lalu ulangi apa yang populer. Masalahnya, semakin banyak orang lebih suka mencari pembenaran daripada kebenaran. Hoaks disebarkan karena lebih cepat memuaskan rasa ingin tahu. Narasi sederhana lebih laku daripada data yang kompleks.

Namun, pada akhirnya, yang benar tetaplah benar meski tidak populer, dan yang salah tetap salah meski viralnya menembus jutaan. Kebenaran ibarat nasi hangat, mungkin tidak selalu cepat saji, tetapi ketika sabar menanti, hasilnya lebih mengenyangkan dan menyehatkan. Sedangkan pembenaran hanya seperti bumbu instan, gurih sesaat, tetapi jika berlebihan justru merusak.

Sayangnya, banyak orang kini memilih hidup dengan bumbu instan. Yang penting terasa enak, meski tidak sehat. Yang penting tampak meyakinkan, meski dangkal. Selama tanda centang biru dianggap lebih kredibel daripada akal sehat, barangkali yang bisa kita lakukan adalah tetap sabar. Sabar mencari kebenaran, sambil terus belajar, membaca, dan menahan diri dari godaan pembenaran instan.

Ferika Sandra Salfia
Ferika Sandra Salfia
Belajar Menulis untuk Menertibkan Pikiran.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.